Terdapat kabar mengenai rencana pemerinah melakukan penyusunan pedoman interpretasi resmi terhadap Undang – Undang Informasi dan Transasksi Elektronik (UU ITE). Pernyataan tersebut disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Jhonny G Plate. Rencana tesebut bertujuan sebagai bentuk pedoman interprestasi resmi terhadap UU ITE agar lebih jelas dalam penafsiran dan implementasinya berjalan adil.

Berdasarkan pernyataan mengenai rencana pemerintah tersebut dengan ini beberapa Organisasi Masyarakat Sipil menyatakan bahwa rencana tersebut tidaklah tepat dan justru berpotensi membuka ruang baru melakukan kriminalisasi. Pasal – pasal karet dalam UU ITE memang bermasalah dan telah memakan banyak korban. Namun membuat sebuah pedoman interpretasi terhadap UU ITE bukanlah langkah yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pemerintah seharusnya mencabut seluruh pasal – pasal yang dinilai bermasalah dan rentan disalahgunakan akibat penafsiran yang terlalu luas. Adapun hal – hal yang melatarbelakangi sikap kami tersebut adalah:

Pertama. Pengaturan mengenai tindak pidana kepada sebuah ekspresi seperti penghinaan, perbuatan menyerang kehormatan seseorang dan ujaran kebencian sejak awal sangatlah samar – samar pemenuhan unsur pidanannya serta sangat subjektif penilaiannya. Sehingga kualifikasi sebuah perbuatan dianggap sebagai tindak pidana kepada ekspresi sangat sulit memiliki standar interpretasi yang tegas dan memiliki kepastian hukum. Oleh karena itu pembuatan pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE merupakan langkah yang tidak menyelesaikan akar permasalahan, justru malah berpotensi membuka ruang interpretasi lain yang tidak mustahil justru lebih karet dibandingkan pasal – pasal UU ITE sendiri.

Kedua. Ketentuan mengenai pemidanaan terhadap tindak pidana kepada ekspresi sendiri tidak hanya diatur dalam UU ITE saja. Ketentuan – ketentuan tersebut diatur dalam berbagai peraturan perundang – undangan seperti dalam ketentuan mengenai defamasi dalam pasal 310 & 311 KUHP, penodaan agama dalam pasal 156a KUHP & UU No. 1 Tahun 1/PPNS Tahun 1965, dan tindak pidana menyebarkan berita bohong dalam pasal 14 & pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana. Ketentuan pemidanaan kepada ekspresi dalam berbagai peraturan tersebut juga memiliki permasalahan yang serupa, yaitu tidak adanya standar yang jelas dan sangat subjektifitas penilaian atas terpenuhinya perbuatan pidana tersebut. Rencana pembuatan pedoman interpretasi terhadap UU ITE menjadi langkah keliru, karena dengan logika yang sama maka seluruh ketentuan pemidanaan kepada ekspresi seharusnya dibuat juga pedoman yang serupa. Namun langkah tersebut hanya akan mengulang logika yang keliru karena sejak awal sangat tidak mungkin mengukur pemenuhan tindak pidana kepada sebuah ekspresi. Tentunya, pencabutan pasal-pasal karet di UU ITE ini perlu, karena beberapa diantaranya sudah ada di KUHP, agar tidak ada duplikasi dan memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu dibandingkan membuat pedoman interpretasi kepada ketentuan tindak pidana kepada ekspresi, pemerintah seharusnya mencabut saja pasal – pasal karet tesebut.

Ketiga. Ketentuan tindak pidana kepada ekspresi tersebut selain telah membungkam dan memakan banyak korban, juga telah mencipkan budaya saling lapor melapor. Hal ini tentunya bukan situasi yang ideal dalam kehidupan demokrasi di sebuah negara. Rencana penyusunan pedoman interpretasi UU ITE tidak akan merubah situasi semakin tergerusnya ruang kebebasan sipil yang sudah terlanjur terjadi saat ini, justru malah membuka ruang baru sebuah kriminalisasi ekspresi kedepannya.

Demikian pernyataan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami haturkan terima kasih sebesar -besarnya.

Hormat Kami

*Koalisi Masyarakat Sipil*

(LBH Pers, SAFENet, ICJR, IJRS, YLBHI, Greenpeace, KontraS, ELSAM, LBH Masyarakat, Imparsial, AJI Indonesia, LBH Jakarta, Puskapa)

Narhubung :
Rizki Yudha (Pengacara Publik LBH Pers)
Hotline : 082146688873