Pada hari Kamis 26 September 2024, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menghadiri persidangan di PTUN Jakarta terkait gugatan terhadap pemberian pangkat istimewa berupa Jenderal Kehormatan kepada Prabowo Subianto. Persidangan berlangsung dengan agenda pemeriksaan saksi yang dihadirkan oleh Tergugat II Intervensi dari Markas Besar TNI yakni seorang Staff Personalia atas nama Pramudyo Wardani untuk menjelaskan proses dan latar belakang terbitnya Surat Rekomendasi atas Keputusan Presiden (Keppres) No. 13/TNI/2024 tentang Penganugerahan Pangkat secara Istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan kepada Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto.

 

Dalam kapasitasnya sebagai Staff Personalia TNI, saksi menjelaskan bahwa tugasnya meliputi perencanaan dan persiapan usulan kenaikan pangkat untuk Perwira, Bintara, dan Tamtama. Ia mengungkapkan bahwa surat rekomendasi tersebut awalnya dibuat berdasarkan perintah dari Asisten Personalia (Aspers) Panglima TNI, yang dikerjakan oleh dirinya dan Perwira Pembantu Madya Letkol Laut (T) Rudi Hermawan. Menurut pengakuannya, draft surat rekomendasi disiapkan dalam waktu yang singkat yakni sekitar satu minggu melalui diskusi internal TNI tanpa melibatkan pihak lain seperti akademisi, pengamat politik atau masyarakat secara luas.

 

Selain itu, terungkap juga bahwa tidak ada kajian atau proses verifikasi yang mendalam mengenai dasar dan rekam jejak Prabowo Subianto, terutama terkait kajian arsip Keputusan Dewan Kehormatan Perwira Nomor KEP/03/VIII/1998/DKP tertanggal 21 Agustus 1998, yang menjatuhkan hukum administrasi berupa diberhentikan dari dinas keprajuritan atas keterlibatannya dalam kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997-1998, serta Keputusan Presiden Nomor 62/ABRI/1998 yang ditandatangani oleh Presiden B.J. Habibie pada 20 November 1998, yang mengakhiri dinasnya di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

 

Selama persidangan, saksi mengungkapkan bahwa perumusan surat rekomendasi dilakukan berdasarkan studi literatur. Namun, saat diminta menyebutkan judul buku yang digunakan, ia justru menyatakan bahwa riset dan kajian hanya dilakukan melalui pencarian di internet, atau istilah populernya, "Googling" (mencari informasi melalui internet). Hal ini mencerminkan kurangnya akurasi dan kedalaman dalam pengambilan keputusan yang begitu penting, terutama tanpa analisis dari berbagai literatur militer, politik, dan hak asasi manusia.

 

Kami juga menyoroti tindakan serampangan dalam penerbitan Keputusan Presiden mengenai penganugerahan gelar Jenderal Kehormatan kepada Prabowo Subianto, termasuk dalam pengeluaran surat rekomendasi dari Panglima TNI yang dilakukan dalam waktu yang singkat dan tanpa proses analisa dan verifikasi yang matang. Terlebih, pangkat Jenderal TNI kehormatan ini adalah hal yang baru di lingkungan TNI karena ini menjadi satu-satunya pangkat kehormatan yang dikeluarkan setelah adanya Undang-Undang 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

 

Selain itu, saksi juga sempat mengklaim bahwa pemberian pangkat Jenderal TNI Kehormatan ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Padahal, dalam aturan tersebut maupun aturan turunannya, telah dijelaskan secara eksplisit bahwa kenaikan pangkat penghargaan hanya dapat diberikan kepada prajurit aktif yang paling cepat 3 (tiga) bulan dan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum pensiun. Hal ini tentu membuat pemberian pangkat ini semakin tidak berdasar lantaran Prabowo Subianto telah diberhentikan dari dinas keprajuritan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sejak akhir November 1998. Dengan demikian, statusnya bukan lagi seorang prajurit aktif. 

 

Kritik terhadap proses ini tidak hanya menyangkut kepatuhan pada hukum, tetapi juga mencerminkan pengabaian prinsip-prinsip hak asasi manusia. Penganugerahan pangkat Jenderal TNI kehormatan ini dapat dilihat sebagai pengakuan yang tidak seharusnya diberikan kepada individu dengan catatan pelanggaran serius, dan dapat memperburuk kepercayaan publik terhadap institusi militer serta pemerintahan. Jika sistem penghargaan seperti ini terus berlangsung, maka hal itu berpotensi menurunkan integritas dan moralitas institusi yang seharusnya menjaga keadilan dan hak asasi manusia. 

 

Jakarta, 26 September 2024

Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas

 

Narahubung:

  1. Andi Muhammad Rezaldy (KontraS)
  2. Fadhil Alfathan (LBH Jakarta)
  3. Airlangga Julio (AMAR Law Firm and Public Interest Law Office)
Tags
Writer Profile

Admin

Without Bio