Surat Terbuka:
Desakan Proses Hukum Terhadap Anggota TNI yang Melakukan Penyiksaan terhadap Warga Oelbinose, TTU, Nusa Tenggara Timur

 

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak adanya proses hukum terhadap anggota TNI Pos Pamtas TNI Yonif 715/Mtl yang diduga melakukan tindakan praktik penyiksaan terhadap Bernadus Feka (yang selanjutnya disebut sebagai korban) pada tanggal 25 April 2018 lalu. Pada peristiwa yang terjadi sekitar pukul 10.00 WITA di Pos Pamtas TNI Yonif 715/Motuliato, Desa Tasinifu, Kecamatan Mutis, Kabupaten Timur Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur tersebut mengakibatkan korban mengalami luka – luka.

Berdasarkan informasi yang kami terima, pada saat itu korban yang sedang membawa kendaraan (truk) dan tengah melewati pos Pamtas TNI Yonif 715/Motuliato, tiba-tiba dihentikan oleh anggota TNI. Korban kemudian diturunkan dan dipaksa masuk ke dalam Pos lalu dibawa ke dalam salah satu ruangan. Di ruangan itulah korban mengalami praktik penyiksaan yang dilakukan oleh anggota TNI Pos Pamtas Oelbinose. Alasan pemukulan karena Bernadus tidak menjemput anggota TNI di sumber air, padahal anggota TNI tahu, ban truk Bernadus gembos dan jauh dari sumber Air sehingga tidak bisa jemput mereka.

Adapun bentuk penyiksaan yang dialami korban, di antaranya korban dipukul dan ditendang dengan menggunakan tangan kosong maupun tali skipping pada bagian kepala dan tubuh korban. Akibat pemukulan tersebut, telinga belakang kiri korban luka berdarah serta tulang rusuk sebelah kiri korban patah. Saat korban jatuh pingsan akibat siksaan yang diterimanya, anggota TNI Pos Pamtas TNI Yonif 715/Mtl tersebut menyiram korban dengan air dan menjemur korban di halaman Pos Pamtas dengan kondisi tangan terikat ke belakang.

Kronologi Peristiwa

  • Bernadus Feka, warga Dusun Oe Ana, Desa Tasinifu, Kecamatan Mutis, Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi NTT, tiba-tiba kendaraannya dihentikan oleh anggota Pos Pamtas TNI Oelbinose saat melintas depan pos tersebut pada hari Rabu, 25 April 2018, sekitar pukul 10.00 WITA. Ia diturunkan dan dipaksa masuk ke dalam Pos, dan dibawa ke dalam salah satu kamar di Pos Pamtas Oelbinose, dan mengalami penyiksaan oleh 10 orang anggota TNI Pos Pamtas Oelbinose.
  • Korban disiksa dengan cara dipukul, ditendang pada bagian kepala, punggung, belakang telinga, dada, tulang rusuk, oleh 7 – 10 orang anggota TNI yang ada di Pos Pamtas TNI Olebinose. Korban disiksa hingga jatuh ke lantai, lalu diikat kedua tanganya ke belakang dengan tali skipping warna hitam, lalu korban ditendang dan dipukuli hingga telinga belakang kiri korban luka berdarah, 1 tulang rusuk kiri korban patah. Korban kemudian dipukuli dengan kayu pada punggungnya hingga luka. Korban yang pingsan disiram dengan air, lalu di jemur panas matahari dengan kedua tanganya masih terikat ke belakang.
  • Saat akan dilepaskan korban diintimidasi oleh Komandan Pos Pamtas Oelbinose agar tidak melaporkan penyiksaan yang dialaminya. Bahkan salah satu anggota Pos Pamtas, mengancam Korban akan membakar rumah dan kendaraan korban, bahkan akan membunuh korban.
  • Saat melapor ke Mako TNI Pamtas di Eban (Kompi Pamtas TNI YONIF 715/Motuliato-SEKTOR BARAT) korban disuntik dan diberi minum obat oleh petugas di Mako TNI Pamtas Eban. Korban tidak mendapatkan layanan pemeriksaan kesehatan lainya padahal korban mengeluh ulu hatinya nyeri, susah bernapas dan tulang rusuknya seperti remuk. Korban tidak dibuatkan visum ke rumah sakit/puskesmas pemerintah.
  • Di Mako TNI Eban tidak dibuatkan laporan penerimaan penyiksaan atas korban dan berita acara pemeriksaan peristiwa atas Korban.  Korban hanya diminta untuk menceritakan peristiwa yang dialami lalu Anggota TNI Mako Eban. Lalu berjabatan tangan sebagai tanda damai, lalu korban yang dalam keadaan tidak sehat, diminta menandatangani surat pernyataan damai. Dalam   pernyataan damai menyatakan anggota TNI Pos Pamtas Olebinose tidak akan lagi melakukan tindakan yang sama maupun pengancaman terhdap korban dan masyarakat lainnya dan Korban tidak akan menuntut hukum anggtoa TNI yang menyiksa korban.

Pasca peristiwa tersebut, Pihak Paroki Naikake mendampingi korban melapor ke polres TTU dan Sub Denpom distrik Atambua, yang melaporkan ke kompi Yonif 715. Bernadus bersama Bapak Fransiskus Feka dibuatkan konsep surat pernyataan damai oleh Intel kompi yonif untuk ditandatangani Bernadus Feka. Dikarenakan tidak mendapatkan respon, pihak keluarga akhirnya pada 30 April 2018 melaporkan peristiwa tersebut ke Polres TTU. Lalu pada tanggal 02 Mei 2018, pihak keluarga juga membuat laporan di Sub Denpom Atambua, namun saat dilakukannya proses pengambilan BAP, pihak POM menawarkan kepada pihak keluarga untuk berpikir – pikir dahulu selama kurang lebih 20 (dua puluh) hari untuk melanjutkan proses hukum atau melakukan proses perdamaian.

Bahwa pasca proses pemeriksaan di Sub Denpom Atambua, beberapa anggota TNI kerap mendatangi kediaman korban dengan membawa bahan-bahan kebutuhan pokok untuk diberikan kepada keluarga korban, yang langsung ditolak oleh pihak keluarga. Selain memberikan bahan-bahan kebutuhan pokok, pihak TNI juga melakukan sejumlah pertemuan dengan sejumlah tokoh agama guna mempengaruhi korban agar mau melakukan perdamaian terhadap para anggota TNI yang terbukti telah melakukan penyiksaan terhadap korban.

Bahwa terhadap fakta – fakta diatas, kami menganalisis bahwa dalam kasus tersebut, terdapat pola – pola yang dipakai anggota TNI sebagaimana dalam kasus La Gode yang tewas akibat praktik penyiksaan di Taliabu yang juga dilakukan oleh anggota TNI dan Polri, dan saat ini kasusnya tengah diadili di Peradilan Militer Ambon. Pola – pola tersebut antara lain, Pertama,  adanya paksaan dan permintaan dalam bentuk surat perdamaian antara korban dengan anggota TNI. Kedua, Adanya upaya mobilisasi dari anggota TNI untuk mendapatkan dukungan dari tokoh agama dengan menyarankan proses perdamaian antara kedua belah pihak. Dan Ketiga, Adanya pemberian bahan-bahan kebutuhan pokok kepada pihak keluarga korban dari anggota TNI dengan tujuan untuk menghentikan penuntutan kasus penyiksaan tersebut.

Bahwa sebagaimana hal di atas, penting bagi setiap anggota TNI untuk mengetahui bahwa :

  1. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 33 ayat [1] menyatakan “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya”;
  2. Undang Undang-Indang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Pasal 7 menyatakan “Bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat”
  3. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, Pasal 12 menyatakan “Setiap Negara Pihak harus menjamin agar instansi – instansi yang berwenang melakukan suatu penyidikan dengan cepat dan tidak memihak, setiap ada alasan yang cukup kuat untuk mempercayai bahwa suatu tindak penyiksaan telah dilakukan di wilayah hukumnya”.
  4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 351 ayat (1) dan (2) menyatakan sebagai berikut: “(1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.”
  5. Peraturan Panglima TNI (Perpang) Nomor 73/IX/2010 tentang Penentangan terhadap Penyiksaan dan Perlakuan Lain yang Kejam dalam Penegakan Hukum di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia: pasal (2) setiap penegak hukum di lingkungan TNI dan prajurit TNI yang terkait dengan tugas untuk memperoleh keterangan atau pengakuan, dilarang melakukan penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam serta merendahkan martabat manusia

Oleh karena itu, guna memastikan proses hukum ini berjalan secara transparan dan akuntabel, serta untuk memastikan tidak adanya bentuk intimidasi-intimidasi yang dilakukan oleh anggota di lapangan baik terhadap korban maupun keluarga korban serta tidak berulangnya peristiwa serupa, kami mendesak:

Pertama, Panglima TNI untuk memberikan atensi terkait dengan kasus atau peristiwa ini mengingat bahwa dalam 6 (enam) bulan terakhir KontraS telah menerima 3 (tiga) kasus praktik penyiksaan yang dilakukan oleh anggota TNI di lapangan, yang mana pola-pola penyelesaiannya juga dilakukan dengan cara-cara yang serupa, yakni memaksa pihak keluarga maupun korban untuk menandatangani Surat Pernyataan Damai, memberikan bantuan baik berupa uang maupun bahan kebutuhan pokok kepada keluarga korban maupun korban, serta melakukan upaya-upaya mobilisasi baik melalui masyarakat maupun tokoh agama untuk melakukan proses perdamaian;

Kedua, POMDAM IX/Udayana, Bali dapat memastikan bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik POM diproses secara transparan dan akuntabel, termasuk dugaan adanya inisiatif untuk meminta keluarga korban menandatangani surat pernyataan tidak akan melaporkan kasus penyiksaan tersebut atau melanjutkannya ke proses hukum. POMDAM IX/Udayana, Bali dapat harus menjelaskan secara terbuka pasal yang dikenakakan kepada para tersangka, dan menjamin bahwa terduga tersangka dihukum seadil-adilnya.

Ketiga, Puspom AD secara aktif melakukan proses pemantauan secara khusus terkait dengan kasus ini agar proses penyelidikan dan penyidikannya berjalan transparan. Selain itu, Puspom AD juga harus melakukan evaluasi berkala terhadap anggota TNI AD yang bertugas di perbatasan mengingat seringkali melakukan tindakan di luar hukum.

Keempat, Kami juga mengingatkan bahwa terlepas ada atau tidaknya proses perdamaian yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak, bahwa tindakan penyiksaan tersebut merupakan tindakan yang melanggar hukum, dan sudah sepatutnya tindakan tersebut diproses secara hukum, mengingat bahwa Indonesia adalah Negara Hukum dan dijamin dalam Konstitusi Negara. Hal ini penting dilakukan guna memberikan efek jera terhadap para pelaku dan memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi korban dan keluarga korban.

Jakarta,
Badan Pekerja KontraS

 

Yati Andriyani
Koordinator

Tembusan:

  1. KSAD
  2. Kepala PUSPOM AD
  3. Ketua Komnas HAM
  4. Ketua Ombudsman RI
  5. Ketua LPSK
  6. Arsip
Mei 8, 2018

Surat Terbuka: Desakan Proses Hukum Terhadap Anggota TNI yang Melakukan Penyiksaan terhadap Warga Oelbinose, TTU, Nusa Tenggara Timur

Surat Terbuka: Desakan […]
Mei 3, 2018

Memperingati 19 tahun Peristiwa Simpang KKA

Memperingati 19 tahun Peristiwa […]
Mei 2, 2018

STOP MENGALIHFUNGSIKAN LAHAN WARGA MENJADI ARENA LATIHAN PERANG

STOP MENGALIHFUNGSIKAN LAHAN […]
Mei 2, 2018

Bangun Kekuatan Politik Alternatif, Wujudkan Indonesia Berkeadilan!

Bangun Kekuatan Politik […]
April 26, 2018

Mendesak Presiden RI Segera Menemukan, Mengumumkan dan Memberikan Hasil Penyelidikan Dokumen TPF Munir

Mendesak Presiden RI […]
April 23, 2018

#JagaIbuBumi: Stop Sampah Plastik, Stop Sampah Politik

#JagaIbuBumi: Stop Sampah […]
April 9, 2018

Sanksi Ringan Pelaku Penyiksaan hingga Tewas Alm. La Gode : Institusi Polri Melindungi Praktik Kekejaman Anggotanya di Lapangan

Sanksi Ringan Pelaku […]
April 4, 2018

15 Tahun Peristiwa Wamena Berdarah Pengadilan HAM Hanya Janji Manis Diplomasi

15 Tahun Peristiwa […]
April 3, 2018

Desakan terhadap Kapolda Maluku untuk Melakukan Proses Hukum bagi Tim Sukses Salah Satu Calon Gubernur Maluku yang Melakukan Tindakan Kekerasan terhadap Jurnalis

Desakan terhadap Kapolda Maluku untuk […]
Maret 26, 2018

Seruan Bersama: Politik Elektoral yang Bersih dan Demokratik untuk Pilkada, Pilpres, dan Pileg

Seruan Bersama  Politik […]