Satu Tahun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKRA)
Pengungkapan Kebenaran atas Peristiwa Pelanggaran HAM di Aceh sebagai Upaya Memperkuat Perdamaian

Hari ini adalah satu tahun usia KKR Aceh pasca dilantik oleh Gubernur Aceh terhitung sejak tanggal 24 Oktober 2016. Hadirnya KKR Aceh menjadi kelahiran kembali akan harapan para korban konflik dan pelanggaran HAM di Aceh yang telah mengalami berbagai gelombang kekerasan dan pelanggaran HAM, atas pengungkapan kebenaran dan pemenuhan keadilan. Sejatinya, KKR diharapkan membuka ruang kebenaran untuk memperkuat perdamaian di Aceh serta berkontribusi terhadap upaya penegakan HAM di Indonesia.

Perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dalam Nota Kesepakatan Damai Helsinki 15 Agustus 2005 memandatkan mekanisme yudisial berupa Pengadilan HAM dan mekanisme non yudisial berupa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Aceh di masa konflik dan dituangkan dalam UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA). Di sini pembentukan KKR Aceh dan Pengadilan HAM merupakan kewajiban yang tidak terpisahkan dari tanggungjawab Pemerintah, baik Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Pusat dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan pemenuhan hak-hak korban: hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan kepada korban.

 

Untuk menyegarkan memori publik dan Pemerintah Indonesia, beberapa prinsip-prinsip kerja KKR Aceh meliputi:

  1. Proses pengungkapan kebenaran lokal dirancang dan diimplementasikan di Aceh, dengan tujuan utama untuk mengungkap kebenaran dan meluruskan sejarah Aceh;
  2. Pembentukan sebuah komisi berdasarkan UUPA yang beroperasi melalui peraturan daerah DPR Aceh. Komisi tersebut tidak akan menggunakan kekuasaannya di luar Aceh dan tidak memiliki kekuasaan untuk menghadirkan seseorang secara paksa;
  3. Komisi memiliki mandat untuk memeriksa pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh semua pihak yang berkonflik, dengan perlindungan cukup untuk memastikan ketidakberpihakan dan kemandirian;
  4. Akan mengimplementasikan mandat KKR pada level akar rumput; dan
  5. Sebuah proses rekonsiliasi berbasis komunitas akan menyediakan mediasi konflik yang berhubungan dengan pelanggaran masa lalu di level lokal.
  6. Merupakan mekanisme non yudisial, sementara mekanisme yudisial mengacu pada UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

 

Masyarakat sipil telah mengawal proses pembuatan Qanun (Peraturan Daerah) No. 17 tahun 2013 tentang KKR Aceh hingga KKR berjalan saat ini. Masyarakat sipil mengapresiasi komitmen para komisioner KKR Aceh untuk mendorong profesionalitas dan efektivitas KKR Aceh bekerja. Selama setahun berjalannya KKR Aceh, kami mencatatat beberapa capaian yang telah diraih:

  1. KKR Aceh mulai menempati kantor sekretariat sementara dan memiliki staf sekretariat sebanyak 12 orang. KKR Aceh juga telah melakukan rekrutmen terhadap anggota kelompok kerja untuk membantu kerja ketujuh komisioner dengan masing-masing mandat.
  2. KKR Aceh sudah mulai melaksanakan kegiatan sosialisasi tentang KKR di berbagai kabupaten/kota di Aceh dan mendapatkan sambutan yang cukup baik dari masyarakat, tokoh-tokoh agama dan pemerintah daerah.
  3. KKR telah menyusun draf rencana Strategis KKR Acehdan program kerja dan memiliki beberapa aturan pendukung bagi mekanisme internal proses pengungakapan kebenaran.
  4. KKR Aceh telah melakukan komunikasi dan koordinasi dengan beberapa intitusi negara di tingkat nasional dan di Aceh sendiri. KKR Aceh telah membuat kerjasama institusional dengan Komnas HAM dan Komnas Perempuan dalam upaya mendukung kerja KKR Aceh.

 

Meski demikian kami melihat bahwa KKR Aceh masih menghadapi tantangan, baik tingkat internal maupun eksternal.

  1. Dalam seminar regional yang diselenggarakan oleh KKR Aceh, 12 Oktober 2017 lalu, Gubernur Aceh dalam kata sambutannya menegaskan bahwa “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh merupakan amanah dan komitmen para pihak (GAM-RI) sebagaimana termaktub dalam MoU Helsinki. Pemerintah akan memfokuskan memberdayakan lembaga KKR, baik sumber daya kelembagaan maupun sumber daya manusianya.”
    Gubernur menegaskan empat hal penting dalam pernyataannya: “Pertama, Komisioner harus mempersiapkan kelembagaan yang baik dan profesional. Kedua, mengumpulkan data-data yang pernah ada di semua tempat dan atau pihak/lembaga sebagai basis awal ketika nantinya bisa melakukan kerja pengungkapan. Ketiga, jangan melakukan pengungkapan dan pengambilan pernyataan sebelum kesiapan kelembagaan dan personil benar-benar siap untuk melakukannya. Keempat, semua lembaga yang berkomitmen terhadap KKR Aceh harus sama-sama menjaga dan mensupport KKR Aceh pada koridor mewujudkan keadilan kepada korban dan menjaga perdamaian.” Pernyataan ini seharusnya diwujudkan dalam bentuk dukungan yang konkret dari pemerintah, baik berupa dukungan operasional, infrastruktur, dan yang terpenting adalah koordinasi di antara lembaga KKR Aceh dengan Pemerintah Daerah Aceh dan DPRA.
  2. KKR Aceh harus bekerja keras meyakinkan publik, tidak hanya publik Aceh namun juga publik Indonesia bahwa mekanisme pengungkapan kebenaran adalah upaya aktual untuk mengakhiri impunitas dan salah satu bentuk menghentikan ketiadaan bentuk keadilan dari para korban. Oleh karenanya amat diperlukan strategi dan mobilisasi pesan dan ajakan dari dalam KKR Aceh secara simultan dalam menjawab tantangan ini.
  3. Pemerintah Indonesia juga harus bisa melihat keberadaan KKR Aceh sebagai sebuah bentuk kesempatan dan komitmen untuk menjawab pelaksanaan isi dari MoU Helsinki (Nota Kesepahaman Damai) antara GAM dan Pemerintah Indonesia dan perintah Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Hal ini bisa dilakukan oleh Pemerintah Pusat dengan memberikan pernyataan (statemen resmi) dukungan terhadap KKR Aceh dan secara legal mengeluarkan Peraturan Presiden untuk menguatkan keberadaan lembaga ini.

Ketiga hal di atas hendaknya dapat menjadi prioritas dari kerja-kerja KKR Aceh dan Pemerintah Indonesia di hari-hari depan. Selamat hari jadi KKR Aceh! Mari rawat harapan korban atas kebenaran dan keadilan para korban pelanggaran HAM.

 

 

Asia Justice for Rights (AJAR) &  KontraS

 

Narahubung:

Indria Fernida (AJAR) – 0816 1466341

Feri Kusuma (KontraS) – 08118300575

Oktober 24, 2017

Satu Tahun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKRA): Pengungkapan Kebenaran atas Peristiwa Pelanggaran HAM di Aceh sebagai Upaya Memperkuat Perdamaian

Satu Tahun Komisi […]
Oktober 19, 2017

3 Tahun Jokowi-Jk Jalankan Amanat Reformasi

3 Tahun Jokowi-Jk […]
Oktober 13, 2017

Presiden Harus Ambil Langkah Tegas dalam Penyelesaian Perkara Novel Baswedan

Presiden Harus Ambil […]
Oktober 10, 2017

Politik Hukuman Mati Pemerintah Indonesia: Wajah Pengkerdilan Penegakan Hukum Dibilaki Politik Ketegasan

Politik Hukuman Mati […]
Oktober 4, 2017

Tentara Profesional Dalam Tarik Ulur Politik Nasional

Kado Untuk Hari […]
Oktober 3, 2017

Menanti Anggota Komnas HAM Terpilih yang Berintegritas dan Bernyali

Menanti Anggota Komnas […]
Oktober 2, 2017

MK Perlu Dengarkan Keterangan Berbagai Pihak dalam Pengujian Perppu Ormas

MK Perlu Dengarkan […]
September 25, 2017

Presiden dan DPR Harus Mengevaluasi Panglima TNI

Presiden dan DPR […]
September 22, 2017

Menyoal Pelibatan Militer dalam Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Menyoal Pelibatan Militer […]
September 21, 2017

Telah Terjadi Penangkapan Sewenang-wenang Terhadap Pembela Nelayan dan Lingkungan Hidup Tubagus Budhi Firbany

Telah Terjadi Penangkapan […]