Hentikan Persekusi terhadap Ragam Kelompok Identitas Seksual di Indonesia!

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) telah mengikuti secara seksama kontroversi dan praktik persekusi yang belakangan ini diarahkan kepada minoritas seksual dan kelompok LGBTIQ yang menguat kembali akhir-akhir ini. Penangkapan sebanyak 140an orang di klub Atlantis Jakarta (21/05) hingga rencana penerapan vonis sebanyak 85 kali pencambukan masing-masing kepada satu pasangan gay di Aceh dalam waktu dekat sebelum memasuki bulan Ramadhan adalah bentuk politisasi terhadap hukum itu sendiri.

Bagi KontraS, “diskriminasi musiman” ini tak ubahnya muncul dan digunakan oleh aparat penegak hukum ketika simbol dari penegakan hukum di Indonesia tengah mengalami banyak kecacatan akhir-akhir ini. Baik negara dan aparat penegak hukum nampak ingin mengembalikan pamor penguasa dan kekuasaan yang juga tidak segaris dengan ukuran akuntabilitas; meski otoritas keamanan di Jakarta dan Aceh telah merujuk baik UU No. 4 Tahun 2008 tentang Pornografi Pasal 36 jo. Pasal 10 dan Penyedia Usaha Pornografi Pasal 30 jo. Pasal 4(2) termasuk penerapan Qanun No. 17 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang melarang praktik hubungan fisik sesama jenis di Aceh.

Ada situasi yang nampak tidak ingin dijawab oleh Presiden Joko Widodo terhadap praktik persekusi dan “diskriminasi musiman”, khususnya yang diarahkan kepada ragam kelompok identitas seksual. Meski pada tanggal 19 Oktober 2016 Presiden sebagaimana dikutip dibanyak media telah menyatakan bahwa, “Di Indonesia tidak ada diskriminasi untuk minoritas, baik terkait dengan etnis, agama, dan semuanya akan diberikan perlindungan.” Untuk isu diskriminasi terhadap homoseksualitas, Presiden menjawab, “Polisi harus bertindak, tidak boleh ada diskriminasi terhadap siapapun.”

Pesan ini nampaknya belum sepenuhnya dijamin oleh pengelola negara. Sama seperti pernyataan sikap yang kami keluarkan untuk isu “Rekayasa Operasi Anti Komunis” untuk drama anti komunisme, negara juga menggunakan instrumen teknologi informasi dalam menyebarkan:

Pertama, propaganda sikap anti dan memperluas “diskriminasi musiman” berdasarkan ukuran normalitas seksual, ketika hari ini dan beberapa bulan terakhir kita menyaksikan baik video dan foto yang beredar atas aktivitas yang sebenarnya amat privat dan personal. Bahkan aparat keamanan juga turut menyebarkan visualisasi tersebut.

Kedua, operasi-operasi yang menyasar ragam kelompok identitas seksual ini telah berhasil melipatgandakan perasaan anti terhadap kelompok minoritas ini. Di tengah menguatnya politik identitas keagamaan pasca vonis putusan Basuki Tjahaya Purnama untuk isu ‘penistaan agama’.

Situasi ini nampaknya ingin mendapatkan pembenar berdasarkan aturan hukum yang telah mendapatkan sorotan evaluasi secara global. Persekusi terhadap ragam kelompok identitas adalah salah satu isu yang tidak dijawab oleh perwakilan Pemerintah Indonesia yang diwakili Menteri Luar Negeri dan Menteri Hukum dan HAM pada sesi the 3rd Cycle Universal Periodic Review (UPR) di Jenewa awal bulan ini. Sebanyak 11 negara telah mempertanyakan posisi Pemerintah Indonesia atas situasi memburuknya perlindungan kelompok rentan, dengan ukuran tradisi dan keagamaan yang memperkuat elemen penegakan hukum di Indonesia dan di wilayah spesifik seperti Aceh.

Pasal 2 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) telah menegaskan bahwa negara harus menghormati dan memastikan bahwa hak-hak sipil dan politik harus dinikmati oleh segenap warga negara, tanpa ada pembedaan atas dasar salah satunya adalah orientasi seks dan Pasal 26 dari instrumen yang sama turut menegaskan bahwa negara harus memastikan ruang kesetaraan di mata hukum dan perlindungan hukum yang setara.

Isu perlindungan, pencegahan, penghapusan hukum yang diskriminatif, larangan diskriminasi, dan jaminan agar ragam kelompok identitas seksual ini juga harus menjadi kewajiban inti dari Pemerintah Indonesia. Jika tidak, maka perluasan kebencian potensial juga akan menggunakan instrumen keragaman identitas seksual, setelah isu agama dan ideologi komunisme telah dipolitisasi sedemikian rupa untuk kepentingan elite politik, yang tentu saja anti HAM, anti akuntabilitas, dan anti kesetaraan.

 

 

Jakarta, 22 Mei 2017

Badan Pekerja KontraS,

 

Yati Andriyani, S.HI.

Koordinator

081586664599

Mei 22, 2017

Hentikan Persekusi terhadap Ragam Kelompok Identitas Seksual di Indonesia

Hentikan Persekusi terhadap […]
Mei 19, 2017

Perjuangan Pendeta Pati Palti Panjaitan, S.th : Konsistensi Berbuah Kriminalisasi

Unduh Bulletin Di […]
Mei 19, 2017

Mereka yang Terusir dari Tanah Madura: Kasus Penyerangan dan Pengusiran Paksa Warga Syiah Sampang

Ajaran Syiah di […]
Mei 18, 2017

Ketika Negara Menggantikan Tuhan Mengadili Umat Beragama Dan Berkeyakinan Yang Dianggap Sesat Di Indonesia

Unduh Bulletin Di […]
Mei 18, 2017

Potret Buram “DENSUS 88 ANTI-TEROR” Dalam Bingkai Hak Asasi Manusia

unduh Bulletin di […]
Mei 15, 2017

CATATAN HARI TNI : TNI Masih Melanggar HAM dan Menyalahgunakan Kewenangan

Pada tanggal 5 […]
Mei 15, 2017

JKN, Hak atas Kesehatan dan Kewajiban Negara

Istilah untuk kesehatan […]
Mei 15, 2017

Mempertahankan Amnesti Bagi Tahanan Politik Papua

Unduh Bulletin di […]
Mei 15, 2017

Aceh

KontraS, yang lahir […]
Mei 15, 2017

Penyiksaan yang berujung kematian oleh Anggota Polres Samarinda: If justice is really exist, then why is it so unobtainable?

“Fiat Justitia Ruat […]