Merespons Situasi Toleransi dan Kebebasan Berpendapat di Indonesia
Ada Ongkos Besar Mengamputasi HTI dan Ahok untuk Masa Depan Hukum & HAM

Pembubaran organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk tuduhan ideologi anti Pancasila dan vonis 2 tahun yang dilayangkan kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) untuk dugaan perbuatan meresahkan publik melalui video pendek yang beredar di publik pada akhir tahun 2016 adalah wujud dari memburuknya situasi toleransi, kebebasan berpendapat, dan jaminan kebebasan fundamental lainnya di Indonesia. Hari ini, Pemerintah Indonesia kembali menjungkirbalikkan makna penegakan hukum (rule of law) dengan mengglorifikasikan tafsir sempit dari hak-hak asasi yang dapat dikurangi (the derogable rights). KontraS berpendapat bahwa baik dalam situasi dan langkah pembubaran organisasi HTI maupun vonis 2 tahun kurungan penjara Ahok tidak banyak menggunakan pertimbangan akuntabilitas, pengelolaan sumber-sumber hukum yang terbukti telah bertabrakan satu dengan lainnya, termasuk menggunakan prinsip-prinsip HAM sebagai rambu-rambu dalam mengelola dinamika kebebasan berpendapat, berorganisasi, namun juga melampaui dari itu semua menjaga dan merrawat kualitas demokrasi yang telah kita miliki selama hampir 19 tahun terakhir ini.

Sebagai organisasi yang memegang teguh prinsip-prinsip hak asasi manusia, adalah penting bagi KontraS untuk menyatakan bahwa adalah hak negara, pihak pemonopoli kedaulatan untuk  menjamin bahwa operasionalisasi ideologi tidak akan memiliki kontestan tandingan lainnya. Namun demikian, negara harus pula memiliki nilai dan prinsip dalam menjamin monopoli ideologi dan kedaulatan ini berlangsung adil, terukur, dan tidak melanggar hukum, apalagi rambu-rambu HAM. Indonesia yang terikat sebagai negara pihak dari Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik memiliki kewajiban untuk tunduk dan terikat pada standar hukum HAM internasional. Beberapa pasal seperti Pasal 20 (perihal pembatasan model ekspresi yang mengandung intensi propaganda perang, anjuran kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama menuju pada wujud diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan), hingga Pasal 21 (perihal pembatasan hak yang dimungkinkan atas ukuran hukum, kepentingan keamanan nasional, keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan/moral umum, atau perlindungan hak dan kebebasan orang lain). Sifat dari pembatasan sebagaimana himbauan dari Komite HAM PBB juga harus diselenggarakan secara terukur, diberitahukan kepada para diplomat (representasi negara asing), dan diterapkan secara limitatif (terbatas waktu hingga harmonisasi dapat terwujud kembali). Pasal 21 ICCPR kemudian dikayakan oleh Prinsip-Prinsip Siracusa yang mengizinkan negara (pada derajat khusus) untuk menerapkan pembatasan sebagaimana yang dimaksud pada pasal-pasal derogasi hak dengan tetap merujuk standar-standar HAM.

Akan tetapi apa yang terjadi belakangan ini menunjukkan posisi negara yang tidak pernah menguji atau bahkan menggunakan pasal-pasal derogasi, diikuti dengan penataan hukum yang memiliki ukuran akuntabilitasnya. Pada skenario pembubaran HTI oleh Menkopolhukam, KontraS berpendapat bahwa tidak ada suatu alasan kuat, bukti melekat dan langkah-langkah hukum yang telah ditempuh terlebih dahulu pada mengelola dinamika ekspresi ataupun wujud berorganisasi dari organisasi-organisasi yang baik memiliki model advokasi berbasis kekerasan maupun model organisasi yang menggunakan persuasi ideologi berbeda dengan Negara Kesatuan Indonesia. Sesungguhnya ada banyak model organisasi kemasyarakatan yang jelas-jelas tidak mendapatkan penindakan proporsional ketika tindak kriminal telah terjadi. Pembubaran suatu organisasi adalah upaya terakhir (the last resort) yang memungkinkan dapat ditempuh negara, dengan catatan bahwa negara memiliki model penegakan hukum yang efektif sebelum upaya the last resort ini ditempuh. Namun dalam skenario HTI di Indonesia merujuk versi Wiranto Menkopolhukam, KontraS tidak melihat praktik penegakan hukum yang teruji dan konsisten dalam isu pengelolaan dinamika hak berorganisasi di Indonesia.

Pada skenario vonis 2 tahun Ahok. Situasi ini menggambarkan bahwa ada inkonsistensi dalam mengoperasionalisasikan HAM dan penegakan hukum di Indonesia. Pasal 156a KUHP yang dikukuhkan pada vonis putusan Ahok menunjukkan bahwa Indonesia tidak memiliki standar utuh pada upaya merawat toleransi dengan dimensi HAM. Pasal ini kemudian dikuatkan dengan elemen kegaduhan, juga menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia tidak memiliki itikad baik untuk mencegah dan menghentikan praktik persekusi dengan membenarkan sumber hukum yang dipakai baik kepada Ahok dan HTI. Nuansa ini mau tidak mau tidak bisa dihindari dari situasi politik Indonesia yang kian memburuk diakibatkan penegakan hukum yang tidak dioperasionalisasikan sebagaimana mestinya.

Mei 9, 2017

Merespons Situasi Toleransi dan Kebebasan Berpendapat di Indonesia: Ada Ongkos Besar Mengamputasi HTI dan Ahok untuk Masa Depan Hukum & HAM

Merespons Situasi Toleransi […]
Mei 9, 2017

Pernyataan Bersama: Peringatan 19 Tahun Tragedi Mei 1998

Pernyataan Bersama Peringatan […]
April 29, 2017

Saatnya Evaluasi Praktek dan Persyaratan Penggunaan Senjata Api di Lingkungan POLRI

Saatnya Evaluasi Praktek […]
April 26, 2017

Anjloknya Komitmen Ham Pemerintah Kita di Masa Pemerintahan Populis Jokowi

Anjloknya Komitmen Ham […]
April 25, 2017

Pendapat Akademisi dalam Sidang Eksaminasi Putusan PTUN atas Sengketa Informasi Kasus TPF Munir

Pendapat Akademisi dalam […]
April 20, 2017

Mike Pence di Indonesia: Akuntabilitas HAM pada Kebijakan dan Kerjasama Harus Menjadi Landasan Diplomasi Bilateral Indonesia dan Amerika Serikat

Mike Pence di […]
April 19, 2017

Penembakan Lubuk Linggau, Potret Brutalitas Aparat Polri di Lapangan

Penembakan Lubuk Linggau, […]
April 18, 2017

Kami Tidak Lupa & Tidak Akan Melupakan

Luapan kekecewaan masyarakat […]
April 18, 2017

Kongres Pejuang HAM : Bersama Meretas Impunitas

Demokrasi telah menjadi […]
April 18, 2017

Satu Dekade Kontras : Menolak Kekerasan Merawat Kebebasan

Sepuluh tahun sudah, […]