Dilema Profesionalisme Serdadu Militer Indonesia
Pengingkaran Akuntabilitas yang Menguat

Pada hari jadi TNI ke-71 tahun, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) akan menggunakan hak masyarakat untuk berpartisipasi sebagaimana yang dijamin di dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Hak berpartisipasi ini akan kami hadirkan dalam bentuk catatan publik atas kinerja mekanisme pertahanan yang dihadirkan oleh TNI sepanjang periode Oktober 2015 hingga Oktober 2016. Sebelumnya kami telah melakukan polling di 2 akun media sosial KontraS yakni di akun Twitter @KontraS dengan pertanyaan, “Sepakatkah kamu bahwa TNI telah bergerak maju menuju profesional dan transparan dalam kerja dan kebijakannya?” Polling ini diikuti 550 responden dengan komposisi jawaban 52% tidak sepakat, 28% sepakat dan 20% tidak tahu. Di akun Facebook KontraS kami juga menanyakan pertanyaan terbuka kepada followers KontraS dengan pertanyaan, “Apa tantangan TNI dalam membangun profesionalisme institusi pertahanan di Indonesia?” Terdapat 40 komentar yang bisa dilihat di laman daring ini: https://www.facebook.com/kontrasindonesia/photos/a.261375917232530.62720.211336225569833/1087109774659136/?type=3&theater.

Dua polling di atas adalah cermin dan ekspresi publik Indonesia dalam menyatakan pendapatnya terkait kinerja dan profesionalisme institusi TNI di Indonesia. Kami kemudian akan membahas dalam beberapa aspek di bawah ini.

 

  • Frekuensi kekerasan yang konstan

Kami masih menemukan suatu kecenderungan klasik dari kekerasan yang dilakukan TNI –baik secara institusi maupun personel yang terjadi dalam kurun waktu setahun terakhir. Tercatat tidak kurang dari 197 peristiwa kekerasan dengan 1087 korban. Kami juga memantau wilayah-wilayah tempat terjadi kekerasan paling banyak terjadi di Sumatera Utara (43 peristiwa), Jawa Barat (26 peristiwa), DKI Jakarta (19 peristiwa), Papua (17 peristiwa), Sulawesi Selatan (16 peristiwa) dan Jawa Timur (15 peristiwa). Beberapa tindak pelanggaran yang mendominasi seperti penganiayaan, intimidasi, pembubaran paksa, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, penembakan dan situasi klasik yakni bentrokan antar aparat TNI dan polisi yang terjadi secara konstan.

Tindak pelanggaran tersebut juga mencolok pada 21 kasus utama yang jika diklasifikasikan dapat dilihat dalam beberapa tindakan yakni (1) intimidasi kepada jurnalis, (2) bisnis proteksi kepada perusahaan-perusahaan yang terlibat pembakaran hutan dan lahan, (3) okupasi lahan dengan menuduh warga sebagai bagian dari PKI (peristiwa terjadi di Purwokerto), (4) penggunaan alat kekerasan secara sewenang-wenang di wilayah konflik, (5) penyiksaan terhadap warga sipil di wilayah konflik.

 

  • Pengingkaran akuntabilitas

Dengan pola dan modus kekerasan yang konstan, tidak diikuti evaluasi ketat akuntabilitas kondisi ini memberikan keleluasaan absolut kepada TNI dan aparatusnya untuk mampu menghindari agenda-agenda akuntabilitas kelembagaan. Hal ini terjadi dan menguat sepanjang perluasan kewenangan diberikan kepada TNI namun minim komitmen negara dan institusi TNI dalam mendekatkan diri dengan standar akuntabilitas. Pada pengalaman KontraS mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran hukum dan HAM yang melibatkan TNI sebagaimana yang terjadi pada kasus kematian aktivis lingkungan Jopie Perangin-Angin dan penghilangan paksa warga sipil bernama Dedek Khairudin yang masih hilang hingga kini; KontraS mengetahui bahwa mekanisme Peradilan Militer yang diatur di dalam UU No. 31/1997 masih belum bisa memberikan vonis setimpal yang berkorelasi dengan menurunnya praktik kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan prajurit TNI.

Dalam kasus kematian Jopie Perangin-Angin, pelaku yang berpangkat Praka divonis 2 tahun; begitu pula 8 anggota Marinir yang menculik Dedek Khairudin hanya divonis 1 tahun 5 bulan. Kondisi yang timpang ini adalah akar yang kemudian dinikmati oleh para purnawirawan TNI yang terlibat dalam sejumlah kasus kekerasan dan pelanggaran HAM serius seperti nama-nama Wiranto (terlibat dalam sejumlah kasus pelanggaran HAM masa lalu seperti Tragedi Trisakti, Semanggi I & II, Timor Leste dan kekerasan lainnya kini menjadi Menkopolhukam), Hartomo (terlibat dalam kasus kematian tokoh Papua Theys Hiyo Eluay, telah dipecat dalam putusan Mahkamah Militer Tinggi III Surabaya kini telah diangkat oleh Panglima TNI Gatot Nurmantyo sebagai Kepala BAIS ditahun 2016), empat pelaku penculikan Tim Mawar  telah mendapatkan kenaikan pangkat menjadi Brigardir Jenderal yakni Kolonel In. Fauzambi Syahrul Multazhar, Kolonel Inf. Nugroho Sulistyo Budi, Kolonel Inf. Yulius Selvanus, Kolonel Inf. Dadang Hendra Yuda. Nama-nama tersebut adalah gambaran bahwa wajah impunitas militer di masa pemerintahan Joko Widodo kian menguat dan semakin kebal hukum. Hal ini bisa diuji kembali ketika Wiranto nampak mulai berani untuk menawarkan agenda rekonsiliasi non-akuntabilitas dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

  • Komitmen negara

Konsiderasi lainnya perihal komitmen negara untuk mendorong agenda reformasi TNI nampak melemah dan nampak tidak koordinatif ketika beberapa kebijakan yang muncul tidak mencerminkan semangat akuntabilitas, penyegaran birokrasi maupun terobosan. Hadirnya kebijakan bela negara adalah wujud dari praktik mobilisasi militerisme sipil yang potensial dibenarkan untuk menghadirkan kebijakan-kebijakan lainnya yang anti HAM. Dalam semangat yang sama pernyataan Menteri Pertahanan Ryamrizard Ryacudu yang menegaskan bahwa kelompok orientasi seksual LGBT adalah suatu entitas yang jauh lebih berbahaya dari perang nuklir juga tidak pernah mendapatkan ruang koreksi negara.

Para pengambil kebijakan juga nampak kebingungan ketika ingin menggunakan dan mengaktifkan kewenangan TNI atas agenda Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang diatur di dalam Pasal 7(2) dari UU No. 34/2004. Hal ini nampak dari agenda amandemen UU No. 15/2003 tentang Anti Terorisme. Amandemen tersebut nampak tidak jelas apakah amandemen akan memperbaharui norma dari penanganan anti teror ataukah amandemen tersebut akan mengatur secara operasionalisasi tugas perbantuan TNI untuk sektor ‘Operasi Militer Selain Perang’ yang disertai dengan ruang akuntabilitas yang terang dan jelas. Namun hal ini nampak belum diputuskan oleh pemerintah.

Perihal pengelolaan keamanan di wilayah konflik seperti di Poso dan Papua, KontraS memantau bahwa pendekatan keamanan yang turut melibatkan unsur TNI di dalamnya harus segera diubah menjadi pendekatan pelucutan senjata (disarmament), memobilisasi para eks kombatan (demobilitation) dan melakukan agenda reintegrasi (reintegration) dengan semangat dialog guna mengukur kepuasan warga dan korban.

 

  • Kesimpulan

KontraS amat mengkhawatirkan bahwa Presiden Joko Widodo tidak cukup memiliki pengetahuan dan kapasitas dalam pengelolaan instrumen dan kebijakan pertahanan Indonesia. Semangat untuk mendorong modernisasi yang terlihat dalam konteks penanganan Laut China Selatan –termasuk juga melalui kebijakan industri pertahanan melalui UU No. 16/2012 menjadi begitu timpang dengan pola-pola tradisional yang masih dipertahankan dalam agenda TNI sebagaimana yang disebutkan di atas. TNI boleh menjadi lembaga negara paling senior dalam jajaran birokrasi Indonesia, namun pengabaian akuntabilitas dengan mulai permisif pada impunitas adalah jalan terburuk yang telah dipilih oleh pemerintahan yang akan berumur 2 tahun ini.

 

 

Jakarta, 5 Oktober 2016

Badan Pekerja KontraS,

 

Haris Azhar, MA

Koordinator

Oktober 5, 2016

Dilema Profesionalisme Serdadu Militer Indonesia: Pengingkaran Akuntabilitas yang Menguat

Dilema Profesionalisme Serdadu […]
Oktober 4, 2016

Data Hukuman Mati di Indonesia 2016

selengkapnya klik link […]
Oktober 3, 2016

Kasus Kekerasan Jurnalis Di Madiun, Cermin Brutalitas Aktor Keamanan di Indonesia

Kasus Kekerasan Jurnalis […]
Oktober 3, 2016

Presiden Harus Memerintahkan Kapolri Menyidik Kembali SP3 15 Korporasi

Presiden Harus Memerintahkan […]
September 29, 2016

Laporan Investigasi Penyiksaan dan Penembakan pada Peristiwa Meranti Berdarah

Peristiwa Meranti Berdarah […]
September 28, 2016

Duka Duri, Duka Rakyat Indonesia: Lawan Terus Penggusuran Berkedok Relokasi!

Duka Duri, Duka […]
September 27, 2016

Menerapkan Standar Minimum Pekerjaan Psikosial Untuk Penghilangan Paksa

“Dimanakah mereka?”—ini adalah […]
September 27, 2016

Perkuat Persatuan Gerakan Rakyat, Laksanakan Reforma Agraria Sejati dan Lawan Perampasan Tanah Rakyat

Perkuat Persatuan Gerakan […]
September 26, 2016

#MasihIngat Salim Kancil: Menagih Janji Negara untuk Melindungi Lingkungan dan Pembela Kepentingan Umum

#MasihIngat Salim Kancil: […]
September 22, 2016

Surat Terbuka: Penanganan Kasus Vaksin Palsu Jalan di Tempat

Hal: Surat Terbuka […]