Putusan Mahkamah Konstitusi:
Terjadi Ketidakpastian Hukum Akibat Absennya Negara dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM berat
Setelah kurang lebih satu tahun lamanya, akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa bolak-balik berkas kasus-kasus pelanggaran HAM berat, antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, merupakan tindakan hukum yang tidak sesuai dengan norma hukum dan menunjukan ketiadaan kemauan politik pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran tersebut. Tindakan ini mengakibatkan peniadaan hak konstitusi penggugat, yang juga keluarga korban orang hilang peristiwa pelanggaran HAM berat 1997/1998, untuk mendapatkan keadilan, pemulihan dan kebenaran. Situasi telah terjadi selama lebih dari 13 tahun.
Gugatan ke MK dilakukan oleh Paian Siahaan ayah korban Penghilangan Paksa 97/98 dan Ruyati Darwin ibunda korban Kerusuhan Mei 1998. Keduanya mengajukan permohonan uji materil ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas frasa “kurang lengkap” yang tercantum dalam, pertama, Pasal 20 ayat (3) dan , kedua, pada penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM terhadap UUD 1945. Frasa “Kurang lengkap” tersebut mengandung multitafsir, hingga mengakibatkan terjadinya bolak balik berkas antara Komnas HAM sebagai penyelidik dan Jaksa Agung sebagai penyidik, selama lebih dari 13 tahun. lebih jauh, hal ini mengakibatkan ketiadaan proses hukum. Karenanya, frasa tersebut dinilai telah merugikan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum, jaminan mendapat kemudahan untuk memperoleh kesempatan yang sama guna mencapai keadilan dan tidak diskriminatif yang dijamin dalam pasal 28D ayat (1), 28H ayat (2), serta Pasal 28I ayat (2), Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen II (2000).
Pada 23 Agustus 2016, Majelis Hakim MK memutus perkara dengan No. 75/PUU-XIII/2015—dan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Kendati demikian Penggugat dan Kuasa Hukum, dari KontraS, menghormati putusan Majelis dan memberikan apresiasi atas penegasan norma hukum dan pertimbangannya. Terdapat sejumlah hal yang penting diberikan catatan dari pertimbangan tersebut,
Pertama, putusan MK mengafirmasi bahwa korban pelanggaran HAM berat telah mengalami ketidakpastian hukum yang diakibatkan oleh lemahnya kinerja lembaga Negara dalam mempraktikan norma hukum, meskipun interpretasinya sudah jelas. Majelis menegaskan bahwa pengembalian berkas hanya dimungkinkan berkenaan dengan ketidakjelasan tindak pidana atau cara dilakukannya tindak pidana, atau berkenaan dengan bukti – bukti. Dalam hal ini, KontraS mencatat dari 7 berkas pelanggaran HAM berat yang sedang berproses, setidaknya 3 berkas (Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Paksa 97/98, dan Talangsari 1989) terdapat inkonsistensi alasan pengembalian bolak balik berkas dari Penyidik kepada Penyelidik, yang diantaranya mempersoalkan belum terbentuknya pengadilan HAM ad hoc sebagai landasasan dalam melakukan penyidikan, dan sejumlah alasan formil lainnya.
Kedua, pertimbangan Majelis menjadi koreksi penting bagi Pemerintah, terutama bagi badan legislatif sebagai badan pembuat UU sejauh mana mereka sudah memastikan bahwa perundang-undangan yang mereka hasilkan tersebut tidak berdampak terhadap kepastian hukum. Sebagaimana Majelis menyarankan pembentuk UU melengkapi ketentuan dalam Pasal 20 UU 26/2000 guna memberi jalan keluar terhadap 3 persoalan penting, yaitu; (1) penyelesaian atau jalan keluar dalam hal terjadi perbedaan pendapat yang berlarut-larut antara penyelidik (Komnas HAM) dan Penyidik (Jaksa Agung) mengenai dugaan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, khususnya kelengkapan hasil penyelidikan. (2) penyelesaian atau jalan keluar apabila tenggang waktu 30 hari sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (3) UU 26/2000 terlampaui dan penyelidik (Komnas HAM) tidak mampu melengkapi kekurangan hasil penyelidikannya. (3) langkah-langkah hukum yang dapat ditempuh oleh warga Negara yang merasa dirugikan oleh pengaturan pada angka (1) dan angka (2) di atas. Dengan adanya ketegasan pengaturan yang demikian maka pada masa yang akan datang tidak ada warga Negara yang mengalami ketidakpastian hukum sebagaimana yang dialami para Pemohon.
Terakhir, Majelis mengafirmasi bahwa sesungguhnya penyelesaian pelanggaran HAM berat sudah tidak berada di wilayah yuridis melainkan pada kemauan politik semua pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pelanggaran HAM berat sambil menjunjung bekerjanya supremasi hukum di atas pertimbangan lainnya, sesuai dengan amanat pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Berdasarkan pada pertimbangan hukum diatas, kami mendesak;
Jakarta, 24 Agustus 2016
Badan Pekerja KontraS
Haris Azhar, S.H., MA
Koordinator
Narahubung; Feri Kusuma (0853.7050.8497)