Korban Peristiwa Simpang KKA Menunggu Pemeriksaan Kejaksaan Agung

Komnas HAM dalam Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM yang berat peristiwa Simpang KKA menyimpulkan terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam peristiwa Simpang KKA, Aceh Utara, Propinsi Aceh. Dalam laporan yang dirilis baru-baru ini, Komnas HAM menyatakan telah terjadi pembunuhan, penganiayaan yang mengakibatkan 23 orang masyarakat sipil meninggal dunia, dan 30 orang menjadi korban persekusi.

Menurut temuan Komnas HAM, para pelaku yang diduga bertanggungjawab dalam peristiwa Simpang KKA, 3 Mei 1999, terdiri dari; Pangdam Bukit Barisan tahun 1999, Danrem 011/Lilawangsa pada saat peristiwa Simpang KKA, Dandim 0103/Aceh Utara, Danramil Dewantara, Komandan Detasemen Arhanud Rudal 001/Pulo Rungkom dan anggotanya serta pasukan Yonif 113/Jaya Sakti. Perbuatan para pelaku merupakan bagian dari serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, yaitu suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa. Karena perbuatan tersebut juga dilakukan secara meluas dan sistematis, maka bentuk-bentuk perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Peristiwa Simpang KKA berawal dari isu terkait hilangnya salah satu anggota TNI Detasemen Rudal bernama Adityawarman pada tanggal 30 April 1999. Adityawarman dituduh diculik ketika tengah menyusup ke acara ceramah agama pada peringatan 1 Muharram yang diselenggarakan warga Cot Murong. Anggota militer Detasemen Rudal melakukan penyisiran ke rumah-rumah warga dan ke tempat aktivitas warga untuk mencari Adityawarman. Dalam proses pencarian, aparat TNI terus melakukan kekerasan terhadap warga: tercatat sekitar 20 warga dipukul, ditendang, dan diancam-bahkan tiga orang warga ditangkap. Masyarakat tidak terima tindakan aparat tersebut. Menurut masyarakat, isu hilangnya Adityawarman hanya akal-akalan aparat TNI dan sengaja dibuat untuk mencari masalah dengan masyarakat setempat yang sedang melakukan ceramah agama untuk memperingati 1 Muharram. Pada 3 Mei 1999, warga melakukan protes di depan kantor Koramil Dewantara dan di jalan Simpang KKA. Warga memblokir jalan raya Banda Aceh-Medan. Suasana memanas, aparat TNI membrondong tembakan ke arah warga, menganiaya warga dan memaki warga dengan kata “anjing, babi, mampus kau GPK (Gerakan Pengacau Keamanan)”.

Berdasarkan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,   temuan Komnas HAM tersebut harus ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung. Instrumen hukum telah memberikan tugas dan wewenang kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Dan melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Jika pun penyidik masih menganggap temuan Komnas HAM masih “kurang lengkap”. Maka hal ini harus dilakukan secara objektif dan sesuai dengan yang dijelaskan UU Pengadilan HAM, pasal 20 Ayat (3) Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.

Dalam pandangan kami mengembalikan berkas atau bolak-balik berkas karena alasan ‘‘kurang lengkap’’ sebagaimana lazimnya terjadi antara Jaksa Agung dan Komnas HAM- tidak patut lagi terulang.  Karena selain merusak kredibilitas kerja Komnas HAM dan Jaksa Agung-juga melanggar petunjuk peraturan. Sebagaimana diketahui dalam hal penyelidikan; penyelidik (Komnas HAM) dan penyidik (Jaksa) sama-sama sudah terlibat dari awal dalam proses penyelidikan kasus. Hal tersebut ditegaskan dalam Peraturan Jaksa Agung (PERJA); No PER 017/A/JA/07/2014 (Tentang TATA KELOLA ADMINISTRASI DAN TEKNIS PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KHUSUS), pasal (10) Pra penyidikan adalah tindakan Jaksa yang ditunjuk untuk mengikuti perkembangan penyelidikan Komnas HAM dalam perkara pelanggaran HAM yang berat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menurut cara yang diatur dalam peraturan Jaksa Agung ini. Sesuai dengan petunjuk pasal 10 tersebut, dengan demikian maka dapat yakini bahwa Komnas HAM dan Kejaksaan Agung sudah berkonsultasi dari awal, mengetahui proses penyelidikan dan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM.

Disamping itu, dokumen dan bukti-bukti terkait peristiwa Simpang KKA banyak tersedia. Pada tahun 2000, Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh yang dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 88/1999-juga sudah melakukan penyelidikan peristiwa Simpang KKA. Dalam laporan Komisi tersebut menyebutkan sebanyak 39 warga sipil tewas ditembak (termasuk seorang anak berusia 7 tahun bernama Saddam Husen), 156 sipil mengalami luka tembak, dan sekitar 10 warga sipil dinyatakan hilang.

Temuan dan kesimpulan Komnas HAM ini sangat penting untuk mengurai lebih jauh terkait peristiwa Simpang KKA, memberikan kepastian hukum dan pemenuhan hak-hak para korban yang sudah menunggu selama 17 tahun. Berangkat dari bukti-bukti awal tersebut, kami mendesak;

Pertama Kejaksaan Agung agar dalam tempo 30 hari sejak laporan penyelidikan Komnas HAM diserahkan, Jaksa Agung HM Prasetyo sudah mengambil langkah penyidikan, bertemu dengan para korban dan memanggil para pelaku yang bertanggungjawab.  Laporan hasil penyelidikan Komnas HAM ini menjadi ukuran kinerja Jaksa Agung HM Prasetyo dalam penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap pelaku pelanggaran HAM yang berat.

Kedua Komisi Kejaksaan RI yang memiliki mandat pemantauan dan pengawasan kinerja Jaksa agar mengawasi kinerja  Jaksa Agung dalam penanganan kasus tersebut. Kami berharap Komisi Kejaksaan lebih kritis serta proaktif melakukan pengawasan kinerja Jaksa. Selama ini Komisi Kejaksaan lebih banyak diam dalam menyikapi tuntutan para korban pelanggaran HAM yan berat-padahal Komisi Kejaksaan tahu bahwa Kejaksaan Agung melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan atas penanganan kasus pelanggaran HAM yang berat.

Ketiga Presiden Joko Widodo agar memberi perhatian serius atas temuan pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa Simpang KKA. Menjadikan penanganan kasus tersebut sebagai salah satu ukuran penilaian kinerja Jaksa Agung. Jika Jaksa Agung tidak mampu menangani kasus ini, maka sudah selayaknya HM Prasetyo diganti.

Jakarta, 26 Juni 2016

Badan Pekerja

Haris Azhar, S.H., M.A.

Koordinator

Narahubung; Feri Kusuma, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, 081291192655

Juni 27, 2016

Korban Peristiwa Simpang KKA Menunggu Pemeriksaan Kejaksaan Agung

Korban Peristiwa Simpang […]
Juni 24, 2016

Daftar Inventarisasi Masalah terhadap RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Daftar Inventarisasi Masalah […]
Juni 23, 2016

Daftar Inventarisasi Masalah Rancangan Undang-Undang Perubahan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

selengkapnya klik link […]
Juni 13, 2016

Menguatnya Privilese Aktor Keamanan yang Anti HAM dan Kebebasan

Menguatnya Privilese Aktor […]
Juni 12, 2016

Koalisi Masyarakat Sipil Mengecam Industri Tambang Batubara yang Terus Melanggengkan Konfik dan Kekerasan

Koalisi Masyarakat Sipil […]
Juni 12, 2016

Penyiksaan Masih Jadi Hobi Aparat Penegak Hukum..!

Penyiksaan Masih Jadi […]
Mei 25, 2016

Tolak Gelar Pahlawan Soeharto

Tolak Gelar Pahlawan […]
Mei 19, 2016

Presiden Segera Penuhi Janji Penyelesaian Kasus Paniai, Pastikan Tim Adhoc Pelanggaran HAM Berat Paniai Bekerja

Presiden Segera Penuhi Janji Penyelesaian […]
Mei 16, 2016

Pelaksanaan Ekesekusi Pidana Mati Dalam Waktu Dekat Di Singapura Dan Indonesia Harus Dihentikan

Pelaksanaan Ekesekusi Pidana […]
Mei 12, 2016

Menolak Eksekusi Mati dan Kebijakan yang Tidak Transparan

Menolak Eksekusi Mati […]