Rekayasa Operasi Anti Komunis

 

KontraS mencatat bahwa maraknya operasi anti komunisme atau PKI merupakan rekayasa dan tindakan yang berlebihan. Kami mencatat bahwa apa yang terjadi dalam kurun waktu beberapa hari ini di bulan Mei, terutama pasca Simposium Masalah 1965 dan upaya pendataan kuburan massal peristiwa 1965, merupakan upaya menciptakan “musuh” dan situasi kegentingan atas kebangkitan komunisme atau PKI di berbagai tempat di Indonesia. Tindakan ini sungguh aneh karena PKI, yang merupakan Partai Komunisme Indonesia sudah dibubarkan. Komunisme pun harus dilihat sebagai pengetahuan umum diantara pengetahuan umum lainnya, yang dibaca dan  dipelajari sebagai sebuah pengetahuan sosial. Lalu kenapa ada upaya menciptakan ketakutan pada pengetahuan ini? Jadi situasi ini merupakan musuh yang diciptakan.

Ketidakwarasan juga terlihat dari tindakan di lapangan yang terjadi dalam beberapa hari ini, ketakutan pada PKI atau komunisme diwujudkan dengan mengamankan, menangkap, menyita atau melarang pemakaian kaos yang ada gambar Palu, Arit, kaos berwarna merah, film yang membahas pelanggaran HAM, intimidasi ke penerbit buku. Semua tindakan ini tidak berhubungan dengan suatu tindak pidana apapun yang sudah terjadi. Situasi ini justru menunjukkan bahwa ada upaya membangun kembali peran intervensi militer di Indonesia untuk masuk merecoki kehidupan sipil demokratis di Indonesia, dimana tentara melakukan intimidasi (penerbit buku Resist di Yogyakarta, 11 Mei 2016), Menangkap seseorang di Ternate, 11 Mei 2016).

 

Apa yang terjadi saat ini adalah sebuah Operasi, bergaya Orde Baru dengan sedikit menggunakan peran teknologi informasi. Operasi ini memiliki pembagian peran:

Pertama, operasi tertutup, propaganda menyebarkan broadcast informasi atribut-atribut “PKI” atau “Komunis” seperti di Palembang beredar berbagai striker PKI. Penyebaran informasi perihal PKI juga banyak beredar di jejaring media sosial yang luas digunakan publik Indonesia seperti Facebook, Twitter, Instagram. Kami melihat ada beberapa motif: (a). Menunjukkan bahwa PKI masih ada, (b). Menyulut rasa ketidaksukaan kelompok sosial lainnya yang cenderung berada di garis konservatif.

Kedua, operasi mobilisasi (kelompok) masyarakat untuk memelihara ketakutan dan perasaan adanya ancaman, sekaligus mendatangi organisasi-organisasi tertentu dan menuduh komunisme.

Ketiga, operasi tertutup ini kemudian menarik para pengambil kebijakan keamanan untuk bertindak restriktif dan represif dengan menekan kelompok-kelompok ekspresi menggunakan hukum secara serampangan. Diketahui bahwa hari ini (12/5) Mabes Polri – Divisi Hukum akan menggelar Focus Group Discussion: Kajian Yuridis Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia dengan mengutip peristiwa pembubaran nonton film Pulau Buru Tanah Air Beta yang diselenggarakan oleh AJI Yogyakarta dan berupaya untuk membenarkan tindakan legal guna melarang ajaran “Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagai bahan ajar bagi pimpinan Polri untuk mengambil tindakan hukum.

 

Sayang sekali, Joko Widodo, sang Presiden, hanya mengamini genderang operasi atau propaganda ini. Joko Widodo menyatakan perlu penegakan hukum atas komunisme. Pernyataan ini bisa dijadikan alat pembenar bagi siapapun di daerah atau di lapangan untuk saling tuduh dan berujung konflik atau kekerasan. Atas nama “komunisme” seseorang atau kelompok tertentu bisa melakukan main hakim sendiri. Operasi ini terjadi akibat kegamangan pemerintahan Joko Widodo dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Ketidakpatuhan hukum oleh Komnas HAM, Jaksa Agung dan Presiden berdampak pada cara-cara penyelesaian yang berpotensi memunculkan atau “sengaja menciptakan” konflik sosial atau operasi tertentu.

Operasi seperti ini pernah terjadi beberapa kali sebelumnya di Indonesia, salah satu yang terdekat pada September tahun lalu, 2015. Pada saat itu gencar muncul informasi kebangkitan PKI dan terdapat informasi bahwa Presiden RI Joko Widodo akan “minta maaf” pada PKI. Padahal informasi ini tidak pernah disampaikan secara resmi oleh Presiden ataupun pihak Istana. Menariknya, justru pihak Istana mengetahui siapa yang menghembuskan informasi tersebut, namun tidak bersedia membukanya. Tujuan dari operasi ini pada September lalu, adalah untuk memastikan bahwa Joko Widodo hadir Monumen Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Pembatasan praktik ekspresi publik dengan tindakan yang mendahului dan dipenuhi rekayasa ini jelas bertentangan pada komitmen Pemerintah Indonesia untuk menghormati kebebasan berekspresi yang diatur di dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 23 UU No. 39/1999 tentang HAM. Bagi mereka yang berusaha untuk menolak argumentasi KontraS dan pegiat HAM lainnya, maka akan kerap mengutip Pasal 28J (2) UUD 1945 yang ditafsirkan secara ambigu dan tidak sesuai dengan semangat derogasi hak yang diatur dalam tata hukum nasional dan internasional.

Kali ini, tujuan dari operasi di bulan Mei ini adalah untuk menolak rencana pengungkapan kejahatan politik Orde Baru yang militeristik, terutama pasca menguatnya upaya identifikasi kuburan masal. Kedua bertujuan untuk membungkam gerakan kelompok kritis dikalangan masyarakat yang makin menguat membongkar berbagai kejahatan negara, baik dimasa lalu maupun yang kini sedang terjadi. Seperti menuduh upaya advokasi tolak reklamasi sebagai komunis, teror terhadap penerbit buku di Yogyakarta. Semua operasi ini adalah bentuk ketakutan dari mereka yang diuntungkan oleh praktik korup dan militeristik Orde Baru. Kepentingan mereka sedang terganggu oleh kemajuan dan perubahan zaman. Siapa mereka? Kami dari KontraS meyakini bahwa hal ini tidak susah untuk diungkap oleh pihak Istana. Seperti saat September 2015.

Presiden harus hentikan operasi-operasi seperti ini. Jika tidak, maka ke depan kita masih akan disuguhi drama anti komunisme, dan “anti-anti lainnya”.
Hormat kami,
Jakarta, 12 Mei 2016
Badan Pekerja KontraS

Haris Azhar
Koordinator

 

Sumber foto: The Citizen Daily

Mei 12, 2016

Rekayasa Operasi Anti Komunis

Rekayasa Operasi Anti […]
Mei 5, 2016

Kapolri Harus Menindak Anggota Polisi Pelaku Pembubaran Acara Pemutaran Film di Kantor AJI Yogyakarta

Kapolri Harus Menindak […]
April 29, 2016

Pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Tidak Menjawab Akar Permasalahan Terorisme di Indonesia

Pembahasan RUU Pemberantasan […]
April 28, 2016

Presiden Segera Umumkan Laporan Hasil Penyelidikan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir

Presiden Segera Umumkan […]
April 26, 2016

Desakan Proses Hukum dan Reformasi Sistem Penjara Pasca Peristiwa Banceuy, Bandung

Desakan Proses Hukum […]
April 21, 2016

Surat Terbuka: Pertemuan Presiden Komisi Eropa dengan Presiden Indonesia

Hal      : Pertemuan […]
April 20, 2016

Hentikan Usulan Pasal Pencalonan Anggota TNI/Polri Tanpa Mundur di Draft Revisi UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah

Hentikan Usulan Pasal […]
April 19, 2016

Catatan Singkat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS): Perihal Reaksi Negara atas Simbol dan Lambang yang Identik dengan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi Marxisme

Pasca Simposium Nasional […]
April 19, 2016

Saatnya Mengedepankan Hak Asasi Manusia Dalam Menanggulangi Persoalan Narkotika

Saatnya Mengedepankan Hak […]
April 15, 2016

Simposium Nasional; Sekedar Diskusi: Menunjukkan Pemerintah Gamang Menghadapi Pelaku Pelanggaran HAM

Simposium Nasional; Sekedar […]