Kebebasan Makin Terancam di Indonesia
dalam rangka
Peringatan Hari HAM Sedunia
10 Desember 2015
Pada catatan publik di Hari HAM Sedunia yang selalu jatuh setiap tanggal 10 Desember, kali ini KontraS akan memberikan perhatian serius pada standar kebebasan dan praktik dari kewajiban negara untuk melindungi HAM atas setiap individu. Perhatian ini juga adalah upaya KontraS untuk memperkaya dinamika tema Hari HAM sedunia yang memiliki fokus pada isu, “Our Rights. Our Freedoms. Always.”
Konteks kebebasan di sini menjadi signifikan untuk mengukur aktualisasi pelaksanaan dari komitmen setiap negara pihak dari instrumen HAM internasional, khususnya yang diatur di dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya –yang telah memasuki 50 tahun pasca Majelis Umum PBB mengadopsi kedua instrumen- dan termasuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Ketiga instrumen ini (yang juga dikenal sebagai the Bill of Rights) telah mempromosikan sekaligus menjamin perlindungan hak-hak asasi yang sekaligus membuka ruang penghargaan atas 4 kebebasan dasar setiap manusia: freedom from fear, freedom of speech, freedom of worship, freedom from want.
Bagi Indonesia, konteks kebebasan menjadi indikator penting untuk mengukur peran serta masyarakat. Suatu negara dapat dikatakan demokratis jika prosesnya melibatkan peran sert amasyarakat dan dengan ditunjang proses yang optimum atas lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, termasuk kontrol check and balances). Dmeokrasi harus menjunjung tinggi praktik akuntabilitas. Titik tekan akuntabilitas adalah pada kapasitas negara untuk melakukan pertanggungjawaban (Accountibility), kapasitas negara untuk menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat atau memberikan justifikasi atas suatu kebijakan dengan dasar pemenuhan kebutuhan publik (answerability) dan kemampuan negara untuk melaksanakan kebijakan dengan standar koreksi ketat (enforceability).
Poin-poin diatas, ditambah dengan standar akuntabilitas dapat membantu publik untuk mengukur kinerja pemerintahan di bawah era Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam upayanya untuk menjamin, menghormati dan melindungi hak-hak dan kebebasan fundamental.
Dalam catatan KontraS, terdapat beberapa situasi yang harus menjadi perhatian kita semua:
Pertama, kapasitas negara untuk melakukan agenda pertanggungjawaban (state responsibility). Dari 238 peristiwa pembatasan kebebasan, diketahui bahwa mayoritas para pelaku pembatasan kebebasan tidak mendapatkan hukuman setimpal. Polisi masih menduduki peringkat pertama (85 tindakan), disusul pejabat publik, ormas fundamentalis, TNI, kelompok akademik universitas. Model pembatasan kebebasan yang dominan terjadi adalah pembubaran opini publik di muka umum, penangkapan sewenang-wenang, penganiayaan, pembatasan ibadah dan berkeyakinan, pembatasan penyelenggaraan acara, hingga pemblokiran situs dan pelarangan penggunaan jilbab.
KontraS juga aktif memantau beberapa wilayah dan kota di Indonesia yang belum ramah dan cenderung anti HAM. Peringkat pertama masih dimonopoli oleh Jawa Barat (41 peristiwa: didominasi pembatasan kebebasan beragama. Beribadah dan berkeyakinan), Jawa Timur (35 peristiwa: didominasi dengan praktik pembubaran aksi buruh, Sumatera Utara (28 peristiwa: didominasi dengan praktik pembatasan jurnalis, peningkatan pembatasan kebebasan dengan tren sumber daya alam), DKI Jakarta (24 peristiwa: didominasi dengan peristiwa penggusuran paksa, penangkapan sewenang-wenang dan pembubaran paksa aksi buruh dan mahasiswa) dan Papua (23 peristiwa: didominasi dengan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang atas aksi ekspresi damai).
Kedua, kapasitas negara untuk menjawab atau memberikan justifikasi atas suatu kebijakan dengan dasar pemenuhan kebutuhan publik (answerability). KontraS menemukan banyak ketidaksinkronan negara dalam memberikan respons dan reaksi atas berbagai situasi dan kondisi HAM di Indonesia. Respons rekonsiliasi yang digagas oleh Kejagung, Komnas HAM dan Menkopolkam adalah jawaban bentuk minimnya pengetahuan negara atas konsep akuntabilitas yudisial untuk pelanggaran HAM masa lalu yang diamanatkan oleh UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Selain itu, proses yang lama dan cenderung mengabaikan kondisi korban telah memberikan kerugian signifikan pada pemenuhan pemulihan hak-hak korban secara luas. Namun KontraS mendukung Panitia Seleksi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh untuk bekerja memilih komisioner yang kredibel dan memiliki nilai-nilai utama dalam proses pengungkapan kebenaran untuk kejahatan HAM yang terjadi di Aceh sebelum MoU Helsinki 2005 disepakati.
Negara juga masih minim pemahaman atas beberapa konsep kunci untuk memberikan penegasan atas perlindungan kebebasan dan hak-hak fundamental. Lahirnya Surat Edaran Hate Speech oleh Kapolri Badrodin Haiti, justru mengacaukan definisi atas syiar kebencian dengan pencemaran nama baik. Gubernur DKI Jakarta Basuki TP juga telah melahirkan peraturan gubernur yang anti ekspresi dengan membatasi aksi demonstrasi hanya di-3 titik wilayah di Jakarta. Konsiderasi KontraS juga memerhatikan lahirnya peraturan-peraturan yang justru memberangus ruang ekspresi dari hak-hak pekerja, seperti PP 78 yang mengatur tentang pengupahan dan anti mogok masal. Banyak juga respons dari para pejabat publik yang amat meresahkan dan cenderung destruktif dalam membangun wacana anti kekerasan. Utamanya yang terkait dengan penyelenggaraan International Peoples Tribunal di Den Haag beberapa saat lalu.
Ketiga, kemampuan negara untuk melaksanakan kebijakan dengan standar koreksi ketat (enforceability). Setahun ini kita disibukkan dengan praktik eksekusi mati kepada 14 orang terpidana, di mana kasus dari ke-14 orang ini memiliki kejanggalan proses hukum sehingga mencederai hak-hak mereka atas peradilan yang jujur dan tidak memihak. Tahun ini juga kita aksi penyensoran masif (baik online dan offline) yang dilakukan oleh negara: BNPT menyensor sepihak 22 situs ‘fundamentalis keagamaan’, polisi di Bali membatalkan Ubud Writers and Readers Festival, diskusi dan pemutaran film yang terkait dengan peristiwa 1965, termasuk pembredelan majalah Lentera (UKSW), tidak kurang telah memperkaya referensi ketakutan di republik ini.
Di ruang koreksi, negara menggunakan hak untuk tidak menjawab, yang berkebalikan dengan semangat hak untuk tahu sebagaimana yang diatur di dalam UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Menkopolkam, Kapolri, dan Menteri Kehutanan/Lingkungan Hidup yang bergeming untuk tidak memberikan nama-nama para pelaku pembakar hutan, termasuk perusahaan (nasional-multinasional) yang dilindungi demi melanjutkan investasi amat bertentangan dengan standar dari konsep bisnis dan HAM yang selama ini diketahui mulai dipromosikan oleh Kementerian Luar Negeri RI.
Kami juga mencatat praktik kriminalisasi yang kian menjadi tren, diikuti aparat keamanan (didominasi kepolisian) yang kian kebal hukum dalam beberapa sektor seperti advokasi anti korupsi, sumber daya alam, maupuan aktivitas-aktivitas publik cenderung menempatkan publik sebagai kelompok rentan yang bisa diperdaya dengan seolah-olah menegakkan hukum, namun sebenarnya tidak.
Kebebasan adalah modalitas utama dari suatu negara demokratik untuk mengukur ruang partisipasi publik bahkan dalam standar yang lain adalah untuk mengukur sejauh mana negara dan aparatusnya akuntabel dalam menjalankan mandat demokrasi, penegakan hukum dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Namun, KontraS menemukan ada situasi yang tidak banyak berubah dari tahun-tahun sebelumnya, yang diperburuk dengan rendahnya akuntabilitas negara dan aktor non negara untuk mengedepankan fungsi korektif dan pencegahan. KontraS telah menemukan kecenderungan yang belakangan menguat:
Jakarta, 10 Desember 2015
Badan Pekerja,
Haris Azhar, MA
Koordinator KontraS
Lampiran:
Merawat Kebebasan, Negara Wajib Melindungi HAM Warga
I. Para pelaku pelanggaran kebebasan masih menikmati impunitas
KontraS, 2015
II. Korban yang tidak mendapatkan ruang pemulihan, perlindungan dan cenderung dikriminalisasi
KontraS, 2015
III. Kota-kota anti HAM
KontraS, 2015
KontraS, 2015
IV. Isu Khusus:
IV.1 Menguatnya wacana rekonsiliasi sebagai jawaban pelanggaran HAM masa lalu
IV.2 Minimnya pemahaman negara atas kejahatan syiar kebencian dan jaminan mengemukakan pendapat di muka umum
IV. 3 Sensor negara atas acara dan inisiatif publik
KontraS, 2015
IV.4 Lembaga pendidikan yang cenderung anti ekspresi
IV.5 Kebebasan beragama yang belum menjadi prioritas
IV.6 Minim hak publik untuk tahu
KontraS, 2015
IV.7 Pernyataan publik pejabat saat ini cenderung anti kritik dan opini konstruktif
KontraS mencatat bahwa banyak pernyataan dan reaksi pejabat publik yang cenderung anti kritik terhadap opini konstruktif publik. Model pernyataan, “rakyat gak jelas, buat gaduh kita libas” hingga pernyataan-pernyataan bernada minor atas inisiatif publik dan korban dalam mendorong ruang pengungkapan kebenaran untuk pelanggaran HAM masa lalu dalam konteks IPT bahkan tercatat jelas di dalam banyak harian di media massa.
KontraS, 2015
IV.8 Publik Belum Bebas dari Kejahatan Kriminalisasi
Awal tahun 2015 praktik kriminalisasi menguat ketika 2 komisioner KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjajanto diganjar dengan penangkapan sewenang-wenang dan proses hukum yang tidak dipertanggungjawabkan dengan tuduhan pemalsuan identitas dan kesaksian palsu di Mahkamah Konstitusi. KontraS melacak ditahun 2015 pola dari praktik kriminalisasi terjadi pada sejumlah kasus nyaris di seluruh Indonesia. Ada beberapa kasus yang muncul ditahun 2015, namun banyak juga kasus yang yang terjadi ditahun-tahun sebelum, belum mendapatkan respons dan bahkan pemulihan hak-hak korban dari negara. Berikut adalah kasus-kasus kriminalisasi yang KontraS advokasikan secara organisasional dan maupun bersama koalisi anti kriminalisasi:
No | Peristiwa | Uraian |
1 | Kasus masyarakat adat Paser, Kalimantan Timur (2009) | sengketa tanah tambang batubara |
2 | Kasus masyarakat adat Long Isunm Kalimantan Timur (2011) | Penebangan hutan liar |
3 | Kasus warga korban penyerobotan tanah warga Kampung Kabanan, Kalimantan Timur (2014) | Sengketa tanah tambang batubara |
4 | Kasus Markus Amtiran (2006) | Tuduhan pencurian kayu |
5 | Kasus warga Desa Mapipa, Nusa Tenggara Timur (2012) | Penyiksaan dengan tuduhan pencurian kambing
|
6 | Kasus Rudy Soik, Nusa Tenggara Timur (2014) | Membongkar sindikat tenaga kerja secara ilegal
|
7 | Kasus kriminalisasi Polres Tanah Karo, Sumatera Utara (2014) | Penangkapan dan penganiayaan Polres Tanah Karo |
8 | Kasus Ikhsan Darmawan Lubis, Sumatera Utara (2015) | Tuduhan pembunuhan |
9 | Kasus kriminalisasi petani desa Aek Buaton, Sumatera Utara (2015) | Perampasan tanah adat |
10 | Kasus kriminalisasi Sulaiman, Sumatera Utara (2013) | Sengketa hutang piutang yang berujung pada kematian
|
11 | Kasus 21 aktivis lingkungan Riau (2014) | Sengketa izin kebun kelapa sawit
|
12 | Kasus sengketa agraria petani Banyuwangi dan PT Wongsorejo, Jawa Timur (2015) | Kriminalisasi yang dilakukan PT Wongsorejo bersama dengan TNI AL kepada warga dan petani
|
13 | Penodaan agama Tajul Muluk (2012) | Penolakan aliran Syiah di Madura |
14 | Kasus kriminalisasi petani pemulia benih jagung Kediri (2010) | Penangkapan sewenang-wenang petani jagung |
15 | Kasus bendahara dinas pariwisata dan kebudayaan Kota Manado (2011) | Penangkapan dan upaya hukum sewenang-wenang |
16 | Kasus Kuswanto (Jawa tengah, 2014) | Korban dikriminalisasi terkait dengan kasus pencurian di Pabrik Walls |
17 | Kasus Jakarta International School (DKI Jakarta, 2015) | 7 Orang pekerja JIS dikriminalisasi terkait dengan kasus pencabulan anak dibawah umur di JIS |
18 | Kasus Susanto (DKI Jakarta, 2015) | Korban dikriminalisasi terkait dengan kasus penembakan atasannya di Polda Metro Jaya |
19 | Kasus Suparman Marzuki (Ketua KY DKI Jakarta, 2015) | Korban dikriminalisasi terkait dengan kasus pencemaran nama baik terhadap Hakim Sarpin |
20 | Kasus Yusman Telaumbanua dan Rusula Hia, Sumatera Utara (2014) | Korban dikriminalisasi terkait dengan kasus pembunuhan berencana |
21 | Kasus Nenek Asyani (Jawa Timur, 2015) | Korban dikriminalisasi terkait dengan kasus pencurian kayu di Situbondo |
22 | Kasus Novel Baswedan (DKI Jakarta, 2015) | Korban dikriminalisasi terkait dengan kasus penembakan sewaktu korban menjabat sebagai Direskrim Polda Bengkulu |
23 | Kasus Kepala Adat Galuh Palawan, Subang ( Jawa Barat, 2015) | Korban dikriminalisasi terkait dengan kasus penghinaan terhadap anggota kepolisian |
24 | Kasus Anis (2014) | Korban merupakan korban pemerkosaan, yang dikriminalisasikan terkait dengan kasus pengerusakan kamera milik pelaku. |
KontraS, 2015
Kesimpulan:
Kebebasan adalah modalitas utama dari suatu negara demokratik untuk mengukur ruang partisipasi publik bahkan dalam standar yang lain adalah untuk mengukur sejauh mana negara dan aparatusnya akuntabel dalam menjalankan mandat demokrasi, penegakan hukum dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Namun, KontraS menemukan ada situasi yang tidak banyak berubah dari tahun-tahun sebelumnya, yang diperburuk dengan rendahnya akuntabilitas negara dan aktor non negara untuk mengedepankan fungsi korektif dan pencegahan. KontraS telah menemukan kecenderungan yang belakangan menguat: