Jakarta, 25 September 2023 – Sidang kasus kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS 2020-2023) dan Haris Azhar (Pendiri Lokataru) kembali dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan ahli yang meringankan (a de charge). Dalam sidang sebelumnya, kami telah menghadirkan dua orang saksi langsung yang berasal dari Papua. Kedua saksi tersebut telah memberikan keterangan bahwa secara nyata terdapat operasi militer dan aktivitas bisnis di Intan Jaya. Hal tersebut melegitimasi substansi yang termuat di dalam kajian cepat koalisi masyarakat sipil dan podcast  “ADA LORD LUHUT DIBALIK RELASI EKONOMI-OPS MILITER INTAN JAYA‼️JENDERAL BIN JUGA ADA‼️▶️NgeHAMtam” dalam youtube Haris Azhar.

Pada persidangan 25 September 2023, kami menghadirkan satu orang ahli pertahanan dan ekonomi-politik yakni Made Supriatma dari ISEAS-Yusof Ishak Institute. Selain itu, pada sidang ini kami juga mengajukan kepada Majelis Hakim agar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dapat membacakan pendapat hukum mengenai Fatia dan Haris merupakan Pembela HAM.

Sayangnya, Hakim Ketua menyatakan pernyataan bahwa persidangan ini tidak ada kaitannya dengan HAM, sehingga tidak butuh pendapat dari Komnas HAM. Hakim Ketua menambahkan persidangan ini bukanlah persidangan HAM. Kami menilai bahwa  hal tersebut menunjukan Hakim tidak paham mengenai duduk perkara dalam kasus ini dan tidak membaca eksepsi yang kami sampaikan pada persidangan lalu. Keterangan dari Komnas HAM menjadi penting sebab dakwaan terhadap Fatia dan Haris memiliki dimensi pelanggaran terhadap hak kebebasan berekspresi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM.

Dalam keterangannya, Ahli Made menerangkan bahwa pengerahan aparat atau operasi dilakukan di Papua setidaknya untuk tiga tujuan yakni pengamanan perbatasan, pengamanan daerah rawan dan pengamanan Objek Vital Nasional (Obvitnas). Berdasarkan riset dan pengamatan yang dilakukan ahli, terdapat pengerahan pasukan yang dilakukan sekitar 9000 – 12000 dari luar Papua yang seharusnya dibawah kendali operasi. Hingga saat ini, Ahli menyatakan bahwa berbagai operasi tersebut tidak memiliki dasar hukum atau illegal. Hal ini melanggar UU No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang mewajibkan adanya mekanisme keputusan politik negara sebelum dilakukannya operasi militer. 

Lebih jauh, ahli menjelaskan banyak pasukan dan pos-pos militer yang dibuat, tetapi tidak diketahui tujuannya. Mereka diterjunkan ke Papua tetapi tidak secara spesifik ditujukan untuk pengamanan kelompok/gerakan separatis. Selain itu, Ahli Made menyinggung skema pembiayaan dari suatu operasi atau penerjunan aparat. Idealnya, pembiayaan pengerahan tersebut ditanggung oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), akan tetapi banyak pendanaan pada praktiknya justru dilakukan oleh pihak swasta yang tentu saja merupakan tindakan melanggar hukum. Hal ini pada akhirnya melanggengkan praktek bisnis-militer. 

Secara historis, bisnis militer lahir karena militer tidak dapat membiayai seluruh anggaran yang diperlukan termasuk penyediaan fasilitas dan keperluan lainnya. Sehingga, banyak intervensi khususnya dari perusahaan yang menjalankan aktivitas bisnis membiayai keperluan operasi tentara di lapangan. Padahal seharusnya institusi TNI harus membiayai dirinya sendiri yang bersumber dari APBN.  

Lebih lanjut, berdasarkan keterangan ahli Made dinyatakan bahwa selama ini tidak terlalu jelas yang mengontrol penempatan pasukan di Papua. Dari riset yang dilakukan oleh Ahli, dalam banyak kasus, ketika terjadi insiden kontak tembak, Pangdam Cenderawasih bahkan tidak tahu menahu soal penempatan militer di lokasi tersebut. Dari fenomena ini, dapat dinyatakan bahwa terdapat kemungkinan pengaruh pihak-pihak lain dalam penempatan militer, tidak terkecuali Purnawirawan yang berbisnis.

Dalam penelusuran yang ahli lakukan, orang-orang yang duduk di pemerintahan dapat memiliki pengaruh kuat dalam pengerahan militer dalam berbagai kepentingan. Akan tetapi penempatan dan pengerahan militer tidak sepenuhnya transparan. Dalam beberapa kesempatan, ketika Ahli meminta ke berbagai pihak terkait tentang jumlah pasukan yang ada, data tersebut selalu dikategorikan sebagai rahasia negara. Selain itu penempatan militer selama ini dilakukan tanpa proses evaluasi yang memadai.

Berdasarkan keterangan ahli, jika dilihat dari jumlahnya, persentase penempatan militer di Papua sangat besar yakni 15 orang per 1000 penduduk di saat di daerah lain hanya 0,7 prajurit per 1000 penduduk. Sementara itu, dalam konteks akademik, dapat dibuat hipotesis awal, banyaknya pasukan yang ditempatkan di Papua memiliki dugaan kuat keterkaitan dengan aktivitas pengamanan bisnis. .

Ahli Made turut mengomentari apa yang disampaikan Haris dan Fatia dalam podcast bahwa berbagai informasi yang disampaikan merupakan hal-hal yang juga telah diketahui. Ahli pun menegaskan bahwa sampai sejauh ini tidak ada dampak ekonomi yang muncul akibat dari penempatan militer di Papua. Berbagai aktivitas yang ada justru berimplikasi negatif seperti pelanggaran HAM.  TNI bahkan juga menduduki fasilitas sipil seperti sekolah, rumah sakit dan gereja.

 

Nurkholis Hidayat (Tim Advokasi untuk Demokrasi)
Arif Maulana (Tim Advokasi untuk Demokrasi)
Asfinawati (Tim Advokasi untuk Demokrasi)

September 26, 2023

Sidang Pemeriksaan Ahli dalam Kasus Kriminalisasi Fatia dan Haris: Keterangan Ahli Militer Made Supriatma Melegitimasi Terdapat Operasi Militer Ilegal di Papua dan Kaitannya dengan Aktivitas Bisnis

Jakarta, 25 September […]
September 20, 2023

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Komisi II DPR RI Ajukan Hak Interpelasi kepada Menteri Dalam Negeri dalam Permasalahan Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah

Pada hari Selasa, […]
September 20, 2023

Sidang Pemeriksaan Saksi dalam Kasus Kriminalisasi Fatia dan Haris: Saksi dari Papua Ungkap terdapat Operasi Militer dan Aktivitas Pertambangan di Intan Jaya

Jakarta, 18 September […]
September 19, 2023

Peluncuran Laporan Investigasi: Mengungkap Tabir Kasus Dugaan Penyiksaan Terhadap Tahanan Polresta Banyumas Alm. Oki Kristodiawan

Komisi untuk Orang […]
September 17, 2023

Peluncuran Laporan ‘Keadilan Timpang di Pulau Rempang’ Temuan Awal Investigasi atas Peristiwa Kekerasan dan Pelanggaran HAM 7 September 2023 di Pulau Rempang

17 September 2023 […]
September 17, 2023

Surveillance Terhadap Partai adalah bentuk Penyalahgunaan Intelijen Oleh Presiden Harus Diusut Tuntas

Pada 16 September […]
September 15, 2023

Mengecam Brutalitas Kepolisian dalam Konflik Rempang: Presiden Segera Perintahkan Kapolri untuk Hentikan Penggunaan Gas Air Mata

Ambisi berlebih untuk […]
September 13, 2023

Lanjutan Sidang Pemeriksaan Saksi Kasus Fatia-Haris: Saksi Ungkap Keterlibatan Luhut dalam Pertambangan Papua dan Dampak Pertambangan Terhadap Lingkungan Hidup Papua

Jakarta, 11 September […]
September 13, 2023

Hentikan Pendekatan Keamanan dan Militeristik dalam Kebijakan Narkotika

Pada Senin, 11 […]
September 12, 2023

Masyarakat Sipil mengecam pernyataan BNPT tentang Rencana Pemerintah Kontrol Rumah Ibadah: Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Mengancam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Pada rapat dengan […]