Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (TATAK), LBH Pos Malang, LBH Surabaya, dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti perkembangan penyelesaian kasus Peristiwa Kanjuruhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022 lalu. Alih-alih diselesaikan, Negara terus merawat dan melanggengkan impunitas bagi para pelaku Kanjuruhan sebagaimana tercermin pada rangkaian tindakan, antara lain: tidak ada rekonstruksi penembakan gas air mata ke tribun, arah angin dijadikan dalih gas air mata mengenai penonton di tribun, terdakwa dari unsur kepolisian divonis bebas atas Peristiwa Kanjuruhan, dan dikabulkannya Eksepsi tergugat dalam Perkara No. 378/Pdt.G/2022/PN Mlg oleh Pengadilan Negeri Malang dengan dalih Pengadilan Malang tidak berwenang secara absolut memeriksa dan mengadili perkara. 

Rangkaian di atas tampaknya tidak cukup menggambarkan pengabaian negara terhadap penyelesaian kasus Kanjuruhan, dalam perkembangan terbaru tampaknya negara terus “absen” dalam mengakomodir keadilan bagi para korban dan keluarganya bahkan berencana menerapkan kebijakan yang dapat mengganggu pelaksanaan penyelesaian kasus ini. Absennya negara dalam mengakomodir keadilan bagi para korban dan keluarga korban Peristiwa Kanjuruhan turut dibarengi dengan beberapa permasalahan lainnya, setidaknya kami merangkum beberapa permasalahan yang muncul terkait dengan Peristiwa Kanjuruhan, antara lain: 

Kesatu, Tidak ditindaklanjutinya Pengaduan ke Komnas HAM

Sejak awal Peristiwa Kanjuruhan, kami menilai Bahwa Komnas HAM tidak serius dalam menangani dugaan penyelidikan pelanggaran HAM Berat. Hal tersebut diperkuat dengan Rilis Komnas HAM Tanggal 2 November 2022 yang menyebutkan bahwa tidak adanya pelanggaran HAM Berat oleh Komisioner Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, Beka Ulung Hapsara dan Choirul Anam. Kami menilai rilis tersebut sesat dan menyesatkan dikarenakan tidak dilakukannya penyelidikan pro justitia Dugaan Pelanggaran HAM Berat melalui mekanisme Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM melainkan menggunakan mekanisme Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999.

Seiring dengan Pergantian Komisioner Komnas HAM periode 2022-2027, Pada 17 November 2022 Keluarga Korban Peristiwa Kanjuruhan mendatangi Komnas HAM untuk segera dilakukannya penyelidikan ulang Pelanggaran HAM Berat dalam Peristiwa Kanjuruhan. Pengaduan yang dilakukan oleh Keluarga Korban tidak hanya sekali saja melainkan beberapa kali upaya pengaduan yang dilakukan tanpa ditindak lanjuti oleh Komnas HAM

Pada Tanggal 11 April 2023, Keluarga Korban Kanjuruhan bersama dengan LBH pos Malang dan KontraS kembali mendatangi Komnas HAM dan mengajukan Pengaduan kembali mengenai Penyelidikan dugaan Pelanggaran HAM Berat dalam Peristiwa Kanjuruhan dalam Surat Pengaduan kepada Komnas HAM Nomor: 147645. Namun hingga sampai saat ini belum ada tindak lanjut oleh Komnas HAM terhadap beberapa pengaduan yang dilakukan oleh Keluarga Korban Kanjuruhan dan belum adanya tindak lanjut penyelidikan dugaan pelanggaran HAM Berat dalam Peristiwa Kanjuruhan sebagaimana Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 dan Peraturan Komnas HAM Nomor: 002/KOMNAS HAM/IX/2011 Tentang Prosedur Pelaksanaan Penyelidikan Pro-Yustisia Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.

Kedua, Pengabaian Pendapat Hukum atas Peristiwa Kanjuruhan yang merupakan Pelanggaran HAM Berat berupa Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Pada 17 Mei 2023, TATAK melalui pendapat hukumnya mengadukan Peristiwa Kanjuruhan sebagai Pelanggaran HAM Berat berupa kejahatan Terhadap Kemanusiaan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Berangkat dari penyampaian pendapat hukum tersebut, TATAK berupaya mengajukan audiensi dengan perwakilan Komnas HAM. Atas pengaduan tersebut TATAK mendapatkan beberapa respon oleh Komnas HAM secara non-formal terkait belum dipenuhinya audiensi yang diajukan oleh TATAK, setidaknya kami mencatat bahwa belum dilakukannya audiensi dikarenakan beberapa hal, antara lain: Komnas HAM sedang mempelajari dokumen, penjadwalan audiensi sedang diagendakan, jadwal Komisioner penuh pada Juli 2023, dan pendapat hukum sedang dipelajari beriringan dengan Laporan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) kepada Komnas HAM. 

Atas ketidak jelasan respon Komnas HAM tersebut serta tidak adanya jawaban yang bersifat resmi, pada 14 Juli 2023, tim TATAK mendatangi Kantor Komnas HAM untuk menindaklanjuti permintaan audiensi, baru akhirnya pada tanggal yang sama Komnas HAM melalui Surat No. 806/PM.00/TK/VII/2023 memberikan tanggapan secara resmi, namun demikian jawaban yang diberikan tetap hanya terbatas pada pernyataan bahwa pendapat hukum telah diterima dan sedang dipelajari.

Respon yang sama dan berulang semakin menunjukkan ketidak jelaskan Komnas HAM untuk mewadahi permintaan TATAK. Dengan ini, kami menilai ketidakjelasan respon Komnas HAM sebagai bentuk pengabaian dalam menjadwalkan pelaksanaan audiensi yang seharusnya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja setelah Sekretaris Komisioner menerima permohonan audiensi dari analisis pengaduan dan/atau petugas administrasi pengaduan, jadwal sudah harus diberikan. Hal ini menunjukan Komnas HAM telah abai terhadap mandatnya sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 19 Peraturan Komnas HAM 01 Tahun 2016 tentang Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan Pelayanan Pengaduan.

Ketiga, Rencana renovasi Stadion Kanjuruhan Merupakan Bentuk Perusakan Bukti dan Pencederaan Hak-hak Korban Peristiwa Kanjuruhan

Ditengah keadaan belum terpenuhinya beberapa keinginan keluarga korban terkait dengan agenda audiensi bersama dengan Komnas HAM, saat ini keluarga korban Peristiwa Kanjuruhan justru dihadapkan dengan potensi perusakan bukti Peristiwa Kanjuruhan dengan akan direnovasinya tempat kejadian perkara dalam hal ini Stadion Kanjuruhan Malang.

Bahwa salah satu Keluarga Korban yakni Devi Athok Yulfitri telah melaporkan Peristiwa Kanjuruhan kepada Polres Malang atas adanya dugaan tindak pidana Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) dan Pasal 340 KUHPidana melalui Laporan Polisi LP-B/413/XI/2022/SPKT/Polres Malang/Polda Jawa Timur tanggal 09 November 2022. Saat ini, laporan tersebut masih dalam proses penyelidikan.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, dan Surat Keputusan (SK) Kapolri No: Pol.Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana menjabarkan bahwa penyelidikan merupakan rangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Pada proses penyelidikan, terdapat rangkaian tindakan penyelidikan salah satunya adalah rekonstruksi pengolahan tempat kejadian perkara (olah TKP). Olah TKP dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan keterangan, petunjuk, barang bukti, mencari hubungan antara saksi/korban, tersangka, dan barang bukti, serta memperoleh gambaran modus operasi tindak pidana yang terjadi. Sehingga sepanjang proses penyelidikan berjalan, penting untuk menjaga keutuhan tempat kejadian perkara.

Atas rencana renovasi Stadion Kanjuruhan Malang, kami menilai Negara tidak lagi menghormati proses hukum yang sedang berjalan, justru cenderung menghalang-halangi dan merintangi proses penyelidikan untuk mencari, menemukan, dan membuktikan adanya suatu peristiwa pidana. Dengan ini, kami juga menilai adanya dugaan obstruction of Justice yang dilakukan terhadap tempat kejadian perkara (locus delicti) sebagaimana tercermin pada tindakan akan dilakukannya renovasi Stadion Kanjuruhan tanpa proses rekonstruksi olah TKP di dalamnya. Secara tidak langsung, tindakan tersebut menunjukkan sikap Negara yang lari dari kewajibannya untuk memberikan keadilan bagi korban dan keluarganya.

Lebih lanjut lagi, kami menilai bahwa upaya renovasi Stadion Kanjuruhan pada faktanya tidak sejalan lurus dengan proses penegakan hukum yang berkeadilan. Alih-alih negara menegakkan hukum secara berkeadilan, sampai sekarang proses pengadilan yang sesat justru memperkuat impunitas dan belum dilakukannya penyelidikan dugaan Pelanggaran HAM Berat pada Peristiwa Kanjuruhan. Selain itu berdasarkan informasi yang kami himpun, upaya renovasi stadion dilakukan secara sepihak, minim transparansi dan partisipasi masyarakat umum terkhusus korban dan keluarga korban terdampak akibat Peristiwa Kanjuruhan.

Tuntutan

Berangkat dari uraian diatas, kami mendesak Negara untuk menyelesaikan dan memberikan keadilan bagi korban dan keluarga korban Kasus Peristiwa Kanjuruhan serta melakukan evaluasi pada kebijakan yang dapat mempengaruhi atau mengganggu proses penyelesaian kasus, untuk itu kami mendesak:

1. Presiden Republik Indonesia

  1. Menghentikan rencana Renovasi Stadion Kanjuruhan Malang;
  2. Memerintahkan Komnas HAM dan Jaksa Agung untuk melaksanakan proses hukum atas Peristiwa Kanjuruhan dalam dimensi pelanggaran HAM berat.

2. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Kementerian Pemuda dan Olahraga

  1. Menghentikan rencana Renovasi Stadion Kanjuruhan Malang.

3. Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

  1. Memfasilitasi audiensi terkait penolakan rencana Renovasi Stadion Kanjuruhan Malang;
  2. Memfasilitasi audiensi terkait dengan perkembangan penanganan Peristiwa Kanjuruhan bersama dengan korban dan keluarga korban Peristiwa Kanjuruhan;
  3. Meminta untuk menghentikan rencana Renovasi Stadion Kanjuruhan Malang;

4. Komnas HAM 

  1. Memfasilitasi audiensi atas pengaduan dan penyampaian pendapat hukum berupa adanya indikasi Pelanggaran HAM Berat terhadap Kemanusiaan pada Peristiwa Kanjuruhan;
  2. Menilai dan menyimpulkan adanya indikasi Pelanggaran HAM Berat terhadap Peristiwa Kanjuruhan dan segera diselidiki dengan membentuk tim ad hoc dan melakukan penyelidikan pro-yustisia.

5. Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI)

  1. Meminta menghentikan rencana Renovasi Stadion Kanjuruhan Malang.

 

Malang – Jakarta, 8 Agustus 2023
TATAK – LBH Pos Malang – LBH Surabaya – KontraS

 

Narahubung:

Imam Hidayat – TATAK
Daniel Alexander Siagian – LBH Pos Malang
Dimas Bagus Arya – KontraS

Agustus 8, 2023

Perkembangan Penanganan Peristiwa Kanjuruhan Jalan di Tempat, Justru Renovasi Stadion Kanjuruhan Malang Jadi Prioritas Pemerintah Pusat

Tim Advokasi Tragedi […]
Agustus 8, 2023

10 Catatan KontraS atas Masifnya Fenomena Kekerasan, Kriminalisasi dan Pembungkaman

Komisi untuk Orang […]
Agustus 7, 2023

Pemerintah Harus Segera Merevisi UU No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer Untuk Mengakhiri Kultur Impunitas dan Ketidakadilan

Koalisi Masyarakat Sipil […]
Agustus 1, 2023

Diskusi dan Bedah Buku “Mencintai Munir” karya Suciwati

Pada Jumat, 21 […]
Agustus 1, 2023

Diskusi Publik Mempertanyakan Jaminan Perlindungan Terhadap Kerja-Kerja Pembela HAM

Pada Kamis, 20 […]
Juli 31, 2023

Sidang Pemeriksaan Ahli dalam Kasus Kriminalisasi Fatia dan Haris: Ahli Tak Berhasil Dihadirkan, Menegaskan Jaksa Tak Serius dalam Proses Pembuktian Sehingga Fatia-Haris Harus Dibebaskan dari Segala Dakwaan

Fatia Maulidiyanti dan […]
Juli 31, 2023

KPK Harus Tuntaskan Kasus Korupsi di BASARNAS Melalui Peradilan Umum (Pengadilan Tindak Pidana Korupsi)

Pada Selasa, 25 […]
Juli 28, 2023

Tewasnya Bripda IDF: Polri Harus Mengusut Peristiwa Secara Transparan dan Akuntabel Serta Mengevaluasi Penggunaan Senjata Api

Komisi Untuk Orang […]
Juli 26, 2023

Deklarasi Korban dan Masyarakat Sipil Melawan Lupa

Menjelang Pemilihan Umum […]
Juli 25, 2023

Sidang Pemeriksaan Ahli Digital Forensik dalam Kasus Kriminalisasi Fatia dan Haris: Bukti Video Tak Ditampilkan di Persidangan dan Terungkap Fakta bahwa Bukti Video Diperoleh Sebelum Laporan Polisi Dilakukan

Jakarta, 24 Juli […]