Pada Hari Jumat, 20 Juli 2023 Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya mengadakan Jumpa Pers untuk menjelaskan kelanjutan dari proses pengungkapan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang yang pelakunya ditangkap pada 6 Juni 2023 yang lalu. Kasus tersebut merupakan kasus Perdagangan Orang di mana para korban dibawa ke Kamboja untuk dijual organnya. Pada Jumpa Pers tersebut Kepolisian menyatakan telah menetapkan 12 orang tersangka di mana sembilan di antaranya merupakan bagian dari sindikat penjualan organ. Mirisnya salah satu dari antara tersangka merupakan anggota Polri aktif dan seorang lainnya merupakan pegawai Imigrasi.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memberikan beberapa catatan kepada pemerintah terkait dengan kasus TPPO yang terjadi. Kami mengapresiasi langkah penegak hukum untuk mengungkap kasus TPPO yang terjadi dengan menangkap dan menetapkan tersangka. Meski begitu perlu diperhatikan bahwa pemberantasan kasus TPPO sesungguhnya perlu dilakukan secara menyeluruh dengan melakukan langkah pencegahan untuk mencegah jatuhnya korban serta melakukan pemulihan kepada korban. 

Perdagangan orang merupakan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan pribadi yang mengatur bahwa setiap tindakan yang berhubungan dengan perdagangan orang atau perbuatan serupa seharusnya dicegah oleh pemerintah. Salah satu faktor terjadinya TPPO adalah abainya pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap praktik yang memungkinkan terjadinya TPPO. Penanggulangan terhadap TPPO sendiri telah diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Masih terjadinya TPPO menunjukkan bahwa penanggulangan TPPO belum sepenuhnya berjalan secara efektif.

Berdasarkan pernyataan Mabes Polri, setidaknya 2.149 korban Perdagangan Orang telah diselamatkan, merujuk pada hasil investigasi KontraS, mayoritas dari korban TPPO adalah pekerja migran khususnya pekerja yang diberangkatkan melalui “jalur tidak resmi.” Maraknya kasus TPPO sendiri salah satunya diakibatkan oleh lepas tangan yang dilakukan berbagai lapisan entitas pemerintah. Pada konteks pekerja migran, mereka yang direkrut melalui jalur non-formal seringkali terabaikan dan tidak diawasi secara menyeluruh pada proses perekrutannya oleh pemerintah. Lembaga terkait secara khusus Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) perlu memastikan bahwa pekerja direkrut melalui jalur resmi dan terbebas dari praktik perdagangan ilegal.

Pada konteks perdagangan organ seperti yang baru diungkap oleh Kepolisian, minimnya koordinasi antar instansi pemerintahan khususnya Kedutaan Besar Indonesia di Luar Negeri untuk melakukan pengawasan dan mengungkap kasus perdagangan organ menjadi pintu masuk kasus-kasus tersebut rentan terjadi. Pada kasus penjualan organ di Kamboja, para korban bahkan menjalani transplantasi di Rumah Sakit milik pemerintah Kamboja, menunjukkan betapa renggangnya pengawasan dari otoritas Indonesia yang berada di Kamboja. Renggangnya mekanisme pengawasan serta kurangnya koordinasi antar instansi menjadi ruang bagi terjadinya TPPO.

Berkaitan dengan hal tersebut, Koordinator KontraS menyatakan bahwa Polri dan Direktorat Jenderal Imigrasi harus mengambil langkah tegas kepada anggotanya yang terlibat dengan menempuh proses hukum sesuai dengan ketentuan undang-undang dan mekanisme etik internal yang berlaku. Terlibat dalam tindak perdagangan orang sendiri adalah Pelanggaran langsung terhadap Ketentuan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 yang diancam dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara serta denda maksimal Rp600.000.000. Penyelidikan lebih lanjut dan menyeluruh juga perlu dilakukan oleh Polri dan Dirjen Imigrasi untuk memastikan tidak adanya anggota lain yang terlibat dalam praktik perdagangan orang.  

Lebih lanjut, karena TPPO yang terjadi ditengarai akibat ulah sindikat maka tidak menutup kemungkinan adanya aktor lain yang terlibat termasuk aktor antar-negara. Oleh karena itu investigasi yang transparan dan menyeluruh perlu dilakukan. Seluruh instansi terkait juga harus bekerjasama untuk mengungkap kasus perdagangan orang. Para pelaku harus diproses secara transparan dan akuntabel sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Proses hukum yang transparan dan akuntabel merupakan langkah dari aparat penegak hukum untuk menjamin tidak terulangnya kasus serupa di masa depan.

Di sisi lain, keberpihakan terhadap korban dan keluarga korban juga harus dipastikan karena pemenuhan hak korban untuk mendapatkan akses pemulihan harus diperhatikan oleh pemerintah. Pemulihan yang menyeluruh seperti jaminan atas pemulihan kesehatan fisik dan mental korban serta restitusi terhadap kerugian materil yang sudah dialami oleh korban merupakan langkah harus ditempuh oleh pemerintah. Pasal 48 UU No. 21 Tahun 2007 sendiri dengan jelas mengatur bahwa korban tindak pidana perdagangan orang berhak terhadap restitusi atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; penderitaan; biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau kerugian lain yang diderita oleh korban.

Berdasarkan hal-hal tersebut kami mendesak:

Pertama, Pemerintah Pusat khususnya BP2MI untuk mengambil langkah menyeluruh guna mencegah dan menjamin ketidak berulangan kasus-kasus perdagangan orang sebagai bentuk pemenuhan hak atas kebebasan pribadi sebagaimana diatur Pasal 20 UU No. 39 Tahun 1999;

Kedua, Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan guna mengungkap keterlibatan seluruh aktor serta mengambil langkah tegas kepada anggota Polri yang terlibat dan ditindak sesuai dengan peraturan pidana serta peraturan etik dalam internal Polri secara akuntabel dan berorientasi kepada keadilan bagi korban;

Ketiga, Kementerian Hukum dan HAM khususnya Direktorat Jenderal Imigrasi untuk memperkuat proses pengawasan bagi anggotanya agar tidak lagi terlibat dalam praktik serupa dan bagi warga negara Indonesia yang bepergian ke luar negeri.

Keempat, Komnas HAM, Kepolisian Republik Indonesia dan Kementerian Hukum dan HAM untuk membuat Satuan Tugas Khusus Pencegahan dan Penindakan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang bekerja khusus untuk melakukan bentuk-bentuk pencegahan, pendeteksian dini dan pengawasan terhadap aktivitas yang berpotensi bermuara kepada Perdagangan Orang dan memastikan bahwa tindakan tidak manusiawi ini dapat dihentikan. 

Jakarta, 24 Juli 2023
Badan Pekerja KontraS

Dimar Bagus Arya, S.H
Koordinator.

Juli 24, 2023

Penetapan Tersangka Tindak Pidana Perdagangan Orang: Pemerintah Harus Usut Tuntas dan Jamin Ketidak Berulangan

Pada Hari Jumat, […]
Juli 24, 2023

Kejaksaan Agung Harus Menuntaskan Penyidikan dan Penuntutan Pelanggaran HAM Berat serta Berhenti Menjadi Alat Membungkam Kebebasan Sipil

Tanggal 22 Juli […]
Juli 21, 2023

Hentikan Segala Bentuk Brutalitas dan Tindak Tegas Aparat Kepolisian dalam Penanganan Konflik Agraria di Jambi!

Serikat Petani Indonesia […]
Juli 18, 2023

Proses Mencari Keadilan Terus Berlanjut: Tim Advokasi Penegakan Hukum dan Keadilan untuk Erfaldi Mendatangi Komnas HAM Guna Meminta Pendapat Hukum dalam Upaya Kasasi yang Sedang Ditempuh

Komisi untuk Orang […]
Juli 17, 2023

Menuntut Pertanggungjawaban Negara pada Hari Keadilan Internasional

Setiap tanggal 17 […]
Juli 17, 2023

Sidang Pemeriksaan Saksi dan Ahli dalam Kasus Kriminalisasi Fatia dan Haris: Keterangan Ahli Pidana Agus Surono Ngawur dan Berbahaya Bagi Kebebasan Berekspresi!

Jakarta, 17 Juli […]
Juli 16, 2023

Koordinator KontraS Berganti: Estafet Perjuangan Menuntut Akuntabilitas Hak Asasi Manusia Kepada Negara Berlanjut!

15 Juli 2023 […]
Juli 15, 2023

Polisi Wajib Usut dan Tindak Pelaku Ujaran Kebencian Terhadap LGBTIQ

[Jakarta, 14 Juli […]
Juli 12, 2023

Enam Prajurit TNI Harus Diadili Atas Tindakan Penyiksaan Di Medan Sunggal, Sumatera Utara!

Komisi Untuk Orang […]
Juli 11, 2023

Sidang Pemeriksaan Ahli dalam Kasus Kriminalisasi Fatia dan Haris: Ahli Bahasa yang dihadirkan JPU Inkompeten dan Ahli ITE Terangkan Bahwa Fatia-Haris Tak Bisa Dikenakan UU ITE

Jakarta, 10 Juli […]