Serikat Petani Indonesia (SPI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama dengan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian mengecam tindakan represif dan penangkapan sewenang-wenang secara brutal kepada 27 warga Desa Teluk Raya Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi yang terjadi pada 20 Juli 2023 lalu yang dilakukan oleh Anggota Polisi dari Kepolisian Resor (Polres) Muaro Jambi dan Kepolisian Daerah (Polda) Jambi, dalam pengamanan aksi tersebut Anggota Kepolisian yang diterjunkan kurang lebih sebanyak 700 Personil.

Berdasarkan informasi yang kami terima penangkapan tersebut dilakukan terhadap warga yang sedang melakukan aksi demonstrasi menyampaikan pendapat dimuka umum tepatnya di depan PT. Fajar Pematang Indah Lestari (“FPIL”) yang berlangsung selama 17 hari belakangan, buntut dari penangkapan terhadap 5 warga desa pada 3 Juli 2023. Polres Muaro Jambi menyatakan bahwa demonstrasi tersebut dibubarkan karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Namun fakta yang terjadi dilapangan terdapat 27 Petani ditangkap 2 diantaranya anak dan ditahan di Polda Jambi, tindakan tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 13 ayat (3) Undang-undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (“UU 9/1998”) yang memberi amanat bagi institusi polisi untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum.

Aksi tersebut dilakukan karena 5 (lima) petani dikriminalisasi oleh Polda Jambi dengan tuduhan melakukan pencurian buah sawit dengan pemberatan (363 KUHP). Kriminalisasi tersebut terjadi pada tanggal 2 Juli 2023, Kepolisian Polda jambi melakukan pemanggilan kepada 5 (lima) petani dengan tuduhan pasal 363 (KUHP) serta langsung melakukan penahanan. Padahal tuduhan tersebut sama sekali tidak bisa dibuktikan oleh Polda Jambi. Hal inilah yang membuat ratusan Petani melakukan aksi protes tersebut untuk menuntut pembebasan terhadap kelima petani tersebut. Kejadian ini juga merupakan bagian dari dampak buruk Konflik Agraria antara Petani dan PT. FPIL yang tidak pernah diselesaikan oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat sejak 25 tahun lalu. Sebanyak 237 KK menyerahkan lahannya kepada PT. FPIL untuk dibangunkan kebun inti-plasma karena dijanjikan masing masing kepala keluarga mendapat satu (1) kavling kebun dengan luasan 2 (dua) ha. 

Lebih jauh, penyampaian pendapat seharusnya dijamin dan dilindungi melalui Pasal 28F UUD 1945, dan Pasal 14 atas UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan terjemahan dari Pasal 19 Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) bahwa “Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan (pihak lain)”. Komentar Umum Komite HAM PBB memberikan tafsir dari pasal ini yaitu guna mengklaim hak asasi manusia lainnya, permintaan akses ke layanan penting dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka (CCPR/C/GC/34).

Selain penangkapan sewenang-wenang kami mendapatkan informasi bahwa pada saat penangkapan berlangsung juga ada dugaan kekerasan dan brutalitas yang dilakukan terhadap Petani atas nama Nunung, yang mengakibatkan korban sampai saat ini dirawat di ruang ICU sebuah rumah sakit di Jambi dan mengakibatkan trauma. Atas tindakan tersebut kami menilai  bahwa Polres Muaro Jambi dan Polda Jambi Polda Jambi telah melanggar beberapa ketentuan hukum dan hak asasi manusia yaitu UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selain itu, brutalitas pihak kepolisian telah mencederai peraturan Pasal 8 ayat (2) Perkap No. 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, Perkap Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selain aturan secara nasional, dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 34/169 tentang Etika Berperilaku Bagi Penegak Hukum (UN Resolution on Code of Conduct for Law Enforcement) yang juga menyebutkan bahwa aparat penegak hukum boleh menggunakan tindakan keras hanya bilamana benar-benar diperlukan dan hanya sejauh yang diperlukan bagi pelaksanaan kewajiban mereka.

Selanjutnya, upaya pembubaran yang justru dilakukan dengan cara kekerasan nyatanya hanya akan memberikan pengalaman traumatis bagi warga, terlebih bagi perempuan dan anak-anak yang sesungguhnya tengah berusaha untuk mendapatkan haknya. Kasus yang dialami oleh petani Desa Teluk Raya ini juga telah menambah catatan hitam pada petani dalam memperjuangkan reforma agraria. Selain itu, peristiwa yang terjadi ini merupakan konsekuensi moril atas pernyataan Presiden Joko Widodo terkait arahan kepada Kapolri untuk dapat melakukan pengawalan investasi.

Atas dasar tersebut, kami mendesak: 

Pertama, Kapolda Jambi menindak tegas, terutama tindakan hukum, terhadap anggota Polda Jambi yang diketahui melakukan tindakan kekerasan dan tindakan tidak manusiawi lainnya dalam upaya pembubaran paksa aksi petani Desa Teluk Jaya;

Kedua, Kapolda Jambi melakukan evaluasi menyeluruh terhadap jajaran kesatuan Polda Jambi, karena telah gagal mengemban amanat sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 13 UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Pasal 14 UU No. 39/1999 tentang HAM dan komitmen Polri di dalam Perkap No. 8/2009 tentang HAM;

Ketiga, Kapolda Jambi untuk segera menghentikan upaya penahanan sewenang-wenang terhadap 27 orang peserta aksi yang masih ditahan oleh anggota Polda Jambi dan membebaskan 5 petani korban kriminalisasi;

Keempat, Kapolri untuk segera mengevaluasi dan mengawasi Kapolda Jambi agar menjalankan tugas sebagaimana mestinya, mengawasi perilaku jajaran anggota Polda Jambi yang bertindak brutal dan tidak manusiawi;

Kelima, Kepala Kantor Wilayah ATR/BPN Provinsi Jambi dan Kantor Pertanahan Kabupaten Muaro Jambi segera menyelesaikan konflik agraria petani Teluk Raya dengan PT. FPIL melalui pengembalian tanah seluas 474 ha kepada 237 kepala keluarga petani yang telah diambil oleh PT. FPIL selama 25 tahun.

Jambi – Jakarta, 21 Juli 2023

SPI – KontraS – Aliansi Masyarakat untuk Reformasi Polisi


Narahubung:

Hafiz Saragih – Pusat Bantuan Hukum Petani SPI
Dimas Bagus Arya – KontraS
Muhamad Isnur – Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian

Juli 21, 2023

Hentikan Segala Bentuk Brutalitas dan Tindak Tegas Aparat Kepolisian dalam Penanganan Konflik Agraria di Jambi!

Serikat Petani Indonesia […]
Juli 18, 2023

Proses Mencari Keadilan Terus Berlanjut: Tim Advokasi Penegakan Hukum dan Keadilan untuk Erfaldi Mendatangi Komnas HAM Guna Meminta Pendapat Hukum dalam Upaya Kasasi yang Sedang Ditempuh

Komisi untuk Orang […]
Juli 17, 2023

Menuntut Pertanggungjawaban Negara pada Hari Keadilan Internasional

Setiap tanggal 17 […]
Juli 17, 2023

Sidang Pemeriksaan Saksi dan Ahli dalam Kasus Kriminalisasi Fatia dan Haris: Keterangan Ahli Pidana Agus Surono Ngawur dan Berbahaya Bagi Kebebasan Berekspresi!

Jakarta, 17 Juli […]
Juli 16, 2023

Koordinator KontraS Berganti: Estafet Perjuangan Menuntut Akuntabilitas Hak Asasi Manusia Kepada Negara Berlanjut!

15 Juli 2023 […]
Juli 15, 2023

Polisi Wajib Usut dan Tindak Pelaku Ujaran Kebencian Terhadap LGBTIQ

[Jakarta, 14 Juli […]
Juli 12, 2023

Enam Prajurit TNI Harus Diadili Atas Tindakan Penyiksaan Di Medan Sunggal, Sumatera Utara!

Komisi Untuk Orang […]
Juli 11, 2023

Sidang Pemeriksaan Ahli dalam Kasus Kriminalisasi Fatia dan Haris: Ahli Bahasa yang dihadirkan JPU Inkompeten dan Ahli ITE Terangkan Bahwa Fatia-Haris Tak Bisa Dikenakan UU ITE

Jakarta, 10 Juli […]
Juli 11, 2023

Walikota Medan Minta Begal ditembak Mati:Pernyataan Arogan dan Melegalkan Kesewenang-wenangan Penggunaan Senjata Api

Komisi Untuk Orang […]
Juli 4, 2023

Sidang Pemeriksaan Saksi dalam Kasus Kriminalisasi Fatia dan Haris: Keterangan Saksi Heidi dan Paulus Kontradiktif serta Tegaskan Keterlibatan Perusahaan Luhut pada Bisnis Pertambangan di Papua

Jakarta, 3 Juli […]