Bertepatan dengan momen Hari Bhayangkara ke 77 yang diperingati pada 1 Juli 2023, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali meluncurkan Laporan Hari Bhayangkara guna memberikan catatan berupa kritik serta saran terhadap kinerja Kepolisian Republik Indonesia (Polri) pada bidang Hak Asasi Manusia (HAM). Laporan ini menjadi bentuk partisipasi KontraS terhadap Reformasi Sektor Keamanan khususnya reformasi Polri, sesuai mandat reformasi serta untuk memberikan dorongan kepada Polri dalam melakukan perbaikan institusi sesuai dengan standar HAM dan demokrasi.

Sepanjang Juli 2022-Juni 2023, kami mendokumentasikan 622 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri. 622 peristiwa kekerasan tersebut diwarnai dengan 58 peristiwa kemudian penangkapan sewenang-wenang dengan 46 kasus, kami juga masih menemukan 13 peristiwa penggunaan gas air mata, beberapa di antaranya menimbulkan korban seperti yang terjadi pada Peristiwa Kanjuruhan di bulan Oktober 2022. Ironis bahwa anggota Polri yang seharusnya memberi rasa aman kepada masyarakat justru menjadi pelaku kekerasan kepada masyarakat sipil.

Selain memotret peristiwa kekerasan secara umum, sepanjang Juli 2022-Juni 2023 kami mendokumentasikan 29 peristiwa extrajudicial killing yang menewaskan 41 orang. Kasus-kasus extrajudicial killing tersebut mayoritas diakibatkan oleh penembakan. Terlihat bahwa kewenangan anggota Polri untuk menggunakan senjata api masih menjadi penyebab terampasnya hak hidup. Selain peristiwa extrajudicial killing, kasus salah tangkap yang disertai dengan penyiksaan juga masih terjadi selama satu tahun belakangan. Perlu digaris bawahi bahwa hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa merupakan bagian dari hak fundamental yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights). Peristiwa extrajudicial killing serta penyiksaan yang terjadi menunjukkan bahwa anggota Polri masih menjadi aktor yang berperan dalam pelanggaran hak fundamental warga negara.

Sepanjang Juli 2022-Juni 2022 berbagai peristiwa represi terhadap kebebasan sipil pun masih terjadi. Setidaknya 52 kasus kekerasan terhadap aksi demonstrasi oleh kepolisian. 52 kekerasan terhadap massa aksi tersebut menyebabkan 126 orang luka-luka dan 207 orang ditangkap. Represi terhadap kebebasan sipil juga secara khusus dialami oleh warga yang mempertahankan ruang hidupnya dari eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam oleh korporasi. Alih-alih bertindak untuk menjaga ketertiban dan keamanan warga, anggota Polri justru menjadi alat untuk membungkam warga yang sedang mempertahankan ruang hidupnya.

Hal yang sama juga dirasakan oleh orang asli Papua. Penerjunan anggota Polri yang cukup masif ke Tanah Papua sepanjang Juli 2022-Juni 2023 berbanding lurus dengan angka represi dan Pelanggaran HAM di Tanah Papua. Polri nampaknya masih belum sepenuhnya dapat menunjukkan citra yang ramah terhadap masyarakat sipil di Tanah Papua dan justru turut ‘berkontribusi’ dalam situasi kekerasan di Tanah Papua.

Pada akhir tahun 2022, publik juga dikejutkan dengan beberapa peristiwa ‘viral’ yang melibatkan anggota Polri. Selain pembunuhan terhadap Brigadir Yosua Hutabarat yang dilakukan oleh Ferdy Sambo dkk, peristiwa Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang serta keterlibatan perwira Polri dalam pusaran narkotika yang terungkap pasca penetapan tersangka Teddy Minahasa membuat kepercayaan publik kepada institusi Kepolisian menurun.

Kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat memperlihatkan secara gamblang kultur kekerasan dalam tubuh Polri yang bahkan menelan korban dari kalangan Korps Bhayangkara sendiri. Peristiwa Kanjuruhan ‘mempertontonkan’ betapa penggunaan kekuatan dan senjata secara berlebihan berakhir tragis hingga memakan korban jiwa.

Pada kasus Teddy Minahasa, kewenangan besar yang dimiliki dalam penanganan tindak pidana narkotika nampaknya dengan mudah disalahgunakan demi meraup keuntungan pribadi. Mekanisme pengawasan yang lemah disertai minimnya akuntabilitas turut menjadi faktor penyumbang terjadinya penyelewengan.

Pada akhirnya, berbagai data, temuan dan peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan bahwa kewenangan besar yang dimiliki oleh Polri dalam rangka penegakan hukum serta pemeliharaan ketertiban dan keamanan justru kerap disalahgunakan dan dijadikan justifikasi untuk melakukan kekerasan. Impunitas juga tampaknya masih ‘melenggang’ dalam internal Polri. Sidang Komisi Kode Etik Kepolisian tidak mampu memberikan efek jera kepada para pelaku, bahkan dalam beberapa peristiwa seperti persidangan para terdakwa peristiwa Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya, para pelaku justru mendapatkan dukungan dari sesama anggota Korps Bhayangkara. Hal tersebut menunjukkan bahwa beberapa anggota Korps Bhayangkara me-normalisasi kultur kekerasan dan penyelewengan yang terjadi dalam institusinya.

Momen HUT Bhayangkara yang ke-77 seharusnya menyadarkan Polri, bahwa sebagai institusi masih banyak hal yang perlu dibenahi dan dievaluasi. Masyarakat sipil merindukan institusi Kepolisian yang demokratis. Perbaikan yang konkrit dan komprehensif tidak boleh ditunda dan harus dilaksanakan segera, fungsi penegakan hukum, pemeliharaan ketertiban dan keamanan serta pelayanan masyarakat harus bertransformasi ke arah yang lebih baik dan sesuai dengan standar-standar Hak Asasi Manusia. 

Atas catatan-catatan di atas, demi terwujudnya institusi Polri yang demokratis dan sejalan dengan standar-standar HAM kami merekomendasikan:

Pertama, lembaga negara yakni DPR-RI serta Komnas HAM dan Kompolnas memperkuat oversight mechanism khususnya yang berkaitan dengan aspek HAM serta memperkuat kontrol dan pengawasan terhadap fungsi penegakan hukum, pemeliharaan keamanan dan ketertiban.

Kedua, Kapolri perlu membuat aturan yang memperketat persyaratan dan pengawasan terhadap anggota Polri yang diberikan izin untuk menggunakan senjata api. Langkah tersebut perlu dilakukan untuk meminimalisasi disalahgunakannya senjata api serta mengurangi jatuhnya korban jiwa akibat penembakan yang dilakukan oleh anggota Polri.

Ketiga, Kabaharkam, Kepala Kepolisian Daerah dan Kepala Kepolisian Resor untuk mengubah paradigma dalam penanganan demonstrasi. Demonstrasi harus dipandang sebagai bentuk pelaksanaan HAM yang dijamin oleh konstitusi bukan sebagai kegiatan yang mengganggu ketertiban dan keamanan.

Keempat,  Mabes Polri khususnya Kepala Divisi Propam Polri dan tiap Kepolisian Daerah harus berani menindak dan memberikan sanksi yang sesuai kepada anggota yang melakukan pelanggaran melalui mekanisme KKEP. Mekanisme KKEP tidak boleh hanya dijalankan secara prosedural namun harus dapat menyentuh akar permasalahan dan menyelesaikannya. Mekanisme KKEP yang tegas akan memberikan efek jera kepada anggota Polri yang melakukan pelanggaran sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada institusi Polri.

Kelima, tidak melakukan pengamanan terhadap penolakan masyarakat pada sektor sumber daya alam secara berlebihan apalagi hingga menggunakan kekerasan yang tidak perlu. Polri harus berpihak pada masyarakat yang mempertahankan ruang hidupnya dan tidak boleh dijadikan sebagai alat korporasi untuk melanggengkan kepentingan yang eksploitatif dan destruktif terhadap lingkungan hidup.

Keenam, Polri harus mengkaji ulang penerjunan anggota ke Tanah Papua dan memastikan bahwa anggota Polri yang berada di Tanah Papua tidak melanggengkan situasi kekerasan di Tanah Papua. Pada sisi lain anggota Polri di Papua juga harus menahan diri dari melakukan tindakan yang represif terhadap ekspresi orang asli Papua.

Ketujuh, Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri harus memperkuat kurikulum dan materi pendidikan yang berkaitan dengan standar-standar HAM pada institusi pendidikan di bawah Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri seperti Akademi Kepolisian dan Sekolah Polisi Negara. Polri juga perlu melakukan in-service training kepada aparat yang bertugas di lapangan. Hal tersebut dilakukan agar berbagai prinsip-prinsip HAM yang berkaitan dengan tugas-tugas Kepolisian dapat diinternalisasi oleh anggota Polri dalam menjalankan tugas.

Juli 4, 2023

Rilis HUT Bhayangkara ke-77 Kewenangan Eksesif, Kekerasan dan Penyelewengan Tetap Masif

Bertepatan dengan momen […]
Juli 3, 2023

Peradilan Militer Gagal Mengungkap Kebenaran dan Memberikan Keadilan: Hukuman Ringan diberikan Kepada Pelaku Penghilangan Paksa Luther dan Apinus Zanambani, serta Penembakan Pendeta Yeremia Zanambani

Komisi untuk Orang […]
Juni 27, 2023

Peluit Panjang untuk Menghentikan Buruknya Kick Off Pelaksanaan Rekomendasi PPHAM dan Praktik Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Secara Non Yudisial di Indonesia

Selasa (27 Juni […]
Juni 27, 2023

Minim Komitmen dan Normalisasi Kekerasan: Penghapusan Penyiksaan Hanya Angan?

Dalam rangka memperingati […]
Juni 27, 2023

Peluncuran Laporan Situasi Praktik Penyiksaan Periode Juni 2022 – Mei 2023 Minim Komitmen dan Normalisasi Kekerasan: Penghapusan Penyiksaan Hanya Angan?

Dalam rangka memperingati […]
Juni 25, 2023

Sidang Pemeriksaan Saksi dalam Kasus Kriminalisasi Fatia dan Haris: Jawaban Saksi Mengada-ngada dan Tegaskan Masalah Aktivitas Pertambangan di Papua

Jakarta, 19 Juni […]
Juni 22, 2023

Penghancuran Sisa Bangunan Rumoh Geudong Aceh:  Upaya Menghapus Sejarah dan Memori Kolektif Rakyat  Aceh 

Kami, organisasi masyarakat […]
Juni 18, 2023

Impunitas Kembali Berjaya, Penculik ditunjuk Jadi Komisaris Utama!

Mayjen TNI (Purn.) […]
Juni 17, 2023

Dugaan Pelanggaran Etik oleh Majelis Hakim dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur Dalam Sidang Fatia-Haris, Komisi Yudisial Segera Tindaklanjuti Aduan

Jakarta-Jumat 16 Juni […]
Juni 15, 2023

Tim Percepatan Reformasi Hukum Bentukan Kemenko Polhukam: Harus Berani Menghasilkan Terobosan Baru dan Kritis Terhadap Berbagai Undang-Undang yang Bermasalah

Pada tanggal 9 […]