Setiap tahun pada minggu terakhir di bulan Mei, dunia memperingati Pekan Penghilangan Paksa. Momen ini berawal dari demonstrasi keluarga korban penghilangan paksa di Amerika Latin yang tergabung dalam organisasi Latin American Federation of Associations for Relatives of Disappeared-Detainees (FEDEFAM). Demonstrasi yang berlangsung selama seminggu penuh tersebut menuntut pertanggung jawaban negara atas penghilangan paksa yang menimpa keluarga, teman, dan kerabat mereka saat rezim diktator tahun 80an. Karena praktik penghilangan paksa tidak hanya terjadi di Amerika Latin, maka Pekan Penghilangan Paksa ini diikuti secara global oleh negara-negara lainnya, termasuk Indonesia. 

Nyaris semua kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia terdapat persitiwa penghilangan orang secara paksa. Praktikenghilangan orang secara paksa ini tidak hanya terjadi pada rezim Orde Baru, bahkan pada tahun 2022, terjadi penghilangan orang secara paksa kepada warga sipil dari Intan Jaya Papua bernama Samuel Kobogou yang dinyatakan pemerintah telah meninggal dunia namun tidak jelas keberadaan jenazahnya. 

Masih terjadinya praktik penghilangan paksa di negara ini tak lepas dari kultur impunitas negara dan tidak adanya hukum yang memberikan kita semua jaminan keamanan dari tindakan penghilangan orang secara paksa. Meski sudah dicanangkan Presiden Joko Widodo sejak Perpres No. 33 Tahun 2018 tentang Perubahan Ranham 2015-2019. Pada 27 April 2022, Surat Presiden terkait pembahasan ratifikasi Konvensi telah dikirimkan kepada DPR, namun hingga memasuki masa sidang tahun 2023, Komisi I DPR masih tidak membahas bahkan tidak menjadwalkan ratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Orang Secara Paksa (The International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance/ICPPED). Khawatir, lagi-lagi ratifikasi ICPPED hanya akan dijadikan komoditas politik mengingat tahun 2023 sudah memasuki tahun politik bagi para politisi dan pejabat untuk kembali berebut koalisi dan suara. Padahal, jika mengikuti amanat dari Pasal 50 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah mewajibkan: “DPR mulai membahas RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 hari terhitung sejak surat Presiden diterima.” Apalagi sebagai RUU Kumulatif Terbuka, ratifikasi ICPPED tentu tidak perlu menunggu Prolegnas.

Janji-janji penyelesaian kasus penghilangan orang secara paksa memang sudah lama digadangkan. Hampir 14 tahun sejak Rekomendasi DPR RI dalam surat Nomor PW.01/6204/DPR RI/IX/2009 tertanggal 28 September 2009 diserahkan kepada Presiden RI terkait Penanganan Pembahasan atas Hasil Penyelidikan Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998, hingga kini Presiden RI belum menjalankan keempat rekomendasi Pansus DPR tersebut, seperti: merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad Hoc, melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang, dan meratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa, sebagai bentuk komitmen dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa.

Sejak awal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo juga menyebutkan dalam Nawacita (butir ke-4, poin ke-9) dan visi-misi pemerintah, yang berbunyi: “Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti: Kerusuhan Mei (1998); Trisakti-Semanggi I dan II; Penghilangan Orang secara Paksa (1997-1998); Talangsari-Lampung (1989); Tanjung Priok (1984); Tragedi 1965-1966” (poin ff). Bahkan, secara spesifik dalam dokumen Target dan Indikator Pembangunan Nasional Indonesia 2014-2019 Berdasarkan Visi-Misi Presiden Joko Widodo (Nawacita), Presiden juga menegaskan bahwa salah satu indikator tercapainya Nawacita butir ke-4 tersebut ialah: “Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang telah diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 2015.” Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998 telah diusulkan oleh DPR sejak tahun 2009, tetapi sampai sekarang kasus ini tidak diadili.

Bukannya membentuk pengadilan HAM, Pemerintah justru mengambil jalan pintas melalui penyelesaian pelanggaran HAM berat lewat jalur non-yudisial melalui Tim PPHAM yang dibentuk lewat Kepres 17 tahun 2022 (Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat) yang pada tataran konsep saja tidak menyentuh ranah substansial penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Di awal tahun 2023, Tim PPHAM telah mengeluarkan 11 rekomendasi yang terdapat dalam dokumen Ringkasan Eksekutif Laporan Tim PPHAM dan disertai pidato pengakuan Presiden pada awal tahun ini juga tidak memuat apa yang menjadi Rekomendasi DPR 2009, terutama dibentuknya Komisi untuk Orang-orang Hilang yang bekerja untuk mengumpulkan keterangan dan data mengenai keberadaan aktivis yang masih hilang, melakukan pemeriksaan ke tempat-tempat yang diduga menjadi tempat penyekapan berdasarkan keterangan saksi dan korban yang kembali, mengidentifikasi keberadaan korban hilang, memberi tahu keluarga mereka, serta memberi laporan terbuka kepada publik mengenai keberadaan korban yang masih hilang.

Para terduga pelaku penghilangan orang secara paksa juga belum diadili. Bahkan untuk konteks penghilangan orang secara paksa 1997-1998, para terduga pelaku masih melenggang bebas dan menempati ruang-ruang strategis Pemerintahan Joko Widodo. Diangkatnya terduga pelaku pelanggaran HAM di dalam tubuh militer dan tidak adanya regulasi gugatan sipil terhadap institusi militer lewat jalur pengadilan militer menunjukan tumpulnya kontrol sipil terhadap militer dan institusi keamanan. Mestinya, jika pemerintah memang serius ingin melakukan pemulihan kepada korban, maka upaya tersebut harus sepaket dengan upaya pengungkapan kebenaran, jaminan ketidakberulangan peristiwa, reformasi sektor keamanan, maupun uji pemeriksaan yang komperhensif terkait rekam jejak dan kompetensi calo pejabat negara dalam kerangka vetting mechanism.

Pemerintah hendaknya menjadikan momen pekan penghilangan paksa ini untuk segera menyelesaikan kasus penghilangan paksa yang terjadi di Indonesia dan menjamin ketidakberulangan praktik penghilangan orang secara paksa melalui mekanisme yang komplementer yaitu dengan membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus penghilangan orang secara tahun 1997-1998, melakukan pencarian terhadap orang hilang, memberikan pemulihan secara menyeluruh bagi korban, dan meratifikasi ICPPED sebagai bentuk komitmen dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa. Karena ada keluarga yang menanti kejelasan kasusnya dan ada generasi masa kini yang membutuhkan jaminan perlindungan dari negara. Negara harus tegas membuktikan bahwa tangan Negara tidak akan pernah digunakan lagi untuk menghilangkan warganya yang lantang bersuara.

Jakarta, 26 Mei 2023

 

Badan Pekerja KontraS,

 

Tioria Pretty
Wakil Koordinator Bidang Advokasi
Kontak: 0812 8585 7871

Mei 26, 2023

Pekan Penghilangan Paksa: Menanti Keseriusan Negara dalam Menjamin Perlindungan Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Orang Secara Paksa

Setiap tahun pada […]
Mei 24, 2023

Pengamanan Kegiatan Campursari di Kabupaten Gunungkidul Menyebabkan Warga Meninggal: Polri Harus Evaluasi Penggunaan Senjata Api!

Komisi untuk Orang […]
Mei 22, 2023

Sidang Keempat Kriminalisasi Aktivis Hak Asasi Manusia Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti: Banyak Dalil Eksepsi Tak Dipertimbangkan, Kredibilitas Majelis Hakim Dipertanyakan

Jakarta, 22 Mei […]
Mei 21, 2023

Seperempat Abad Kebohongan: Tinjauan Reflektif KontraS terkait Situasi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia pada 25 Tahun Reformasi

Pada momentum reformasi […]
Mei 12, 2023

Represi dan Intimidasi Ditengah Penyelenggaraan KTT ASEAN

Komisi Untuk Orang […]
Mei 10, 2023

Rancangan Revisi UU TNI: Menguatnya Militerisme, Pengkhianatan Terhadap Mandat Reformasi dan Regresi Reformasi Sektor Keamanan!

Wacana Revisi terhadap […]
Mei 8, 2023

Sidang Ketiga Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti: Jawaban JPU Tendensius dan Menyimpang, Semakin Membuktikan bahwa Dakwaan Cacat Formil!

Jakarta, 8 Mei […]
Mei 3, 2023

Tidak ada Permintaan Maaf: Bukti Arogansi Negara dan Upaya Semu Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

“Tidak ada permintaan […]
April 19, 2023

Analisa Bersama FORUM ASIA dan KontraS tentang Situasi Pembela HAM di Asia Januari 2021 – Juni 2022

Analisa bersama ini […]
April 17, 2023

Sidang Kedua Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti: Dakwaan JPU Cacat Formil dan Penegakan Hukum Tak Objektif

Jakarta, 17 April […]