Wacana Revisi terhadap UU No. 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) kembali mencuat pasca paparan mengenai Revisi UU TNI diserahkan oleh Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI diserahkan kepada Panglima TNI Yudo Margono[1] dan internal Markas Besar TNI melakukan pembahasan mengenai agenda Revisi UU TNI.[2] Diketahui, Revisi terhadap UU TNI juga telah menjadi agenda program legislasi nasional (prolegnas) prioritas oleh DPR-RI sejak tahun 2022 yang lalu.[3]Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menerima informasi mengenai rancangan perubahan pasal yang diusulkan oleh Babinkum TNI dan menyoroti beberapa pasal bermasalah pada draf Rancangan Revisi UU TNI tersebut. Kami menilai bahwa rencana revisi terhadap UU TNI yang sudah direncanakan sejak 2019 ini,[4] merupakan bentuk regresi terhadap agenda reformasi sektor keamanan dan berpotensi menguatnya cengkraman militerisme.

Berdasarkan rancangan yang diajukan oleh Babinkum TNI, kami memiliki beberapa catatan krusial yakni:

Pertama, menguatnya peran internal militer dan membuat TNI semakin tidak profesional. Hal tersebut tercermin misalnya dalam  rancangan Pasal 7 angka (4)[5] yang membuka ruang bagi diperluasnya peranan TNI dalam pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) serta Pasal 47 yang membuka ruang bagi prajurit TNI untuk menduduki berbagai jabatan sipil. Perluasan terhadap kewenangan TNI dalam OMSP akan membuka ruang bagi pengerahan pasukan TNI secara lebih masif yang juga beresiko akan terjadinya Pelanggaran HAM. Selain resiko pelanggaran HAM, pengerahan pasukan dalam rangka OMSP juga sudah terbukti menjadi salah satu faktor dalam langgengnya situasi kekerasan di beberapa wilayah utamanya Papua.[6]

Kedua, berkaitan dengan pengerahan prajurit TNI untuk operasi militer, Pasal 3 dalam UU TNI secara eksplisit mensyaratkan pengerahan dan penggunaan militer TNI berada di bawah Presiden. Dalam rancangan Revisi UU TNI hanya disebutkan bahwa TNI merupakan alat Negara yang berkedudukan di bawah Presiden dan tidak secara jelas mengatur bahwa pengerahan kekuatan militer TNI berada di bawah Presiden. Jika kewenangan pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI oleh Presiden dihapus maka TNI dapat melakukan operasi militer tanpa persetujuan dan pengawasan dari Presiden. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam negara demokratis, apabila prinsip ini dilanggar maka dapat terjadi pergeseran kekuasaan yang berpotensi merusak prinsip-prinsip negara demokrasi serta mengancam hak asasi manusia.

Ketiga, Rancangan Revisi UU TNI juga mengemukakan wacana untuk memperbolehkan prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil pada tujuh Kementerian/Lembaga tambahan yaitu Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Pengelola perbatasan, Badan Keamanan laut. Dengan penambahan ini secara total terdapat 17 Kementerian/Lembaga  yang membuka peluang jabatannya dipegang oleh prajurit TNI aktif. Mengizinkan prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan pada Kementerian/Lembaga tersebut sama saja dengan membuka peluang bagi kembalinya dwi fungsi ABRI, sesuai dengan mandat reformasi seharusnya prajurit TNI hanya diperbolehkan untuk menduduki jabatan yang  pada Kementerian/Lembaga yang berkaitan dengan pertahanan negara.

Keempat, Institusi TNI akan semakin jauh dari akuntabilitas dan lekat pada kultur impunitas. Sebab dalam Pasal 65 usulan rancangan revisi UU TNI yang pada intinya mengatur apabila prajurit TNI melakukan tindak pidana umum maka akan diadili pada peradilan militer. Selama ini, kami menganggap peradilan militer menyimpan begitu banyak persoalan khususnya mengenai disparitas putusan dimana putusan peradilan militer rata-rata lebih ringan dibanding putusan yang dikeluarkan oleh peradilan umum. Alih-alih melakukan reformasi peradilan militer sebagaimana diamanatkan pasal 3 ayat (4) TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004, draf revisi hanya akan menambah persoalan mengenai impunitas dan memperburuk akuntabilitas TNI khususnya dalam konteks pertanggungjawaban pidana dari Prajurit TNI.

Berdasarkan hal-hal di atas, kami mendesak:

  1. Pemerintah dan DPR RI menolak rancangan revisi UU No. 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia sebagai upaya mewujudkan negara yang demokratis dan melaksanakan amanat reformasi;
  2. Pemerintah memastikan berbagai agenda reformasi TNI dapat dituntaskan sebagai upaya mewujudkan TNI yang lebih profesional dan tunduk pada supremasi sipil sesuai dengan mandat reformasi.

 

Jakarta, 10 Mei 2023
Badan Pekerja KontraS

 

Andi Muhammad Rezaldy, S.H.
Wakil Koordinator Bidang Strategi & Mobilisasi

Narahubung: 081310815873

 

[1] Koran Jakarta, Panglima TNI Terima Paparan Revisi Undang-undang TNI, https://koran-jakarta.com/panglima-tni-terima-paparan-revisi-undang-undang-tni

[2] Kompas.id, Lewat Revisi UU TNI, Diusulkan Prajurit Bisa Duduki Jabatan Sipil Lebih Banyak, https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/05/09/tni-ingin-lebih-banyak-menduduki-jabatan-sipil

[3] Humas Mahkamah Konstitusi, RUU Perubahan atas UU TNI Masuk dalam Daftar Prolegnas Prioritas, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=18005

[4] Koalisi Masyarakat Sipil, Revisi UU TNI Mengembalikan Dwifungsi ABRI, https://kontras.org/2019/08/05/revisi-uu-tni-mengembalikan-dwifungsi-sbri/

[5] Rancangan Pasal 7 angka (4) pada paparan yang disampaikan Babinkum berbunyi: “Pelaksanaan OMSP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.”

[6] Lihat Laporan Studi dan Dokumentasi KontraS: Gagal Menyentuh Akar Konflik dalam Balutan Isu Pembangunan, https://kontras.org/2023/04/14/gagal-menyentuh-akar-konflik-dalam-balutan-ilusi-pembangunan-2/

Mei 10, 2023

Rancangan Revisi UU TNI: Menguatnya Militerisme, Pengkhianatan Terhadap Mandat Reformasi dan Regresi Reformasi Sektor Keamanan!

Wacana Revisi terhadap […]
Mei 8, 2023

Sidang Ketiga Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti: Jawaban JPU Tendensius dan Menyimpang, Semakin Membuktikan bahwa Dakwaan Cacat Formil!

Jakarta, 8 Mei […]
Mei 3, 2023

Tidak ada Permintaan Maaf: Bukti Arogansi Negara dan Upaya Semu Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

“Tidak ada permintaan […]
April 19, 2023

Analisa Bersama FORUM ASIA dan KontraS tentang Situasi Pembela HAM di Asia Januari 2021 – Juni 2022

Analisa bersama ini […]
April 17, 2023

Sidang Kedua Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti: Dakwaan JPU Cacat Formil dan Penegakan Hukum Tak Objektif

Jakarta, 17 April […]
April 17, 2023

Pembatasan Acces to Justice Keluarga korban Kanjuruhan : bentuk ketidakseriusan Negara dalam penegakan Hukum dan HAM secara berkeadilan

Keluarga korban Peristiwa […]
April 17, 2023

Kekerasan Aparat dalam Aksi Penolakan UU Cipta Kerja: Pembangkangan Konstitusi diikuti Represi Kebebasan Sipil

Komisi Untuk Orang […]
April 14, 2023

Gagal Menyentuh Akar Konflik dalam Balutan Ilusi Pembangunan

Bertepatan pada momentum […]
April 14, 2023

KontraS Luncurkan Buku “Gagal Menyentuh Akar Konflik dalam Balutan Ilusi Pembangunan” Sebagai Kritik terhadap Pola Pengambilan Kebijakan di Tanah Papua

Komisi untuk Orang […]
April 12, 2023

Kwitangologi #XI : Jalan Terjal Memperjuangkan Hak Asasi Manusia

Tahun demi tahun […]