Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), LBH Surabaya, LBH Pos Malang, Lokataru dan IM 57+ Institute telah melakukan pemantauan atas proses hukum dan persidangan terkait Tragedi Kanjuruhan.

Dalam perkembangannya, diketahui sejumlah terdakwa telah menghadapi proses hukum di Pengadilan Negeri Surabaya. Beberapa terdakwa sudah dijatuhi vonis oleh Majelis Hakim yaitu Abdul Haris (Ketua Panpel) 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan penjara, Suko Sutrisno (Security Officer) 1 (satu) tahun penjara, AKP Hasdarmawan (Danki III Brimob Polda Jawa Timur) 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan penjara, Kompol Wahyu Setyo Pranoto (Kabag ops Polres Malang) dan AKP Bambang Sidik Achmadi (Kasat Samapta Polres Malang) diputus bebas.

Proses pemantauan kami lakukan sejak pendalaman fakta dilakukan oleh sejumlah lembaga negara hingga adanya putusan pengadilan terhadap sejumlah terdakwa. Metode pemantauan yang kami lakukan dengan cara pemantauan secara langsung di persidangan maupun pemantauan melalui media. Selain itu, kami juga melakukan penelusuran atas sejumlah dokumen yang terkait dengan tragedi ini.

Didasari pada pemantauan yang kami lakukan, kami mendapatkan sejumlah temuan yang diduga proses hukum yang berjalan sejak awal, diduga dirancang untuk gagal dalam mengungkap fakta dan kebenaran yang ada atau dengan kata lain ada upaya melindungi aktor-aktor lain yang seharusnya bertanggung jawab secara hukum. Temuan yang kami maksud adalah sebagai berikut:

Sebelum Proses Peradilan

Pertama, adanya narasi yang menyesatkan terkait tragedi kanjuruhan. Misalnya saja  Kapolda Jawa Timur saat itu menyatakan tindakan pengamanan di Stadion Kanjuruhan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP). Padahal didapati sejumlah anggotanya melakukan tindak kekerasan atau penggunaan kekuatan berlebih dengan menggunakan gas air mata sehingga mengakibatkan banyaknya korban jiwa dan luka.

Selain itu ada juga narasi yang tampak menyudutkan supporter dengan adanya temuan 46 (empat puluh enam) minuman keras oleh Polri. Kemudian, hal tersebut dibantah Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Malang, dengan menyatakan puluhan botol yang diduga minuman keras tersebut obat untuk hewan ternak atau obat untuk penyakit mulut dan kuku ternak.

Kedua, dugaan obstruction of justice. Didasari pada laporan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) ada dugaan upaya kepolisian mengganti rekaman CCTV dengan rekaman yang baru dan CCTV yang ada di Stadion dilarang oleh aparat kepolisian untuk didownload. Namun temuan ini tidak ditindaklanjuti secara serius oleh kepolisian dengan melakukan penyelidikan/penyidikan.

Ketiga, adanya ancaman kekerasan serta intimidasi secara langsung terhadap keluarga korban dan saksi. Salah satu diantaranya adalah adanya ancaman serta intimidasi secara langsung kepada salah satu keluarga korban Devi Atok sebelum dan pasca pelaksanaan proses ekshumasi (Otopsi) pada tanggal 5 November 2022 atas nama Natasya Deby Ramadhani dan Naila Deby Anggraini. Selain itu juga ditemukan upaya pelemahan secara sistematis terhadap perjuangan keluarga korban, saksi serta keluarga dalam menuntut keadilan. Hal tersebut berupa berbagai iming-iming bantuan usaha, fasilitas pengurusan SIM (surat Izin Mengemudi), bantuan pendidikan serta pendekatan lain yang bertujuan untuk mengaburkan  orientasi proses hukum dalam pemenuhan keadilan dan hak korban.

Keempat, Rekonstruksi tanggal 19 Oktober 2022 dilakukan di Lapangan Mapolda Jawa Timur dan tidak dilakukan di stadion Kanjuruhan Kabupaten Malang. Kejanggalan Rekonstruksi terhadap terdakwa kepolisian yang kami temukan ialah bahwa dari 25 adegan Rekonstruksi tidak memperlihatkan adegan penembakan gas air mata ke Tribun penonton yang berimplikasi pada tidak utuhnya fakta peristiwa yang terjadi dalam proses penegakan hukum

Proses Peradilan

Sejak ditetapkannya enam tersangka pada tanggal 6 Oktober 2022, Kapolri Jenderal Listyo Sigit menetapkan Ahmad Hadian Lukita, Abdul Haris, Suko Sutrisno, AKP Hasdarmawan, Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan AKP Bambang Sidik Achmadi dengan jeratan pasal yang tergolong ringan dengan ancaman pidana maksimal dibawah 10 Tahun dengan Pasal 359, 360 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 52 UU 11 Tahun 2022 Tentang Keolahragaan. proses penegakan tragedi kanjuruhan hanya menyentuh aktor lapangan dan banyak sekali kejanggalan ditemukan selama proses penegakan hukum, hingga sampai saat ini tersangka Ahmad Hadian Lukita belum disidangkan.

Pertama, ada indikasi upaya memotong pertanggungjawaban hukum aktor lain. Dalam dakwaan para terdakwa, ditemukan fakta hukum bahwa ada beberapa aktor yang memberikan perintah melakukan penembakan gas air mata yaitu Kasat Samapta Polres Malang kepada sekitar 2 (dua) anggotanya, Danki III Brimob Polda Jawa Timur kepada sekitar (9) anggotanya dan Danki Brimob Madiun kepada sekitar 2 (dua) anggotanya.

Tetapi anehnya, proses hukum yang berjalan tidak ikut menyeret anggota dari Kasat Samapta Polres Malang dan Danki III Brimb Polda Jawa Timur yang diperintah untuk melakukan penembakan gas air mata. Termasuk kepada Danki Brimob Madiun dan anggotanya. Berbagai keterangan puluhan aparat sebagai saksi mengaku jika hanya menembakan gas air mata sebanyak satu kali ke bagian lapangan dan Shuttleban serta tidak menembakan gas air mata ke bagian Tribun Penonton. Kaburnya fakta penembakan gas air mata ke tribun penonton diperkuat dengan keterangan Terdakwa AKP Hasdarmawan tanggap 14 Februari 2023 menerangkan bahwa terdakwa Hasdarmawan memerintahkan anggotanya  dua kali penembakan gas air mata keluar stadion serta tidak melihat atau mengetahui adanya penembakan gas air mata dan proyektil yang jatuh ke bagian Tribun Penonton

Sehingga, kami menduga seperti ada upaya dari aparat penegak hukum untuk melindungi aktor lain atas tragedi yang terjadi. Namun demikian, kami menilai aktor-aktor tersebut diduga hanyalah aktor lapangan saja. Dalam kasus ini, terdapat aktor high level yang seharusnya diproses hukum atau diselidiki lebih lanjut.

Kedua, keputusan Majelis Hakim yang menerima anggota Polri sebagai penasehat hukum dalam persidangan pidana merupakan keputusan yang tidak dapat dibenarkan. Sebab, keputusan tersebut bertentangan dengan Pasal 16 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang mana dalam proses pidana, Polisi tidak memiliki wewenang untuk melakukan pendampingan hukum di persidangan pidana.

Profesi yang berhak mengenakan atribut toga dan melakukan pendampingan hukum dalam persidangan pidana adalah seorang advokat. Anggota polri tidak dapat menggunakan atribut/toga advokat. Disisi lain, hal ini juga dapat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Sehingga kami menilai keputusan tersebut, telah merusak dan melecehkan sistem hukum yang berlaku.

Ketiga, akses persidangan sempat dibatasi dan terdakwa sempat hanya dihadirkan secara daring. langkah yang dilakukan oleh PN Surabaya yang sempat membatasi akses persidangan tragedi Kanjuruhan merupakan langkah yang tidak tepat.  Sebab, menurut Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jo. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman, mewajibkan bagi Majelis Hakim dalam setiap pemeriksaan di pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum.

Selain itu, sempat dihadirkannya terdakwa secara online menyalahi ketentuan Pasal 154 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa terdakwa wajib hadir pada sidang pemeriksaan di pengadilan. Terlebih lagi, Pemerintah telah mencabut kebijakan pemberlakuan dan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada Desember 2022 lalu yang berarti tidak ada alasan hakim untuk dalam menghadirkan terdakwa secara online.

Keempat, proses persidangan tidak mengurai atau mengungkap secara utuh terkait peristiwa penembakan gas air mata. Berdasarkan temuan kami saat melakukan pendalaman fakta, diketahui penderitaan supporter akibat penembakan gas air mata tidak hanya dialami di dalam Stadion tetapi juga di luar Stadion. Namun hal tersebut tidak diungkap secara menyeluruh dalam proses persidangan. Tidak terkecuali terkait CCTV, Jaksa juga tidak menampilkan hasil CCTV secara lengkap dan utuh dari berbagai sisi ketika peristiwa saat itu terjadi terutama pada eskalasi kematian masal. Padahal terdapat 32 titik CCTV di area Stadion Kanjuruhan dan berbagai video amatir yang beredar di media masa.

Kelima, Intimidasi anggota Polri dengan membuat kegaduhan dalam proses persidangan pada tanggal 14 Februari 2023. Perilaku puluhan aparat Brimob tersebut merupakan bentuk dari penghinaan terhadap pengadilan (Contempt of Court) karena sikap tersebut merupakan perilaku tercela dan tidak pantas dilakukan di pengadilan dengan melakukan perbuatan yang menimbulkan kegaduhan dan dinilai merupakan bentuk bentuk intimidasi dan unjuk kekuasaan yang dapat mempengaruhi proses persidangan,

Terkahir, temuan lainnya seperti Hakim dan Jaksa Penuntut Umum cenderung pasif dalam menggali kebenaran materil, minimnya keterlibatan saksi korban dan keluarga korban sebagai saksi dalam persidangan, hingga komposisi saksi didominasi oleh aparat kepolisian,

Pendapat Koalisi Masyarkat Sipil

Didasari pada berbagai temuan kami tersebut, kami berpendapat bahwa proses hukum ini secara keseluruhan sama sekali tidak menunjukan fakta sebenarnya yang dapat mampu mengungkapkan tragedi kanjuruhan secara utuh dan jelas. Proses hukum ini juga diduga  dirancang hanya untuk memberi penghukuman yang ringan terhadap pelaku dan melindungi aktor lain dari proses peradilan.

Diberikannya vonis ringan dan putusan bebas terhadap sejumlah terdakwa merupakan bentuk pelecehan atas nilai-nilai keadilan dan kebenaran yang selama ini diperjuangkan para korban. Proses peradilan ini juga dapat kami simpulkan sebagai bagian dari mata rantai impunitas terhadap sebuah tindak kejahatan.

Minimnya upaya memberikan penghukuman maksimal terhadap berbagai aktor yang terlibat dalam tragedi ini adalah Langkah yang melumpuhkan  kemungkinan proses peradilan sebagai instrumen yang memastikan masyarakat tidak akan menjadi korban kejahatan yang serupa dikemudian hari. Keputusan ini menjadi semacam lampu hijau bagi tindakan-tindakan pelanggaran hak asasi manusia di kemudian hari.

Bahwa gagalnya proses hukum dalam mengungkap fakta secara utuh dibalik tragedi ini dan tiadanya keadilan yang dirasakan bagi seluruh korban dan keluarga korban. Merupakan bentuk pelanggaran terkait hak atas keadilan dan hak atas proses peradilan yang fair sebagaimana diatur oleh berbagai instrumen hak asasi manusia seperti UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik hingga Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan.

Berdasarkan berbagai uraian dan pendapat kami tersebut, kami mendesak:

  1. Presiden Republik Indonesia memanggil pimpinan lembaga seperti Menkopolhukam, Kapolri dan Kejaksaan Agung untuk memastikan Tragedi Kanjuruhan dapat diungkap secara tuntas dengan tidak hanya menyentuh aktor lapangan saja tetapi juga dapat menyeret aktor high level dalam tragedi ini. Selain itu juga harus dipastikan berbagai rekomendasi yang dibuat oleh TGIPF, Komnas HAM dan LPSK dapat ditindaklanjuti dengan segera;
  2. Kapolri memerintahkan Kabareskrim untuk memulai proses penyelidikan dan penyidikan kembali atas tragedi Kanjuruhan karena Kepolisian Daerah Jawa Timur terbukti gagal mengungkap kebenaran dan membawa pelaku ke pengadilan  
  3. Kapolri memerintahkan jajarannya untuk membongkar peristiwa ini dengan kembali melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap sejumlah pihak yang bertanggungjawab secara hukum;
  4. Komisi Yudisial memeriksa Majelis Hakim yang mengadili perkara Tragedi Kanjuruhan atas dugaan pelanggaran kode etik. Selain itu kami juga mendorong untuk mengungkap hasil temuannya terkait proses pemantauan yang selama ini dilakukan; dan 
  5. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)  melakukan pengkajian dan pendalaman terkait Tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan menggunakan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

21 Maret 2023

Jakarta-Surabaya-Malang 

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), LBH Surabaya, LBH  Malang, Lokataru, dan IM 57+ Institute.

 

Narahubung:

  1. Muhammad Isnur (YLBHI);
  2. Fatia Maulidiyanti (KontraS);
  3. Daniel Alexander Siagian (LBH Malang);
  4. Jauhar Kurniawan (LBH Surabaya).
Maret 21, 2023

Temuan Pemantauan Proses Hukum Terkait Tragedi Kanjuruhan “Dari Proses Persidangan yang Penuh Dengan Keganjilan, Fakta Digelapkan Hingga Aktor kekerasan Berlindung Dibalik Jubah Kekuasaan”

Koalisi Masyarakat Sipil […]
Maret 20, 2023

25 Tahun KontraS: Meneruskan Pesan Keadilan di tengah Kesewenang-wenangan Kekuasaan

Komisi Untuk Orang […]
Maret 16, 2023

Vonis Sidang Tragedi Kanjuruhan: Jauh dari Harapan Keadilan Keluarga Korban!

Koalisi Masyarakat Sipil […]
Maret 10, 2023

Sebagai Negara Demokratis, Pemerintah Indonesia Wajib Libatkan Masyarakat Sipil dalam Keketuaan ASEAN 2023

[Jakarta, 10 Maret […]
Maret 9, 2023

Temuan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman Yogyakarta dan Rekomendasi Komnas HAM Menyebut Terdapat Dugaan Rangkaian Tindakan Kekerasan Oleh Kepolisian Dalam Peristiwa Klitih, Bukti Dugaan Rekayasa Kasus dan Penyiksaan Semakin Kuat!

Jalan panjang perjuangan […]
Maret 6, 2023

Demi Hukum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Harus Hentikan Kriminalisasi Terhadap Pembela HAM Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar Atas Kritiknya Terhadap Pejabat Publik

Kasus kriminalisasi Pembela […]
Februari 26, 2023

Respon KontraS atas Tragedi Wamena: Investigasi Secara Independen dan Pulihkan Hak-Hak Korban dengan Menyeluruh!

Komisi untuk Orang […]
Februari 22, 2023

Presiden RI dan Mendagri Telah Melakukan Perbuatan Melawan Hukum

Siaran Pers Koalisi […]
Februari 22, 2023

Jeda Kemanusiaan: Batal Tanpa Diimplementasikan, Gagal Tangani Konflik dan Permasalahan Pengungsi Papua

Komisi Untuk Orang […]
Februari 21, 2023

Respon KontraS atas Peristiwa Pembubaran Ibadah GKKD Bandar Lampung: Cegah Berulangnya Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Tindak Tegas Pelaku Intoleran!

Pada hari Minggu […]