Pada tanggal 31 Januari-2 Februari 2023, Komisi Yudisial melakukan Wawancara Terbuka dalam rangka rekrutmen Calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc Hak Asasi Manusia dalam lingkup Mahkamah Agung. Wawancara terbuka tersebut bertujuan untuk menguji kompetensi serta kualitas para calon hakim, pada wawancara terbuka tersebut Komisi Yudisial juga membuka ruang bagi publik dan masyarakat sipil untuk menyaksikan serta bertanya kepada para calon hakim dengan mengundang beberapa organisasi masyarakat sipil untuk hadir secara langsung dan menyiarkan wawancara secara langsung melalui kanal YouTube Komisi Yudisial.

Pada seleksi yang dilakukan terdapat lima orang yang menjadi calon Hakim ad hoc Hak Asasi Manusia di Mahkamah Agung, kelimanya diwawancara oleh panelis yang terdiri dari seluruh Komisioner Komisi Yudisial pada tanggal 2 Februari 2023. Tiga dari lima calon hakim tersebut nantinya akan menjadi hakim yang mengadili proses Kasasi dari Pelanggaran HAM Berat Paniai yang terdakwa nya telah divonis bebas pada bulan Desember 2022.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang hadir pada wawancara terbuka serta melakukan pemantauan terhadap para calon hakim ad hoc Hak Asasi Manusia tersebut menyoroti dengan tajam kualitas dan kompetensi para calon hakim yang mengikuti proses seleksi. Berdasarkan pemantauan dan background check terhadap para calon hakim yang kami lakukan sejak tanggal 30 Januari, kami meragukan kualitas dan pemahaman para calon hakim ad hoc HAM yang tentu akan berdampak secara signifikan pada keberadaan proses persidangan yang akan berjalan. Keraguan tersebut kemudian terbukti pada wawancara terbuka tanggal 2 Februari 2023 yang kami hadiri.

Adapun beberapa temuan kami dalam wawancara terbuka tersebuti antara lain:

Pertama, beberapa calon sangat minim pengetahuan terkait pengadilan HAM.  beberapa calon hakim masih belum memahami perbedaan mendasar antara pelanggaran HAM yang dirumuskan dalam UU 39 Tahun 1999 (UU HAM) dengan Pelanggaran HAM Berat yang dirumuskan dalam UU Pengadilan HAM, salah seorang calon juga tidak bisa menjelaskan dengan baik unsur utama kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu “meluas” dan “sistematis”. Pada kesempatan lain seorang calon juga kebingungan ketika menjawab pertanyaan mengenai mekanisme kompensasi dan restitusi kepada korban pelanggaran HAM berat dengan manyatakan “saya belum membaca ketentuan mengenai kompensasi dan restitusi” dan  “saya belum membaca Perma No. 1 Tahun 2022.” Calon yang lain bahkan tidak bisa membedakan mekanisme yudisial dan non-yudisiall dalam penyelasaian Pelanggaran HAM Berat serta tidak memahami pertanggungjawaban komando yang diatur dalam Pasal 42 UU Pengadilan HAM dengan berkata “saya belum mengetahui mengenai tanggung jawab komando.” Minimnya pengetahuan tersebut tentu saja berbahaya bagi Pengadilan HAM mengingat para calon jika terpilih akan diberi tugas mengadili kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai pada tingkat Kasasi.

Kedua, kami menemukan adanya calon hakim ad hoc Hak Asasi Manusia yang masih mendukung penyelesaian Pelanggaran HAM berat secara non-yudisial, hal yang sesungguhnya mengeyampingkan proses pencarian dan akses korban terhadap kebenaran (access to truth) dalam kasus Pelanggaran HAM Berat. Pada sisi lain beberapa calon juga tidak mengetahui pengetahuan mendasar mengenai HAM seperti keberadaan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta tidak mengetahui kewajiban negara dalam konteks dengan menyatakan “saya belum pernah mendengar ICCPR.” Disamping itu, salah seorang calon, ketika kami tanyakan mengenai peristiwa Pelanggaran HAM Berat di Papua bahkan salah menyebut nama lokasi terjadinya pelanggaran HAM Berat. Minimnya pengetahuan para calon hakim ad hoc HAM terhadap hal-hal mendasar tersebut menurut kami sangat tragis mengingat para calon merupakan praktisi hukum yang telah berkiprah cukup lama sebagai penegak hukum.

Ketiga, terdapat calon yang memiliki track record buruk. Kami menemukan fakta bahwa seorang calon hakim melalukan rekayasa terhadap dokumen kelengkapan pendaftaran hakim, saat dikonfirmasi oleh Komisioner Komisi Yudisial, yang bersangkutan menyatakan “saya mengaku salah dan perbuatan tersebut merupakan perilaku yang tidak etis.Persoalan etika yang muncul tersebut tentu saja sangat miris karena yang bersangkutan pernah menjabat sebagai hakim ad hoc Tipikor selama 10 tahun. 

Terkait dengan proses rekrutmen calon hakim ad hoc HAM tersebut, kami memahami bahwa terdapat kebutuhan untuk menemukan calon hakim yang tepat untuk mengadili kasus pelanggaran HAM, namun demikian proses tersebut tidak dapat dilakukan secara serampangan dan seadanya mengingat kasus pelanggaran HAM berat memiliki kompleksitas yang berbeda dengan pengadilan umum. Dipilihnya hakim ad hoc yang kurang kompeten sesungguhnya telah kami soroti pada kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai tahun 2022, untuk itu kami berharap agar hal yang sama tidak kembali diulangi oleh Komisi Yudisial.

Kami berharap agar hakim ad hoc yang kali ini terpilih melalui putusan yang dihasilkannya bisa menjawab kebutuhan keadilan dan pegungkapan kebenaran yang selama ini gagal dilakukan oleh empat Pengadilan HAM yang telah berjalan (Tanjung Priok, Timor Timur, Abepura dan Paniai). Hakim ad hoc HAM seharusnya memiliki pemahaman mendalam terhadap mekanisme Pengadilan HAM khususnya mekanisme pembuktian yang digunakan serta pengetahuan mumpuni terhadap unsur-unsur atau elemen Pelanggaran HAM Berat, dan tidak hanya diloloskan karena ada kebutuhan untuk mengadili kasus tertentu semata.

Berdasarkan temuan-temuan tersebut kami mendesak Komisi Yudisial agar:

Pertama, tidak meloloskan calon hakim ad hoc HAM yang memiliki pengetahuan minim terhadap mekanisme Pengadilan HAM serta HAM secara keseluruhan

Kedua, mempertimbangkan untuk kembali melakukan proses rekrutmen hakim ad hoc Hak Asasi Manusia untuk mencari kandidat hakim ad hoc Hak Asasi Manusia yang kredibel.

 

 

Jakarta, 2 Februari 2023
Badan Pekerja KontraS

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator

Februari 3, 2023

Seleksi Calon Hakim Ad Hoc Hak Asasi Manusia untuk Mahkamah Agung: Bobroknya Pengetahuan Calon Hakim, Ancaman Nyata Bagi Pengadilan HAM

Pada tanggal 31 […]
Februari 2, 2023

2 Tahun Kudeta Myanmar: Peran Pemerintah dan Masyarakat Sipil Indonesia untuk ASEAN yang responsif

Tanggal 1 Februari […]
Januari 31, 2023

Surat Terbuka Untuk Komnas HAM

Nomor : 24/SK-KontraS/I/2023 […]
Januari 30, 2023

Bebaskan 17 Buruh, Hentikan Penegakan Hukum Diskriminatif dan Penuhi Tuntutan Buruh PT GNI!

Komisi untuk Orang […]
Januari 30, 2023

Laporan Hasil Penelitian Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia

Komisi Untuk Orang […]
Januari 25, 2023

Usut Tuntas Peristiwa Aksi Teror dan Intimidasi yang Dialami Jurnalis Senior Jubi Papua

Komisi Untuk Orang […]
Januari 25, 2023

Respon atas Putusan terhadap Mayor Helmanto Fransiskus Dakhi: Belum Usai, Seluruh Terdakwa yang Terlibat dalam Kasus Pembunuhan dan Mutilasi Harus Dihukum Berat

Pada 24 Januari […]
Januari 24, 2023

Peradilan Militer: Persidangan Sandiwara Untuk Melindungi Para Pelaku Anggota TNI dalam Kasus Pembunuhan dan Mutilasi Warga Sipil di Timika

Koalisi Masyarakat Sipil […]
Januari 19, 2023

Koalisi Masyarakat Sipil: Sidang Perdana Tragedi Kanjuruhan Penuh Dengan Keganjilan, Proses Persidangan Harus Dapat Diakses Publik!

Koalisi Masyarakat Sipil […]
Januari 17, 2023

Kemenangan Warga Sangihe Jadi Momentum Penyelamatan Pulau Kecil di Indonesia

“Putusan MA atas […]