Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama dengan Biro Papua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), PUSAKA, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Aliansi Mahasiswa Papua, menyoroti situasi kekerasan yang terus terjadi akibat pendekatan militer bersenjata di Tanah Papua selama dua bulan belakangan. Berdasarkan pemantauan KontraS, pada Januari-Februari 2024 telah terjadi setidaknya 7 Peristiwa kekerasan yang menimbulkan 6 korban luka dan 4 korban tewas. Tindak kekerasan tersebut antara lain meliputi penembakan, penyiksaan, serta penangkapan sewenang-wenang. Menurut informasi yang kami himpun, beberapa korban di antaranya adalah warga sipil bahkan terdapat korban yang masih tergolong anak-anak.

Jumlah Kekerasan yang terjadi di Papua berbanding lurus dengan masih diberlakukannya pendekatan keamanan dan bersenjata melalui operasi militer oleh pemerintah hingga saat ini. Padahal, pola kebijakan penuntasan konflik tersebut masih menjadi salah satu faktor terus berulangnya peristiwa kekerasan di Tanah Papua. Kami memproyeksikan bahwa peristiwa semacam itu akan terus berulang di Tanah Papua jika pemerintah tidak melakukan pengkajian ulang dan evaluasi terhadap pendekatan keamanan dan operasi militer yang saat ini dijalankan di Tanah Papua. Inisiatif Panglima TNI dengan membuat Komando Operasi Habema justru akan memperkeruh situasi dan tidak dapat menjamin peristiwa kekerasan serta pelanggaran HAM tidak terus berulang jika operasi tersebut dijalankan tanpa evaluasi yang komprehensif dan menyeluruh serta tidak diimbangi dengan upaya dialog dan cara damai.

7 peristiwa kekerasan ini semakin menambah banyaknya dugaan kasus pelanggaran HAM dan pola kekerasan negara yang terjadi di tanah Papua. Berdasarkan hasil pemantauan yang kami lakukan sepanjang tahun 2023 lalu, setidaknya telah terjadi 49 peristiwa kekerasan terhadap warga sipil yang meliputi penembakan, penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, dan penyiksaan. Rentetan peristiwa tersebut menyebabkan 67 korban luka-luka dan 41 korban meninggal dunia.

Informasi yang kami himpun juga menunjukkan bahwa beberapa peristiwa yang terjadi didorong oleh adanya dugaan bahwa warga Papua merupakan anggota TPNPB-OPM yang menyebabkan aparat melakukan pengejaran dan penembakan kepada warga yang diduga sebagai anggota TPNPB-OPM. Pada akhirnya, beberapa warga yang terluka dan ditangkap justru tidak terbukti sebagai anggota TPNPB-OPM. Patut digarisbawahi bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan yang mempertontonkan penggunaan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force) sekaligus pelanggaran terhadap prinsip fair trial.

Penggunaan kekuatan oleh aparat bersenjata seharusnya dilakukan secara terukur berdasarkan prinsip nesesitas (necessity) yakni bahwa penggunaan senjata oleh aparat harus dilakukan dengan hati-hati serta sesuai dengan prinsip hukum dan Hak Asasi Manusia. Adanya warga sipil yang terluka bahkan meninggal dunia akibat terjangan peluru aparat menunjukkan adanya dugaan penggunaan senjata api secara berlebihan. Hal ini jelas bertentangan dengan United Nations Basic Principles On the Use of Force And Firearms By Law Enforcement Official yang menyatakan bahwa dalam penggunaan senjata api oleh penegak hukum harus sesuai dengan keadaan dan digunakan dengan sedapat mungkin mengurangi resiko yang tidak diinginkan.

Pada sisi lain, tindakan “tembak mati” yang dilakukan merupakan bentuk extrajudicial killing atau pembunuhan di luar hukum yang sudah jelas merupakan pelanggaran terhadap hak hidup sebagaimana dijamin oleh Konstitusi, Undang-undang Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR). Tindakan tersebut tentu berhubungan dengan penggunaan senjata api secara sewenang-wenang.

Lebih lanjut, tindakan “tembak mati” dan adanya kasus penangkapan sewenang-wenang yang kami temukan menunjukkan adanya dugaan pelanggaran terhadap prinsip peradilan yang jujur dan efektif (fair trial) dalam penegakan hukum. Aparat keamanan yang dikerahkan ke Tanah Papua seharusnya mengutamakan proses hukum yang adil, imparsial dan akuntabel sesuai dengan prinsip fair trial sebagaimana diatur dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005.

Perlu kami tekankan kembali bahwasanya sejak tahun 1998, Papua sudah tidak berstatus sebagai daerah operasi militer. Lebih lanjut, dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menyatakan bahwa pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang dilakukan oleh prajurit TNI, termasuk dalam hal ini penanganan separatisme dan perbantuan terhadap kepolisian, harus didasarkan pada Keputusan Politik Negara, atau dalam hal ini keputusan yang dikonsultasikan kepada DPR RI. Sehingga kami menilai bahwa tindakan Pemerintah dalam penerjunan aparat militer di tanah Cendrawasih merupakan tindakan yang ilegal, dikarenakan hingga sampai saat ini Pemerintah tidak pernah mengeluarkan kebijakan ataupun keputusan politik terkait hal tersebut.

Saat ini ekses dari konflik TNI vs TPNPB-OPM di Kisor, Maybrat pada akhir 2021 yang menyebabkan ribuan warga mengungsi juga belum sepenuhnya tuntas, ditambah dengan beberapa kasus yang menyebabkan warga sipil menjadi korban belakangan ini membuat terus diperbaharuinya operasi militer di Tanah Papua seperti halnya yang dilakukan oleh Panglima TNI dengan membentuk Komando Operasi Habema dikhawatirkan justru meningkatkan eskalasi konflik serta ketegangan sosial dan berpotensi menambah jumlah korban baik dari kalangan militer maupun sipil. Untuk itu, pendekatan damai dan dialogis perlu dijadikan prioritas dibandingkan dengan pendekatan militer.

Para korban, akibat tindakan aparat, kini seharusnya mendapatkan reparasi atau pemulihan atas kerugian yang telah mereka terima, begitupun para keluarga korban yang meninggal dunia. Polri dan TNI juga harus secara serius melakukan penyidikan dan upaya hukum kepada anggotanya yang telah melakukan penembakan hingga mengakibatkan warga sipil terluka dan meninggal dunia serta tidak ragu untuk memberikan sanksi kepada pelaku melalui mekanisme peradilan pidana dan sanksi etik. Hal tersebut dilakukan untuk menjamin peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap warga sipil di Tanah Papua tidak terus-menerus berulang.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami mendesak:

Pertama, Pemerintah Indonesia khususnya Presiden untuk menghentikan sementara penerjunan prajurit militer serta melakukan evaluasi total terhadap operasi militer dan operasi keamanan yang dijalankan di Tanah Papua;

Kedua, Panglima TNI untuk mengkaji ulang penerjunan pasukan dan pendekatan militer yang digunakan di Papua serta melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap anggota TNI yang menyebabkan jatuhnya korban dari pihak warga sipil Papua. Unsur TNI harus mendorong adanya pola-pola humanis dan mengedepankan aspek Hak Asasi Manusia agar tidak terjadi kejahatan kemanusiaan di Papua ;

Ketiga, Kapolri untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap korban tewas dan korban luka dan menempuh mekanisme etik dan pidana kepada anggota Polri yang terbukti melakukan pelanggaran HAM dan tindak pidana terhadap warga sipil di Tanah Papua.

Keempat, Komnas HAM untuk segera melakukan investigasi secara independen dan imparsial atas seluruh dugaan tindak kekerasan, penyiksaan, dan dugaan pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di Papua;

Jakarta, 4 Maret 2024

Koalisi Masyarakat Sipil

  1. Dimas Bagus Arya – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  2. Ambrosius Mulait – Pusaka Bentala Rakyat
  3. Arif Maulana – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  4. Ika Mulait – Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
  5. Pendeta Ronald – Biro Papua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI)

Narahubung: 0896 5158 1587

klik disini untuk melihat dokumen selengkapnya

Lihat, CNN Indonesia, TNI Bentuk Koops Habema Untuk Tangani Konflik di Papua
Lihat, Kontras, Hentikan Segera Semua Bentuk Pendekatan Militeristik: Penolakan Warga Atas Pertambangan di Blok Wabu Menelan Korban Jiwa

Maret 4, 2024

Kekerasan Di Papua Tidak Berhenti: Urgensi dalam Evaluasi Pendekatan Keamanan

Komisi Untuk Orang […]
Maret 3, 2024

Pernyataan Sikap Koalisi Masyarakat Sipil untuk Dukungan Kemanusiaan Palestina: Genosida Berlanjut, Dukungan untuk Palestina Tidak Boleh Surut!

Pada 3 Maret […]
Februari 27, 2024

Tolak Tanda Kehormatan dan Adili Para Jenderal Penjahat Kemanusiaan

Pada 28 Februari […]
Februari 25, 2024

Merespon Situasi di Yahukimo, Papua: Segera Hentikan Pendekatan Militeristik dan Lindungi Hak Anak!

Komisi untuk Orang […]
Februari 23, 2024

Temuan Awal ICW dan KontraS terkait Pemilu 2024: Penuh Kekacauan, Gelaran Pemilu Terburuk Sejak Era Reformasi

23 Februari 2024 […]
Februari 22, 2024

ICW dan KontraS Kirim Surat KIP ke KPU, Tagih Transparansi dan Akuntabilitas Penyelenggaraan Pemilu

22 Februari 2024 […]
Februari 21, 2024

PTUN Jakarta Kuatkan Putusan Komisi Informasi Pusat: Negara Harus Ungkap Alasan Pemberian Tanda Kehormatan Bintang Jasa terhadap Terduga Pelaku Kejahatan HAM Timor Timur!

Rabu, 20 Februari […]
Februari 21, 2024

Sidang Pembacaan Eksepsi 20 Februari 2024

KOALISI NASIONAL MASYARAKAT […]
Februari 19, 2024

#USUTTUNTAS Tragedi Kanjuruhan: Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan dan Koalisi Masyarakat Sipil Somasi Kementerian PUPR untuk Menghentikan Proses Renovasi Stadion Kanjuruhan

Jakarta, 16 Februari […]
Februari 19, 2024

Pelanggaran HAM Terus Diulang: Rentetan Peristiwa Kekerasan Kepolisian Pada Awal 2024, Menyebabkan Warga Sipil Menjadi Korban

Komisi Untuk Orang […]