Komisi Untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam peristiwa keji yang baru-baru ini terjadi di Mimika, Papua. Diketahui, pada 22 Agustus 2022, terdapat 4 (empat) warga sipil menjadi korban mutilasi yang diduga dilakukan oleh 6 (enam) prajurit TNI dari kesatuan Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo dengan melibatkan 4 (empat) warga sipil.

Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniel Nirigi, dan Atis Tini diduga dibunuh dan dimutilasi menjadi beberapa bagian,sebelum dimasukkan ke dalam karung dan dibuang ke Sungai Pigapu, Distrik Iwaka. Lalu, dalam proses pencarian awal seluruh jenazah yang dilakukan oleh keluarga korban, tidak ada satupun aparat kepolisian yang terlibat untuk turut mendampingi keluarga korban meskipun pihak keluarga sebelumnya telah meminta kepada Polres Mimika untuk melakukan pencarian bersama. Bahkan, ketika jenazah korban ditemukan, keluarga korban sempat tidak diberikan akses untuk melihat kondisi jenazah.

Melalui peristiwa ini, tentunya memperlihatkan bahwa lagi-lagi kesewenang-wenangan militer terjadi akibat pendekatan militeristik oleh pemerintah dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua, dan pada akhirnya menyebabkan pelanggaran ham yang sangat fundamental yakni hak untuk hidup dalam kasus ini, yang sesungguhnya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pelanggaran instrumen yang kami maksud mulai dari Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia hingga Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

Oleh karena itu, maka sudah sepatutnya para pelaku dapat diproses dan diadili melalui mekanisme peradilan umum, bukan peradilan militer. Sebab tindakan para terduga pelaku merupakan pelanggaran hukum pidana. Apabila proses hukum melalui mekanisme peradilan militer terhadap sejumlah prajurit TNI tetap dilaksanakan, maka menurut kami akan memberikan ruang ketidakadilan bagi keluarga korban. Sebab selama ini proses peradilan militer cenderung tertutup dan kerap kali terjadi praktik impunitas. 

Misalnya saja beberapa kasus yang terjadi di Intan Jaya, ada kasus penembakan terhadap Pendeta Yeremia dan kasus penghilangan secara paksa serta pembunuhan terhadap Luther Zanambani dan Apinus Zanambani maupun Sem Kobogau. Hingga saat ini, belum diketahui secara pasti perkembangan kasus tersebut, apakah para pelakunya sudah diadili atau tidak. 

Berkaitan dengan proses hukum yang sedang berjalan, kami mendorong pemeriksaan yang akan dilakukan harus dapat diarahkan juga kepada komandan kesatuan Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo, mengingat dalam institusi militer dikenal adanya pertanggungjawaban komando. Selain itu, kami juga mendesak agar proses hukum tersebut dilakukan secara terbuka dengan memberikan akses seluas-luasnya bagi keluarga korban.

Berdasarkan berbagai informasi dan penjelasan kami di atas, maka kami mendesak:

Pertama, Presiden menghentikan pendekatan militeristik dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua. Sebab pendekatan keamanan terbukti tidak berhasil dalam menyelesaikan masalah dan justru berakibat pada masifnya berbagai peristiwa pelanggaran HAM;

Kedua, Polda Papua segera melakukan proses penyelidikan dan penyidikan dalam peristiwa ini secara tuntas, tidak terkecuali kepada para prajurit TNI yang terlibat. Serta memberikan akses hukum dan informasi seluas-luasnya kepada keluarga korban terkait proses hukum yang sedang berjalan;

Ketiga, Panglima TNI segera memberhentikan secara tidak hormat kepada seluruh prajurit TNI yang diduga terlibat dalam peristiwa keji ini. Lalu kami juga mendesak kepada Panglima TNI, untuk memberikan informasi perkembangan kasus terkait kasus penembakan terhadap Pendeta Yeremia dan kasus penghilangan secara paksa serta pembunuhan terhadap Luther Zanambani dan Apinus Zanambani maupun Sem Kobogau;

Keempat, Komnas HAM melakukan investigasi secara mendalam atas dugaan pelanggaran HAM yang terjadi berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lebih lanjut, kami mendorong hasil dari pendalaman atau investigasi yang dilakukan dapat diungkap kepada publik.

 

Jakarta, 2 September 2022

Fatia Maulidiyanti, S.IP
Koordinator

Narahubung: 0895-7010-27221

September 2, 2022

Ungkap dan Adili Kasus Dugaan Pembunuhan Disertai Mutilasi yang Melibatkan Prajurit TNI Dari Kesatuan Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo dan Warga Sipil di Mimika, Papua!

Komisi Untuk orang […]
September 2, 2022

Mendagri Tito Karnavian Jangan Membangkang dari Tindakan Korektif Ombudsman Republik Indonesia!

Komisi untuk Orang […]
September 1, 2022

Pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia terkait Pre-Session 4th Cycle of Universal Periodic Review (UPR)

Dalam Pre-Session Universal […]
Agustus 31, 2022

Kompilasi Laporan Bayangan Organisasi Masyarakat Sipil untuk Universal Periodic Review 4th Cycle Indonesia

Pada Maret 2022, […]
Agustus 30, 2022

Status Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa di Hari Penghilangan Paksa

Sekarang pengesahan Konvensi […]
Agustus 30, 2022

Penyusunan R-KUHP Butuh Banyak Masukan, Bukan Sosialisasi dengan Ketakutan!

Komisi untuk Orang […]
Agustus 23, 2022

KICK OFF RKUHP: Partisipasi Formalistik, Tanpa Mendengar Masukan Publik

Aliansi Nasional RKUHP […]
Agustus 17, 2022

Presiden Harus Cabut dan Batalkan Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

“Penyelesaian pelanggaran HAM […]
Agustus 12, 2022

Surat Terbuka Komite Aksi Solidaritas Untuk Kasus Munir

Perihal : Surat […]
Agustus 10, 2022

Respon KontraS Pasca Penetapan Ferdy Sambo sebagai Tersangka: Usut Semua yang Terlibat dan Benahi Sistem Pengawasan Polri Secara Menyeluruh!

Komisi untuk Orang […]