Sidang perdana perkara Pelanggaran HAM Berat Paniai dengan nomor perkara 1/Pid.Sus-HAM/2022/PN.Mks akan digelar pada Rabu, 21 September 2022, di Pengadilan Negeri (PN) Makassar untuk mengadili satu orang terdakwa bernama Isak Sattu, yang saat terjadinya peristiwa bertugas sebagai Perwira Penghubung Komando Distrik Militer (Kodim) 1705/Paniai untuk dimintai pertanggungjawaban. Padahal, peristiwa Paniai yang terjadi di tanggal 7-8 Desember 2014 telah memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan, dengan element of crimes adanya tindakan pembunuhan dan penganiayaan lewat serangan yang bersifat sistematis atau meluas yang dilakukan oleh aparat gabungan TNI-POLRI, di mana dengan unsur kebijakan Negara dan pengerahan kekuatan yang berskala besar niscaya dapat terjadi dengan keterlibatan berbagai aktor, mulai dari pemegang komando teratas sampai pelaku lapangan terbawah. Dakwaan yang dilansir Kejaksaan Agung dengan hanya mengungkap satu orang terdakwa jelas menunjukan wajah ketidakmampuan sekaligus ketidakmauan untuk mengusut tuntas serta menyeret aktor yang terlibat dalam Peristiwa Paniai yang menewaskan setidaknya 4 orang dan 21 orang luka-luka. Bisa jadi, terdakwa IS hanya dijadikan “kambing hitam” dan Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai hanya gimmick sebagai bahan pencitraan Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang belum melaksanakan janji dan tanggung jawabnya menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia. Lantas, berdasar pada buruknya modalitas dari proses penyidikan kemudian membuat publik, juga para penyintas dan keluarga korban bertanya-tanya mampukah pengadilan memberikan rasa keadilan sesuai dengan irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”?
Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014 yang terdiri dari gabungan organisasi masyarakat sipil baik yang berada di Jakarta, Makassar maupun Papua memberikan perhatian serius terhadap jalannya proses penuntasan kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai. Pasalnya, proses ini menjadi penting guna melihat sejauh mana Negara memiliki tekad untuk menghentikan impunitas bagi para pelaku Pelanggaran HAM di Papua. Lebih lanjut, dari berbagai keganjilan proses Penyidikan, keluarga korban menyangsikan bahwa keadilan akan benar-benar ditegakkan secara substansial. Keluarga korban pun menilai jikalau persidangan Pengadilan HAM nantinya hanya akan menjadi proses pengadilan sandiwara atau pencitraan. Selain tidak dilibatkan secara berarti, keluarga korban menilai penyidikan Jaksa Agung dianggap tidak sesuai fakta lapangan, dimana korban tewas dan mengalami luka-luka akibat penganiayaan terjadi setidaknya pada tiga lokasi berbeda, yang melibatkan lebih dari satu orang penembak dan tindakan kekerasan secara massal oleh Aparat Keamanan. Khawatirnya, kesaksian dari saksi dan korban yang akan dihadirkan dalam persidangan diduga akan diwarnai dengan sandiwara dan kebohongan semata karena selama proses penyidikan bergulir, saksi-saksi yang diperiksa oleh Jaksa Agung tidaklah berasal dari saksi-korban. Penilaian tersebut juga diperkuat dengan memori buruk berdasarkan pengalaman proses Pengadilan HAM untuk perkara Timor-Timur 1999, Tanjung Priok 1984, dan Abepura 2000, setiap pelaku yang didakwa nyatanya memperoleh vonis bebas, baik sejak Tingkat Pertama hingga Kasasi maupun Peninjauan Kembali, yang kemudian mendorong keluarga korban memilih untuk tidak terlibat dan mundur dari proses persidangan yang diduga akan jauh dari kata keadilan.
Dalam pernyataan sikapnya, keluarga korban 4 anak yang tewas dan 17 korban luka-luka secara tegas menyatakan menolak terlibat dalam setiap proses persidangan yang akan digelar di Pengadilan Negeri Makassar. Keluarga korban yang menyampaikan kekhawatiran dan posisi atas proses hukum ini merupakan akumulasi dari buruknya penanganan situasi dan kondisi mereka yang telah proaktif menyampaikan alat bukti yang ditemukan beserta kesaksian yang seharusnya dianggap penting untuk ditindaklanjuti oleh penegakan hukum yang baru dilakukan setelah hampir delapan tahun jeda dari waktu kejadian. Terlebih, perkara ini akan diadili pada Pengadilan HAM di Makassar, keengganan Negara membentuk Pengadilan HAM di Papua terang menunjukan ketidakseriusan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang terus terjadi di Tanah Cenderawasih. Harapannya, dengan melalui Pengadilan HAM dapat menjamin terpenuhinya keadilan dan hak lainnya secara utuh bagi para korban dan publik secara umum. Jangan sampai kehadiran Pengadilan HAM Paniai justru berpotensi menghadirkan fiktif trail dan menjadi preseden atau bahkan legitimasi sebagai ajang pencucian dosa bagi terduga pelaku pelanggar HAM yang terus melanggengkan praktik impunitas di Indonesia.
Berangkat dari pelbagai keresahan tersebut, nasib keluarga korban yang telah terkatung-katung selama hampir genap 8 tahun tanpa kepastian hukum, kini akan ditentukan pada proses persidangan dalam Pengadilan HAM Paniai yang kemudian dimanifestasikan dalam kerja-kerja hakim yang seyogyanya harus menjunjung tinggi nilai keadilan dan ketuhanan yang maha esa dengan memperhatikan hukum dan keadilan secara substantif, jujur, transparan dan bersih dari kepentingan-kepentingan tertentu. Pengadilan HAM Paniai yang akan digelar mulai tanggal 21 September 2022 sampai beberapa waktu kedepan akan menjadi barometer keseriusan Negara untuk dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat lainnya di Indonesia, khususnya di Tanah Papua. Mengingat Pelanggaran HAM Berat yang terjadi di Indonesia paling banyak terjadi di Papua, mulai peristiwa Abepura, Wamena, Wasior hingga Paniai, yang diakibatkan dari dampak operasi militer ilegal yang masih diberlakukan hingga sekarang. Oleh karena itu, pengawasan dalam persidangan Paniai semestinya tidak hanya menjadi atensi keluarga korban dan publik secara umum melainkan perlu atensi serius dari stakeholder terkait seperti Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial dengan tujuan untuk menjaga independensi hakim dalam mengadili maupun memutus perkara supaya melalui pengadilan ini dapat menghadirkan rasa keadilan. Dalam hal ini, pengawasan dan pemantauan dalam persidangan menjadi kewenangan Komisi Yudisial. Pemantauan persidangan ditujukan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana termaktub dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a UU Nomor 18 Tahun 2011. Tak hanya sebatas pemantauan secara kode etik, Komisi Yudisial juga perlu melakukan pemantauan secara substantif guna mendorong Pengadilan HAM untuk mampu mengungkap kebenaran dan keadilan dari tahapan penyidikan Kejaksaan Agung yang mengecewakan. Dengan demikian, Hakim dapat berperan sebagai corong keadilan bagi keluarga korban dan memastikan pengadilan dapat menjadi saluran untuk menghentikan impunitas pelanggaran HAM Berat dan memperhatikan instrumen hukum dan HAM diterapkan secara efektif.
Berdasarkan uraian terkait dengan proses hukum yang telah berjalan dan sikap keluarga korban, serta mengingat persidangan akan tetap berlangsung di PN Makassar, masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014 menyatakan sikap sebagai berikut:
Jakarta, 20 September 2020
KOALISI MASYARAKAT SIPIL PEMANTAU PANIAI 2014
Narahubung: