Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mengecam pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang mewacanakan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) demi mengatur penempatan tentara di jabatan-jabatan kementerian. Usulan ini sangat problematis, sebab kontraproduktif terhadap semangat profesionalisme militer yang mengamanatkan agar TNI fokus pada tugas pertahanan sebagaimana perintah konstitusi. Selain itu, ditempatkannya TNI pada kementerian atau jabatan sipil lainnya menunjukkan bahwa agenda pengembalian nilai orde baru semakin terang-terangan dilakukan.

Kami melihat bahwa upaya penempatan TNI pada jabatan sipil lagi-lagi menunjukan kegagalan manajerial dalam mengidentifikasi masalah di tubuh institusi. Selama bertahun-tahun TNI terjebak dalam wacana penempatan perwira aktif di berbagai jabatan sipil. Hal tersebut terus dilakukan sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan berbagai masalah institusi seperti halnya menumpuknya jumlah perwira non-job. Alih-alih melakukan evaluasi mendalam dan menyasar pada akar masalah, wacana untuk membuka keran dwifungsi TNI terus diproduksi. 

Kami mengkhawatirkan bahwa diperkenankannya TNI menempati jabatan sipil, salah satunya di kementerian akan menciptakan ketidakprofesionalan khususnya dalam penentuan  jabatan.  Sebab, mekanisme bukan lagi berfokus pada kualitas seseorang dalam kerangka sistem merit, melainkan berdasarkan kedekatan atau ‘power’ yang dimiliki. Belum lagi beberapa menteri yang menghuni kabinet Presiden Joko Widodo memiliki latar belakang militer, sehingga akan berpotensi besar melahirkan konflik kepentingan.  

Lebih jauh, kami melihat terdapat sejumlah permasalahan manajerial yang terjadi di tubuh TNI sejak 2019, yakni saat Panglima sebelumnya yakni Marsekal Hadi Tjahjanto mengungkap bahwa terdapat 500 perwira TNI tidak dalam tugas. Sayangnya, langkah atau solusi yang ditawarkan selalu menempatkan TNI pada jabatan sipil. Kuat dugaan bahwa pada praktiknya hanya berujung pada bag-bagi jabatan, tanpa memperhatikan kebutuhan. 

Di sisi lain, membludaknya prajurit non-job justru disertai dengan bertambah besarnya jumlah pasukan TNI khususnya Angkatan Darat (AD). Kami mengkhawatirkan bahwa seleksi besar-besaran tanpa pernah dibarengi oleh audit penerimaan hanya menambah rumit persoalan. Seiring berjalannya waktu jumlah jabatan akan terus mengerucut, sementara jumlah perwira tak berkurang. Hal ini pada akhirnya membuat posisi yang tersedia tidak akan cukup mengakomodir seluruh jumlah TNI aktif. Belum lagi permasalahan vetting mechanism yang menjadi ukuran jenjang kenaikan pangkat sampai saat ini belum jelas. 

Adapun penempatan TNI pada berbagai jabatan sipil justru semakin menghambat tercapainya agenda reformasi sektor keamanan. Negara seharusnya dapat memperbaiki penerimaan anggota TNI dan memperbaiki struktur pos kemiliteran dibanding menempatkan pada posisi sipil tertentu. Selain itu, implikasi lain yang kemungkinan besar timbul adalah kebijakan yang dilahirkan bukan lagi untuk mensejahterakan rakyat, melainkan hanya untuk kepentingan tertentu. Hal tersebut mengingat sejak awal berbagai norma sudah dilanggar, utamanya terkait UU TNI. 

“Usulan dari LBP juga menunjukkan bahwa ternyata negara mendiamkan pikiran dan semangat otoritarianisme Orde Baru di tataran pejabatnya. Penting bagi presiden untuk menegur sekaligus ‘membersihkan’ para pejabat dari pikiran semacam ini agar bisa fokus untuk menyejahterakan masyarakat dan melunasi janji yang sampai saat ini belum berhasil dituntaskan.” Ujar Rivanlee Anadar, Wakil Koordinator KontraS.

Atas dasar tersebut KontraS mendesak:

Pertama, Presiden untuk menegur dan menertibkan pejabat yang terus mengeluarkan pernyataan untuk mengembalikan dwi fungsi TNI;

Kedua, Pejabat dalam pemerintahan untuk menghentikan segala bentuk upaya mengembalikan jabatan TNI di ranah sipil;

Ketiga, TNI untuk tetap profesional dan fokus pada tugasnya sebagaimana diamanatkan konstitusi dan UU TNI. 

 

Senin, 8 Agustus 2022
Badan Pekerja KontraS

 

Fatia Maulidiyanti
Koordinator

Agustus 8, 2022

Wacana Penempatan TNI di Kementerian: Merusak Profesionalisme Institusi dan Pengangkangan Agenda Reformasi

Komisi untuk Orang […]
Juli 29, 2022

Kwitangologi #IX : Menolak Kekerasan, Merawat Kebebasan!

Dalam rangka menyambut […]
Juli 29, 2022

Buku #MenolakKalah : Merebut Kembali Ruang Kebebasan Sipil

Komisi untuk Orang […]
Juli 27, 2022

Kebrutalan Junta Makin Menjadi: 4 Aktivis Di Eksekusi Mati

Kami yang bertanda […]
Juli 27, 2022

Instruksi Tembak di Tempat Melegalisasi Kesewenang-Wenangan dalam Penggunaan Senjata Api

Komisi Untuk Orang […]
Juli 26, 2022

Hasil Seleksi Hakim Ad Hoc Pengadilan HAM 2022: Mahkamah Agung Harus Persiapkan Hakim Pengadilan HAM Dengan Maksimal

Menyikapi pengumuman Hakim […]
Juli 22, 2022

Hari Bhakti Adhyaksa Ke-62: Peristiwa Paniai Hanya Ada 1 Terdakwa dan Penyidikan yang Mengecewakan Warga +62

Dalam rangka Hari […]
Juli 19, 2022

Terbukti Maladministrasi, Menteri Dalam Negeri Mesti Benahi Proses Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah

Komisi untuk Orang […]
Juli 15, 2022

Surat Terbuka untuk Mahkamah Agung Menggelar Pengadilan HAM Peristiwa Paniai dengan Berkualitas

Nomor : 22/SK-KontraS/VII/2022 […]
Juli 15, 2022

Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi Evaluasi Penanganan Peristiwa Paniai

Nomor : 23/SK-KontraS/VII/2022 […]