Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam insruksi pimpinan Kepolisian untuk mengambil tindakan tembak di tempat terhadap pelaku kriminal. Terbaru, Kapolresta Tangerang, Kombes Raden Romdhon Natakusuma memerintahkan jajarannya untuk tidak sungkan menembak pelaku begal dan pencurian yang menggunakan kekerasan. Kami melihat bahwa langkah tersebut merupakan tindakan reaktif dan berbahaya. Sebab, berpotensi melegalisasi kesewenangan aparat dalam menggunakan senjata api serta memasifkan penggunaan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force)

Sebelumnya, Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Suntana juga mengeluarkan instruksi untuk menembak mati pelaku begal dan geng motor. Alasannya pun seragam, yakni untuk menjaga keamanan dan menindak perilaku kriminal. Kami mafhum bahwa tindakan begal meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Akan tetapi proses penanganannya harus dijalankan sesuai dengan mekanisme hukum yang ada dan tunduk pada penghormatan hak asasi manusia. 

Kami melihat pernyataan Kapolres Tangerang sebagai buah dari instruksi beberapa Kapolda sebelumnya yang dibiarkan oleh Kapolri. Hal semacam ini seharusnya menjadi perhatian serius agar tidak terjadi kesewenang-wenangan, utamanya bagi tindakan yang berkenaan dengan hak hidup. Kami mengkhawatirkan bahwa instruksi atau perintah tersebut akan menjadi preseden buruk dan terus berlanjut di berbagai daerah di Indonesia. Pimpinan satuan tingkatan baik Polda maupun Polres akan dengan mudahnya mengeluarkan pernyataan reaktif serta tidak memikirkan dampak selanjutnya. Belum lagi, angka salah tangkap masih terbilang tinggi sehingga akan merugikan korban sipil yang tak bersalah. 

Penggunaan senjata api yang sewenang-wenang misalnya terlihat pada kasus penembakan Brigadir J yang diduga terjadi pada rumah dinas Kadiv Propam, Ferdi Sambo. Siapapun yang bersalah tidak bisa ditembak dengan berbagai dalih seperti penggunaan diskresi, melainkan harus melewati mekanisme hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.  

Penggunaan senjata api oleh kepolisian haruslah berdasar prinsip legalitas, proporsionalitas, preventif dan masuk akal (reasonable) sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Berdasarkan Pasal 5 Perkap tersebut juga disebutkan bahwa tahapan penggunaan senjata utamanya untuk melumpuhkan pelaku kejahatan atau tersangka. Sehingga, keputusan anggota Polisi di lapangan tidak bisa serta merta bertujuan untuk mematikan.

Selain itu, dunia Internasional juga telah menggariskan beberapa standar dalam hal penggunaan senjata api guna tetap melindungi hak hidup dan hak atas rasa aman. Sebagai contoh, dalam Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials disebutkan bahwa penggunaan senjata api yang tidak dapat dihindari, penegak hukum harus melakukan pengendalian diri dalam penggunaan dan tindakan tersebut secara proporsional dengan keseriusan pelanggaran dan tujuan sah yang ingin dicapai.

Kepolisian sebagai institusi penegakan hukum juga sebenarnya telah memiliki mekanisme deteksi dini sebagaimana yang dilakukan oleh bagian Intelkam.  Selain itu, Kepolisian juga memiliki sistem pengawalan reguler yang seharusnya dapat mengidentifikasi ancaman atau potensi tindak pidana yang dilakukan oleh masyarakat. Tingginya angka kriminalitas menandakan bahwa sistem yang dibangun Kepolisian tak berjalan efektif sebagaimana mestinya. 

Berdasarkan hal tersebut, kami mendesak berbagai pihak:

Pertama, Kapolri untuk menegur kinerja kepala satuan tingkatan di bawahnya agar tak mengeluarkan pernyataan yang berpotensi menaikkan eskalasi kekerasan di masyarakat. Selain itu, audit serta evaluasi secara menyeluruh terkait dengan pengerahan kekuatan aparat di lapangan juga harus dilakukan guna memastikan setiap langkah yang diambil telah berdasar HAM dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Kedua, Lembaga Pengawas Eksternal seperti Kompolnas, Komnas HAM RI dan Ombudsman RI agar menggunakan kewenangan sesuai mandat masing-masing lembaga untuk memantau tindakan dan langkah yang diambil Kepolisian agar dapat berjalan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

 

Jakarta, 26 Juli 2022

 

Fatia Maulidiyanti

Koordinator KontraS

Juli 27, 2022

Instruksi Tembak di Tempat Melegalisasi Kesewenang-Wenangan dalam Penggunaan Senjata Api

Komisi Untuk Orang […]
Juli 26, 2022

Hasil Seleksi Hakim Ad Hoc Pengadilan HAM 2022: Mahkamah Agung Harus Persiapkan Hakim Pengadilan HAM Dengan Maksimal

Menyikapi pengumuman Hakim […]
Juli 22, 2022

Hari Bhakti Adhyaksa Ke-62: Peristiwa Paniai Hanya Ada 1 Terdakwa dan Penyidikan yang Mengecewakan Warga +62

Dalam rangka Hari […]
Juli 19, 2022

Terbukti Maladministrasi, Menteri Dalam Negeri Mesti Benahi Proses Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah

Komisi untuk Orang […]
Juli 15, 2022

Surat Terbuka untuk Mahkamah Agung Menggelar Pengadilan HAM Peristiwa Paniai dengan Berkualitas

Nomor : 22/SK-KontraS/VII/2022 […]
Juli 15, 2022

Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi Evaluasi Penanganan Peristiwa Paniai

Nomor : 23/SK-KontraS/VII/2022 […]
Juli 14, 2022

Pengusutan Kasus Kematian Brigadir J Harus Independen, Transparan, dan Akuntabel!

Komisi untuk Orang […]
Juli 13, 2022

Surat Terbuka: Usut Tuntas Tragedi Kekerasan dan Penembakan Terhadap Sejumlah Peserta Aksi Tolak DOB di Yahukimo, Papua.

Nomor: 14/SK-KontraS/VII/2022 Perihal: […]
Juli 12, 2022

Pengawalan Alat Berat Bor Tambang Milik PT. Tambang Mas Sangihe (TMS) Oleh Anggota Polres Kepulauan Sangihe dan Polsek Tabukan Selatan Adalah Pelanggaran Kode Etik Profesi

Jakarta, 12 Juli […]
Juli 12, 2022

Jalan Panjang Warga Lindungi Sangihe dari Kepungan Tambang

Jakarta, 12 Juli […]