Negara sebagai Aktor Utama di Balik Berlanjutnya Praktik Penyiksaan

Dalam rangka memperingati Hari Dukungan bagi Korban Penyiksaan Sedunia 2022, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) secara konsisten mengeluarkan laporan terkait kondisi penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Peluncuran laporan ini merupakan upaya masyarakat sipil untuk mendorong penghapusan praktik-praktik penyiksaan dan tindakan kejam lainnya. Selain itu, KontraS ingin memberikan gambaran pada publik dan stakeholders, berkaitan dengan riset maupun advokasi KontraS yang menyasar pada situasi penyiksaan dalam periode Juni 2021 – Mei 2022.

Secara umum, KontraS menemukan praktik penyiksaan masih terus berlangsung hingga saat ini. Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan nyatanya tidak dibarengi oleh keseriusan Negara yang semakin menunjukkan minimnya komitmen negara dalam upaya menghapus praktik penyiksaan di Indonesia. Ketidakseriusan Negara untuk menghapus praktik penyiksaan di Indonesia juga terlihat dari tidak adanya perhatian khusus terkait upaya ratifikasi OPCAT.

Berdasarkan data pemantauan yang dihimpun melalui kanal media informasi, advokasi, serta jaringan-jaringan KontraS di daerah terkait dengan peristiwa penyiksaan, perlakuan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Selama periode Juni 2021 – Mei 2022, setidaknya terdapat 50 kasus penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia telah terjadi di Indonesia. Angka tersebut tentu saja tidak menutup kemungkinan adanya jumlah kasus riil yang lebih besar. Berdasarkan 50 kasus penyiksaan yang tercatat oleh KontraS tersebut, Kepolisian masih menjadi aktor utama dalam kasus-kasus penyiksaan, yakni sebanyak 31 kasus, dilanjutkan dengan TNI (AD, AL, AU) dengan 13 kasus dan sipir sebanyak 6 kasus. Adapun sejumlah kasus penyiksaan tersebut telah menimbulkan sebanyak 144 korban dengan rincian 126 korban luka-luka dan 18 tewas. Tidak hanya berhenti pada kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aktor negara, KontraS juga menyoroti adanya pola keterlibatan baru aktor sipil sebagai pelaku tindak penyiksaan yang dapat dilihat secara langsung dalam kasus Kerangkeng Langkat. Selain itu, KontraS menyoroti bahwa masih berjalannya praktik penghukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia yang masih berlangsung, setidaknya kami mencatat adanya 40 kali eksekusi cambuk yang terjadi di Provinsi Aceh.

Beberapa peristiwa diatas memperlihatkan adanya ketidakkonsistenan, serta ketidakseriusan pemerintah dalam upaya untuk mengakhiri praktik penyiksaan. Kami menilai bahwa selama satu tahun kebelakang, tidak ada komitmen dalam hal ini pemerintah bersama dengan DPR untuk menyegerakan pembentukan peraturan anti penyiksaan dalam kerangka pemajuan HAM. Selain itu, Kepolisian, TNI, Sipir masih menormalisasi tindakan penyiksaan dan tidak mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan maupun aturan internal institusi. Sehingga, kami menilai bahwa Negara merupakan aktor utama dibalik berlanjutnya praktik penyiksaan yang terjadi di Indonesia.

Berangkat dari beberapa kondisi di atas, KontraS secara spesifik merekomendasikan beberapa hal di antaranya:

Pertama, dalam ranah regulasi, lembaga yang memiliki otoritas yakni DPR dan Pemerintah harus menghadirkan peraturan perundang-undangan yang produktif dalam mencegah dan mengantisipasi praktik-praktik penyiksaan. Lebih spesifik, OPCAT harus segera diratifikasi demi melegitimasi hadirnya mekanisme NPM serta mematuhi rekomendasi pada Universal Periodic Review. Selain itu, DPR dan Pemerintah juga harus segera mempersiapkan revisi ketentuan KUHAP yang selama ini masih membuka ruang penyiksaan bagi aparat penegak hukum dalam kerangka sistem peradilan pidana.

Kedua, masifnya angka penyiksaan menunjukkan perlunya memaksimalkan peran dan fungsi Institusi negara Independen yang memiliki mandat pengawasan, pemantauan, perlindungan dan pemulihan. Institusi seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai anggota Koalisi Untuk Penghapusan Penyiksaan (KuPP) harus memastikan adanya mekanisme administratif yang sangat ketat dan dapat diberlakukan sesuai dengan standar hukum HAM internasional.

Ketiga, melihat adanya pola-pola penyiksaan oleh negara yang cenderung berulang sehingga sudah saatnya institusi melakukan evaluasi secara menyeluruh dengan melibatkan pengawasan eksternal lembaga independen. Evaluasi secara menyeluruh harus disertai dengan adanya perbaikan dalam tubuh institusi pelaku penyiksaan. Institusi terkait seperti Polri, TNI dan Lembaga Pemasyarakatan harus memastikan anggotanya yang terlibat kasus penyiksaan harus diadili sesuai dengan hukum yang berlaku dan mekanisme hukum yang transparan serta dapat diakses oleh publik. Begitupun lembaga peradilan dan  penegak hukum harus mengadili kasus-kasus penyiksaan secara independen dan imparsial sesuai dengan mandat UNCAT.

Keempat, maraknya praktik penyiksaan menuntut upaya penindakan tegas pelaku penyiksaan melalui mekanisme yang transparan dan akuntabel. Negara memiliki kewajiban yang besar untuk memastikan bahwa tidak adanya praktik serupa terkait perdagangan orang, perbudakan modern, penyiksaan, dan beberapa permasalahan lainnya yang terangkum dalam kasus kerangkeng Langkat. Selain itu, Negara lewat LPSK harus segera mengambil langkah efektif dalam hal pemulihan hak pada korban.

Kelima, Negara sebagai duty bearers memiliki tanggung jawab untuk mendorong penyelesaian kasus HAM seadil-adilnya. Selain itu, penghukuman harus dipersepsikan sebagai upaya sistematik dan menyasar pada akar masalah. Komitmen dari Negara diperlukan untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah hukumnya.

Jakarta, 24 Juni 2022

Badan Pekerja KontraS

Fatia Maulidiyanti

 

Narahubung: 0812-5926-9754

Klik disini untuk melihat Laporan Penyiksaan selengkapnya

Juni 24, 2022

Situasi Praktik Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia di Indonesia Periode Juni 2021 – Mei 2022

Negara sebagai Aktor […]
Juni 24, 2022

Penembakan dan Penggunaan Kekuatan Berlebihan Terhadap Massa Aksi Tolak DOB di Yahukimo, Harus Diusut Secara Tuntas dan Transparan!

Komisi Untuk Orang […]
Juni 24, 2022

Laporan Situasi Praktik Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia di Indonesia Periode Juni 2021 – Mei 2022

“Negara sebagai Aktor […]
Juni 23, 2022

Aliansi Nasional RKUHP Menolak RKUHP Tanpa Partisipasi Bermakna (Meaningful Participation)

Pasca rapat dengar […]
Juni 17, 2022

PTUN Menolak Gugatan Perlawanan Pengangkatan Pangdam Jaya: Bukti TNI Kebal Hukum di Negara Hukum

Keluarga korban penghilangan […]
Juni 13, 2022

21 Tahun Peristiwa Wasior Berdarah: Bentuk Pengadilan HAM di Papua dan Akhiri Praktik Impunitas di Tanah Papua

Angka kekerasan cenderung […]
Juni 13, 2022

Menanti Komisioner yang Berani, Berintegritas dan Tanpa Kompromi

Komisi untuk Orang […]
Juni 10, 2022

Hakim PTUN Jakarta Harus Berani Menguji Keputusan Tata Usaha Militer di Pengadilan Tata Usaha Negara Demi Kepastian Hukum Para Korban Pelanggaran HAM

Sidang perlawanan dalam […]
Juni 6, 2022

Sudahi Stagnasi 13 Tahun, Hentikan Penghilangan Paksa Terjadi Lagi!

“Kak Ruth dan […]
Juni 3, 2022

Menolak Calon Bermasalah: Proses Pemilihan Calon Komisioner Komnas HAM Harus Profesional dan Kredibel!

Komisi Untuk Orang […]