Angka kekerasan cenderung meningkat dan berbanding terbalik dengan agenda penuntasan pelanggaran HAM di Papua. Begitu pula dengan nasib penuntasan kasus Pelanggaran HAM Berat yang terjadi di Papua, Kasus Wasior misalnya. Sudah 21 tahun lamanya, nasib para korban masih terkatung-katung tanpa adanya kepastian hukum. Peristiwa ini dipicu dari terbunuhnya 5 anggota Brimob dan 1 orang sipil di base camp perusahaan CV. Vatika Papuana Perkasa di Desa Wondiboi, Distrik Wasior pada 13 Juni 2001 silam dan kemudian sejumlah pasukan polisi diturunkan untuk mencari pelaku yang juga mengambil 6 pucuk senjata dari anggota Brimob yang tewas. Akibatnya, menurut Tim Ad Hoc Papua ada sebanyak 4 orang tewas, 39 orang mengalami penyiksaan, 1 orang diperkosa dan 5 diantaranya dihilangkan secara paksa. 

Pada tahun 2003, Komnas HAM telah menyelesaikan dan menyerahkan hasil penyelidikan pro justitia nya kepada Jaksa Agung. Namun lagi-lagi permasalahan klasik terjadi pada Jaksa Agung dengan alasan repetitifnya yang menyatakan belum terpenuhinya kelengkapan atau syarat-syarat suatu peristiwa dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan pelanggaran HAM berat, baik pada syarat formil maupun materiil. Padahal, dalam Sidang UPR (Universal Periodic Review) PBB yang diadakan di Jenewa pada 3 Mei 2017, Pemerintah Indonesia menjanjikan bahwa Kejaksaan Agung sedang mempersiapkan proses pengadilan di Pengadilan HAM di Makassar untuk memproses kasus Wasior-Wamena. Sudah tinggal hitungan bulan menjelang Sidang UPR pada akhir 2022 mendatang, kasus Wasior-Wamena masih stagnan dan belum terlihat sedikitpun progres bagi kasus ini untuk dibawa ke Pengadilan HAM sesuai dengan mandat UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM maupun UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua atau UU Otsus (UU No. 21/2001 yang telah direvisi melalui UU No. 2/2021). 

Pemerintah juga ingkar pada amanat UU Otsus. Terhitung sejak belasan tahun lamanya sejak UU Otsus diberlakukan, baru satu amanat yang terealisasikan yakni adanya perwakilan Komnas HAM saja. KKR Papua belum juga dibentuk, begitu pula dengan realisasi Pengadilan HAM di tanah Papua yang sampai saat ini sama sekali tak terlihat di Pengadilan Negeri manapun di Papua. Masalah itu jelas memperlihatkan ketidakseriusan Pemerintah yang selama ini hanya berhenti pada janji politik saja dan menjadikan penuntasan kasus pelanggaran HAM Berat di Papua sebagai alat diplomasi Pemerintah untuk meredam perhatian internasional terhadap situasi Papua. Dari kasus Pelanggaran HAM Berat yang telah diselidiki secara pro-justitia oleh Komnas HAM yang terjadi di Papua yaitu kasus Abepura (2000); Wasior-Wamena (2001 dan 2003); serta Paniai (2014), diantaranya baru satu kasus yang telah diadili pada 2004, itupun di Pengadilan HAM Makassar dan bukan di Papua, meskipun amanat Pengadilan HAM di Papua sudah diperintahkan sejak 2001. Begitu pula wacana pembentukan pengadilan HAM untuk kasus Paniai 2014 yang akan diadili di Makassar bukan di Tanah Papua. 

Di tengah praktik impunitas yang mengakar dan pola pelanggaran HAM yang terus berulang, masyarakat sipil, penyintas, dan keluarga korban pelanggaran HAM berat di Papua terus dibiarkan hidup dalam trauma dan ketidakadilan atas peristiwa berdarah yang tidak kunjung dituntaskan oleh Negara. Sementara itu, Pemerintah Pusat demi kepentingan politik dan ekonomi dengan semangat ultranasionalis turut memaksakan adanya pemekaran di Papua. Pemekaran Provinsi Papua tentu sangat berpotensi menambah daftar panjang kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua. Pasalnya, ketika dibuka daerah otonomi baru, maka akan bertambah pula kantor komando militer dan polisi di daerah yang condong pada pendekatan keamanan terhadap masyarakat di Papua. Berdasarkan hasil pemantauan KontraS dalam kurun waktu Januari-Mei 2022 telah terjadi 23 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh Polri, TNI maupun keduanya di Papua dengan didominasi oleh tindakan penembakan, penganiayaan, dan penangkapan sewenang-wenang. Puluhan peristiwa yang terdokumentasikan ini mengakibatkan kurang lebih 67 orang menjadi korban, baik korban luka, tewas, maupun ditangkap. Untuk itu, dalam momentum 21 tahun Peristiwa Wasior kami mendesak Presiden Joko Widodo untuk:

  1. Memerintahkan Jaksa Agung membentuk Tim Penyidik ad hoc untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan Peristiwa Wasior serta berbagai pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM sesuai mandat Pasal 21 ayat (3) UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM;
  2. Membentuk Pengadilan HAM di Papua;
  3. Menghentikan wacana pemekaran di Papua dan akhiri operasi militer, serta mengevaluasi pendekatan keamanan di Papua sebagai langkah awal untuk membangun dialog dan menyelesaikan konflik di Papua secara damai;
  4. Menjamin hak asasi orang asli Papua, termasuk hak hidup, hak untuk berekspresi, dan hak untuk berkumpul secara damai.

 

Jakarta, 13 Juni 2022

Badan Pekerja KontraS

 

Rivanlee Anandar

Wakil Koordinator

Juni 13, 2022

21 Tahun Peristiwa Wasior Berdarah: Bentuk Pengadilan HAM di Papua dan Akhiri Praktik Impunitas di Tanah Papua

Angka kekerasan cenderung […]
Juni 13, 2022

Menanti Komisioner yang Berani, Berintegritas dan Tanpa Kompromi

Komisi untuk Orang […]
Juni 10, 2022

Hakim PTUN Jakarta Harus Berani Menguji Keputusan Tata Usaha Militer di Pengadilan Tata Usaha Negara Demi Kepastian Hukum Para Korban Pelanggaran HAM

Sidang perlawanan dalam […]
Juni 6, 2022

Sudahi Stagnasi 13 Tahun, Hentikan Penghilangan Paksa Terjadi Lagi!

“Kak Ruth dan […]
Juni 3, 2022

Menolak Calon Bermasalah: Proses Pemilihan Calon Komisioner Komnas HAM Harus Profesional dan Kredibel!

Komisi Untuk Orang […]
Juni 3, 2022

Pelaporan Dugaan Maladministrasi Penentuan Penjabat Kepala Daerah oleh Menteri Dalam Negeri

Pada tanggal 3 […]
Juni 2, 2022

Instruksi Kapolda Jabar Berbahaya dan Berpotensi Besar Melanggar HAM

Komisi untuk Orang […]
Mei 27, 2022

Menolak Konflik Kepentingan dan Pembangkangan Hukum dalam Pemilihan Penjabat Kepala Daerah

Komisi untuk Orang […]
Mei 23, 2022

Pekan Penghilangan Paksa Internasional 2022: 13 Aktivis Masih Hilang, 13 Tahun Rekomendasi DPR Diabaikan

Frasa “penghilangan paksa” […]
Mei 12, 2022

Myanmar: Blok regional harus bergerak melampaui konsensus ASEAN yang gagal

Setelah satu tahun […]