24 Maret adalah peringatan International Day for the Right to the Truth concerning Gross Human Rights Violations and for the Dignity of Victims (Hari Internasional untuk Hak Atas Kebenaran dan Martabat Korban Pelanggaran Berat HAM), atau yang dikenal dengan ‘Hari Kebenaran Internasional’. Peringatan hari kebenaran internasional ini berawal dari terbunuhnya Uskup Agung El Salvador bernama Oscar Arnulfo Romero, pada 24 Maret 1980. Ia dikenal sebagai pemuka agama yang vokal menyuarakan tentang perjuangan melawan kemiskinan, ketidakadilan sosial, pembunuhan, dan penyiksaan di wilayah El Salvador. Berdasarkan temuan dari Komisi Kebenaran El Salvador, Uskup Oscar Arnulfo Romero dibunuh oleh Roberto D’Aubuisson, Pendiri Partai Sayap Kanan Nationalist Republican Alliance (ARENA) saat sedang memimpin ibadah.

Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) juga pernah dibentuk oleh pemerintah Indonesia dan Timor Leste pada tanggal 15 Juli 2008  dengan  mandat mengungkap kebenaran konklusif atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1999 baik lewat telaah atas mekanisme judisial dan non-judisial yang telah dilakukan sebelumnya. KKP secara resmi telah menerbitkan, membuka, serta menyerahkan laporan Per Memoriam ad Spem (Melalui Kenangan Menuju Harapan) kepada Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste. Laporan tersebut mengungkapkan fakta bahwa dalam periode 1975-1999, ratusan anak Timor-Leste dipindahkan secara paksa ke Indonesia. Anak-anak tersebut disebut sebagai Stolen Children. Hingga kini, masih banyak anak-anak dari keluarga Timor Leste yang menetap di Indonesia, kehilangan kontak dengan keluarga, mengalami perubahan identitas nama dan keyakinan. Sebagian kecil anak yang dinyatakan hilang kemudian berhasil dipertemukan dengan keluarga aslinya berkat inisiatif dari kelompok masyarakat sipil sebagai pendamping keluarga korban pelanggaran HAM berat Timor Leste.

Selain sebagai transparansi dan akuntabilitas, laporan tersebut juga merupakan upaya membuka kebenaran kepada publik. Laporan tersebut juga memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah kedua negara. Beberapa rekomendasi tersebut di antaranya adalah membentuk Komisi Orang Hilang, mempertemukan para stolen children yang terpisah dari keluarganya, pemulihan menyeluruh pada para korban dan keluarganya, dan reformasi institusi. Sayangnya, rekomendasi KKP ini sampai sekarang belum dilaksanakan oleh Indonesia maupun Timor Leste, termasuk soal pembentukan Komisi Orang Hilang yang salah satu fungsinya adalah mengungkap  kebenaran bagi korban dan keluarganya. Apa yang terjadi pada mereka yang hilang, jika masih hidup di mana tinggalnya, dan jika sudah meninggal di mana kuburnya.

Selain belum berhasil membentuk Komisi Orang Hilang berdasarkan rekomendasi KKP yang dituangkan dalam Perpres 72 Tahun 2011, Indonesia juga belum mencari korban yang hilang pada kasus penculikan periode 1997-1998, serta belum meratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Orang Secara Paksa (ICPED) yang sudah ditandatangani Indonesia pada tahun 2010. Padahal pencarian orang hilang dan ratifikasi konvensi ini sejalan dengan hasil rekomendasi Panitia Khusus (Pansus) DPR RI tahun 2009. Abainya Indonesia dalam mencegah keberulangan peristiwa penghilangan paksa lewat ratifikasi ICPED dan tidak dibentuknya Komisi Orang Hilang sesuai rekomendasi KKP dan Pansus DPR 2009 adalah contoh konkrit bahwa negara belum melakukan upaya korektif maupun preventif dari terjadinya tindak pidana penghilangan paksa maupun pelanggaran HAM berat lainnya. 

Pengungkapan kebenaran atas kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan aktor-aktor negara bukanlah hal yang baru. Baru-baru ini Belanda saja sudah mengakui dan melayangkan permintaan maaf atas kekerasan militer pasca Kemerdekaan Indonesia. El Salvador juga melakukan upaya pengungkapan kebenaran lewat Komisi Kebenaran El Salvador dan masih melakukan upaya-upaya reparasi pada keluarga korban hingga kini. Argentina dan Peru juga melakukan upaya yudisial dan non yudisial untuk pengungkapan kebenaran, reformasi institusi, dan pemulihan.

“jika pemulihan dan rekonsiliasi didahulukan tanpa mengungkapkan kebenaran, dikhawatirkan akan menyederhanakan masalah secara sepihak serta tak menjawab keutuhan cerita yang juga dihilangkan penguasa,” ujar wakil koordinator bidang eksternal KontraS, Rivanlee Anandar.

Ia melanjutkan, “Pengungkapan kebenaran tidak hanya memiliki peran untuk mengenali peristiwa pelanggaran HAM saja, melainkan juga sebuah upaya memberikan korban/komunitas korban untuk berbagi pengalaman secara terbuka, sehingga berkontribusi pada catatan publik dan narasi transformasional untuk masa depan.”

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas, Tioria Pretty menegaskan bahwa Laporan dari sebuah proses pengungkapan kebenaran harus dipertanggungjawabkan kepada publik dengan membukanya terlebih dahulu, “setelah laporan dipublikasikan secara meluas, barulah pemulihan menyeluruh yang menyertainya dapat dilakukan.”

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengingatkan pada pemerintah untuk dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat lewat mekanisme yang transparan, akuntabel, dan legal. Jika selama ini pemerintah sering membentuk tim penyelesaian pelanggaran HAM berat tanpa pengungkapan dan pelibatan korban tentang mekanisme yang ditempuh, maka di hari Kebenaran Internasional ini pemerintah perlu melihat secara jernih bahwa pemulihan dan rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran adalah bagian dari impunitas yang terus mengakar di negara ini. Oleh sebab itu, jika Indonesia memang peduli dengan HAM, maka ratifikasi konvensi internasional anti penghilangan paksa dan pembentukan Komisi Orang Hilang adalah hal yang wajib dilakukan negara dalam waktu dekat ini.

 

Jakarta, 24 Maret 2022

Badan Pekerja KontraS

Maret 24, 2022

Hari Hak Atas Kebenaran dan Martabat Korban Pelanggaran Berat HAM: Negara Harus Mendahulukan Hak Korban atas Pengungkapan Kebenaran Peristiwa

24 Maret adalah […]
Maret 24, 2022

Penggunaan Pasal 170 KUHP Terhadap Para Tersangka Kasus Alm. Hermanto Wujud Nyata Keberpihakan Polres Lubuklinggau Kepada Pelaku Penyiksaan!

Komisi Untuk Orang […]
Maret 23, 2022

Tim Advokasi untuk Demokrasi Siap Serahkan Bukti Riset Keterkaitan Luhut dengan Tambang di Intan Jaya

JAKARTA, 23 Maret […]
Maret 21, 2022

24 Tahun Pasca Reformasi, Kriminalisasi Makin Menghantui

Pada 21 Maret […]
Maret 20, 2022

Temuan dan Keganjilan Atas Proses Hukum Kasus Unlawful Killing Anggota Laskar FPI

Komisi Untuk Orang […]
Maret 19, 2022

Haris dan Fatia Korban Kriminalisasi Pejabat Publik Atas Skandal Bisnis di Papua

Pada Jumat 18 […]
Maret 17, 2022

Upaya Paksa Sewenang-Wenang, Penyiksaan dan Penggunaan Kekuatan Berlebihan Terhadap Alm. Hermanto Harus Diusut Secara Transparan dan Akuntabel!

Tim Advokasi Anti […]
Maret 6, 2022

Pemkab Konkep Berbohong, Polisi Masih di Lokasi dan Warga Sangat Ketakutan

Pasca PT Gema […]
Maret 4, 2022

Usut Tuntas Dugaan Tindak Pidana Penyiksaan Berujung Kematian Oleh Anggota Polsek Lubuklinggau Utara Terhadap Alm. Hermanto Secara Transparan dan Akuntabel!

Komisi untuk Orang […]
Maret 4, 2022

Pelanggaran HAM di Balik Pemindahan Ibu Kota Baru

Komisi untuk Orang […]