Kemarin (22/9) Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, melaporkan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti ke Polda Metro Jaya. Kami menilai tindakan tersebut dapat dimaknai sebagai upaya kriminalisasi atas kebebasan berekspresi dan berpendapat seseorang, sekaligus dapat juga diterjemahkan sebagai pembungkaman atas kritik terhadap pejabat publik.

Sebelumnya, baik Tim Hukum Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti telah menerima sebanyak 2 (dua) kali somasi,  bahwa atas surat somasi tersebut, kami sudah menjelaskan secara jelas dan lengkap perihal motif, maksud dan tujuan terkait konten acara Haris Azhar dan pernyataan yang disampaikan Fatia Maulidiyanti dalam program acara NgeHAMtam lewat channel Youtube Haris Azhar. 

Pada intinya kami ingin menegaskan, tindakan yang dilakukan oleh Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti merupakan bentuk pengawasan dan kontrol masyarakat sipil yang ditujukan bukan sebagai individu Luhut melainkan Luhut sebagai pejabat publik yang didasari pada temuan riset berjudul “Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua Kasus Intan Jaya” yang dibuat oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil [1]. Riset tersebut dibuat dilatarbelakangi dari keprihatinan terkait terjadinya eskalasi konflik bersenjata atau konflik kekerasan yang dipicu oleh keamanan dan operasi militer.

Bahwa jika dicermati dari hasil riset tersebut, ditemukan adanya  keterhubungan Luhut dan PT. Toba Sejahtra Group, PT. Tobacom Del Mandiri atau PT. Tambang Raya Sejahtera dan West Wits Mining yang berpotensi mengakibatkan konflik kepentingan (conflict of interest) mengingat Luhut merupakan Pejabat Negara sebagaimana Pasal 43 ayat (1) huruf a Undang-undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Oleh karena temuan keterhubungan tersebut di atas Fatia Maulidiyanti melalui KontraS yang terlibat dalam riset tersebut memiliki kewajiban untuk menyampaikannya dalam bentuk kritik terhadap Pejabat Negara/Publik yang merupakan salah satu bentuk partisipasi publik.

Konten acara yang dibuat Haris Azhar dan pernyataan Fatia Maulidiyanti dalam acara tersebut, merupakan tidak lain dari bentuk penyampaian informasi kepada publik dan merupakan bentuk akuntabilitas atas riset atau kajian yang sudah dilakukan, sekaligus merupakan tindakan pengawasan dan kontrol masyarakat sipil atas setiap langkah dan kebijakan yang diambil oleh badan publik, terutama pemerintah agar terbentuk pemerintahan yang akuntabel, karena akuntabilitas akan membawa ke tata pemerintahan yang baik yang bermuara pada jaminan hak asasi manusia.

Lebih lanjut kami memandang:

  1. Bahwa pejabat publik terikat dengan kewajiban hukum, yang mana dia harus bisa dikritik, jika tidak dapat dikritik maka tidak ada suara rakyat dalam berjalannya negara, apabila suara rakyat tidak ada maka tidak ada demokrasi. Lagipula Konstitusi sudah menjamin bahwa setiap orang berhak dalam urusan pemerintahan;
  2. Bahwa hal yang dilakukan Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana, dikarenakan tindakan yang mereka lakukan berdasarkan riset yang didasarkan pada fakta atau sebuah kenyataan dan bertujuan untuk kepentingan publik. Baik menurut  KUHP dan SKB UU ITE hal tersebut merupakan bukan tindak pidana. Terlebih lagi keduanya merupakan Pembela HAM yang juga memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, dalam konteks ini berdasarkan Pasal 66 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata;
  3. Bahwa upaya pelaporan pidana atau gugatan perdata yang dilakukan Luhut Binsar Pandjaitan dapat diartikan sebagai Judicial Harassment sebab tidak etis bagi pejabat publik untuk menuntut pidana atau bahkan menggugat secara perdata kepada seorang warga negaranya. Upaya tersebut menunjukan bahwa Pemerintah anti kritik dan mengingkari komitmen Pemerintah dalam menjamin kebebasan berpendapat.

Kami berpendapat tindakan pelaporan pidana yang ditujukan kepada Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, merupakan ancaman yang serius terhadap demokrasi dan kerja-kerja Pembela Hak Asasi Manusia. Sebab Pembela HAM yang seharusnya diberikan jaminan perlindungan atas kerja-kerjanya, justru mendapatkan serangan dari pejabat publik. Hal itu tidak hanya tampak pada kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang dilaporkan oleh Luhut Binsar Panjaitan selaku Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, tetapi juga terlihat pada kasus Egi Primayogha dan Miftahul Choir dari ICW yang dilaporkan oleh Moeldoko selaku Kepala Staf Presiden.

Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, kami mendesak:

  1. Kapolri mendorong jajarannya untuk tidak menindaklanjuti laporan pidana baik oleh Luhut Binsar Panjaitan dan Moeldoko oleh karena tindakan yang dilakukan oleh Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti hingga Egi Primayogha dan Miftahul Choir   merupakan murni bagian dari kebebasan ekspresi, pendapat dan kerja-kerja pembela hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi dan Undang-Undang; 
  2. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengeluarkan rekomendasi terkait dengan langkah advokatif guna menjamin pembela hak asasi manusia; 
  3. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban secara proaktif memberikan jaminan perlindungan terhadap Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti hingga Egi Primayogha dan Miftahul Choir selaku Pembela HAM.

Jakarta, 23 September 2021

Tim Advokasi Bersihkan Indonesia

Narahubung:

  1. Julius Ibrani (081314969726)
  2. Muhammad Isnur (081510014395)

 

Catatan Untuk Editor:

[1] Kajian Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua Kasus Intan Jaya dapat ditemukan di: https://kontras.org/2021/08/12/kajian-terbaru-soal-papua-terungkap-indikasi-kepentingan-ekonomi-dalam-serangkaian-operasi-militer-ilegal-di-intan-jaya-papua/

September 23, 2021

Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti Dilaporkan Luhut Binsar Panjaitan, Ancaman Serius Terhadap Demokrasi dan Kerja-Kerja Pembela Hak Asasi Manusia

Kemarin (22/9) Menteri […]
September 21, 2021

Konflik di Papua Harus Dihentikan Demi Menghindari Jatuhnya Korban Sipil Selanjutnya

Komisi untuk Orang […]
September 20, 2021

Aksi Teror di LBH Yogyakarta; Ancaman terhadap Pembelaan HAM

Komisi untuk Orang […]
September 16, 2021

Catatan Kritis, Pergantian Panglima TNI: Presiden dan DPR Harus Meninjau Masalah pada Tubuh TNI

Menjelang masa pensiun […]
September 15, 2021

Tim Advokasi Untuk Demokrasi : Kebebasan Sipil Memburuk, Demokrasi Ambruk

Laporan Freedom in […]
September 14, 2021

Surat Terbuka: Desakan untuk Segera Memberi Persetujuan Izin Prakarsa Penyusunan RUU Pengesahan Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa

No  :   Hal […]
September 14, 2021

Mempersilahkan Kritik Juga Harus Menjamin Tiap Bentuk Kritik

Menjelang dua tahun […]
September 12, 2021

37 Tahun Peristiwa Tanjung Priok dan 7 Tahun Janji Presiden yang Belum Terbukti

Tragedi Tanjung Priok […]
September 3, 2021

Tahan dan Adili Segera Terduga Pelaku Penembakan Enam Anggota FPI

Komisi untuk Orang […]
September 3, 2021

Mengecam Tindak Kekerasan Kelompok Intoleran terhadap Kelompok Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Sintang, Kalimantan Barat

Setelah pada tanggal […]