Pada 7 Februari 2024, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengadakan diskusi publik untuk memperingati 35 tahun terjadinya peristiwa Talangsari Lampung 1989 dengan tema “Bayang-bayang Impunitas di Tengah Agenda Pemilu.” Tema tersebut diambil bukan tanpa alasan. Pasalnya, 35 tahun pasca terjadinya peristiwa Talangsari Lampung 1989, pemerintah masih enggan menyelesaikan kasus ini secara tuntas dan memberikan keadilan bagi para korban. Hal ini tidak sejalan dengan pidato Presiden Joko Widodo yang mengakui kasus Talangsari 1989 sebagai salah satu kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat yang pernah terjadi di Indonesia. Tidak ada tindakan nyata dari pemerintah untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc guna menghukum para pelaku, mengungkap kebenaran dari kasus yang telah membekaskan stigma negatif pada para korban, memenuhi hak-hak korban dengan memberikan pemulihan, dan menjamin bahwa kasus seperti ini tidak akan terjadi lagi.

Kondisi tersebut kemudian diperkeruh kembali dengan adanya pencalonan terduga pelaku dalam kasus kejahatan HAM yaitu kasus Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998 sebagai Calon Presiden dalam Pemilu 2024. Tidak berhenti di situ, ia pun berpasangan dengan putra sulung Presiden RI, yang pencalonannya sebagai Calon Wakil Presiden terjadi melalui jalur kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengacak-acak konstitusi di bawah kepemimpinan ipar Presiden RI sebagai Ketua MK. Hal-hal di atas tentu mengafirmasi bahwa pemerintah masih menegakkan impunitas dan menghalalkan cara-cara kotor yang menodai keadilan, hak asasi manusia, dan demokrasi di Indonesia. Dalam konteks kasus Talangsari 1989, pemerintah telah mengkooptasi mekanisme hukum dan keadilan yang seharusnya dapat menjadi jaminan perlindungan bagi setiap warga negara, khususnya bagi para korban Talangsari 1989.

Diskusi berlangsung dengan 5 (lima) orang narasumber, yaitu Edi Arsadad (Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung), Andi Muhammad Rezaldy (Wakil Koordinator KontraS), Susilaningtias (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), Sumaindra Jarwadi (Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung), dan Ahmad Suban Rio (Dewan Rakyat Lampung – Dewan Mahasiswa Lampung). Salah satu tujuan dari diadakannya diskusi ini adalah dapat terus mempertahankan dan merawat narasi mengenai peristiwa Talangsari Lampung 1989 dalam kaitannya untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah secara akuntabel dan berkeadilan.

Edi Arsadad, selaku perwakilan dari Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL), menyampaikan bahwa korban tetap menuntut agar kasus Talangsari 1989 dibawa ke Pengadilan HAM ad hoc dan agar pemerintah melakukan pemulihan terhadap para korban. Ia menyoroti bagaimana para korban telah berjuang untuk keadilan dari sebelum Reformasi 1998 namun belum pernah berbuah manis. Menurutnya juga, implementasi rekomendasi dari Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) hingga kini belum ada hasilnya. Sejak kick-off program rekomendasi oleh Tim PPHAM dilakukan di Aceh, belum ada pemulihan terhadap korban yang telah dilakukan. Ia pun menyebut pemerintah terlalu banyak melakukan selebrasi padahal tidak ada gol yang dicapai.

Berikutnya, Andi Muhammad Rezaldy, Wakil Koordinator KontraS, menyampaikan bahwa bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas kasus Talangsari 1989 seharusnya dilakukan dengan membentuk Pengadilan HAM ad hoc, melakukan reparasi atau pemulihan terhadap korban, mengungkap kebenaran, dan menjamin tidak akan ada keberulangan peristiwa ini. Namun, hingga saat ini, keempat hal tersebut belum dilakukan oleh pemerintah. Ia menyebutkan adanya tarik ulur kepentingan di antara lembaga negara dan aktor pemerintahan sehingga lantas menghambat penyelesaian kasus ini secara berkeadilan.

Hal senada disampaikan oleh Sumaindra Jarwadi, Direktur LBH Bandar Lampung. Ia menekankan pada pentingnya memperjuangkan kasus Talangsari 1989 sampai pada Pengadilan HAM ad hoc sebagai bentuk prosedur keadilan hukum bagi para korban maupun keluarga korban. Ia menggarisbawahi pentingnya untuk terus memperluas jangkauan diskusi mengenai isu-isu tragedi Talangsari agar dapat terus merawat ingatan akan berbagai kasus pelanggaran berat HAM dari generasi ke generasi.

Kemudian, Susilaningtias, Wakil Ketua LPSK, menyampaikan bahwa saat ini LPSK tengah mengupayakan agar pemulihan terhadap korban dapat terus berjalan meskipun masa kerja Tim PPHAM telah berakhir. Ia juga menyampaikan bahwa LPSK beberapa kali menerima permohonan bantuan dari korban Talangsari 1989, berupa, di antaranya listrik dan perbaikan jalan. Namun ia mengatakan bahwa pemenuhan kebutuhan dan bantuan tersebut tidak berada dalam kapasitas LPSK. Meski demikian, LPSK berharap agar bisa tetap menyerap aspirasi dan kebutuhan korban Talangsari 1989 dalam pemenuhan hak-hak korban. Ia juga menambahkan bahwa diharapkan pemulihan terhadap korban dapat dilakukan oleh LPSK sehingga segala implementasi dan koordinasi menjadi lebih terarah dan berjalan melalui satu pintu.

Terakhir, Ahmad Suban Rio, perwakilan dari Dewan Rakyat Lampung (DRL) – Dewan Mahasiswa Lampung (DML), menyebutkan bagaimana stigma terus melekat pada para korban peristiwa Talangsari Lampung 1989. Ia menggarisbawahi adanya pelabelan khusus secara negatif yang disematkan oleh pemerintah terhadap para korban. Hal inilah yang menurutnya penting untuk diketahui oleh generasi muda agar mengetahui kebenaran di balik kasus Talangsari 1989.

Pada intinya, semua pembicara menekankan pada pentingnya peran dan pelaksanaan tanggung jawab pemerintah untuk menegakkan keadilan bagi para korban Talangsari Lampung 1989. 35 tahun bukanlah waktu yang sebentar, namun pemerintah masih saja abai akan penuntasan kasus Talangsari 1989 dan malah menegakkan tembok impunitas yang melindungi pelaku bahkan memberinya posisi istimewa dan strategis di negara ini. Reformasi 1998 yang seharusnya menjadi angin segar bagi para korban Talangsari 1989 seakan hanyalah ilusi yang tidak mampu memberi keadilan. Pemerintah harus memenuhi hak-hak korban dengan membentuk Pengadilan HAM ad hoc dan menghukum pelaku, melakukan pemulihan kepada korban, mengungkap kebenaran atas kasus Talangsari 1989, dan menjamin tidak akan terulangnya peristiwa tersebut.

Februari 13, 2024

Diskusi Publik Peringatan 35 Tahun Peristiwa Talangsari Lampung 1989: Bayang-bayang Impunitas di Tengah Agenda Pemilu

Pada 7 Februari […]
Februari 12, 2024

Hasil Audiensi dari Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil untuk Dukungan Sikap Indonesia dalam Krisis Kemanusiaan Palestina di Agenda Sidang ICJ Den Haag

Jakarta, 12 Februari […]
Februari 12, 2024

Demokrasi Kian Tergerus, Presiden Harus dengarkan Suara Kampus!

Pada tanggal 7 […]
Februari 9, 2024

Koalisi Masyarakat Sipil Somasi Presiden Jokowi, Desak Hentikan Keculasan dan Tindakan Nir-Etika Jelang Pencoblosan

Jakarta, 8 Februari […]
Februari 8, 2024

Melawan Kegigihan JPU dalam Pembungkaman: Kuasa Hukum Menyerahkan Kontra Memori Kasasi Kasus Kriminalisasi Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur

Jakarta, 6 Februari […]
Februari 7, 2024

Seruan Masyarakat Sipil di Pemilu 2024: Pilih Pulih dari Krisis Iklim dan Hancurnya Demokrasi dan HAM

Jakarta, 7 Februari […]
Februari 7, 2024

35 Tahun Talangsari Lampung 1989: Bayang-bayang Impunitas di Tengah Agenda Pemilu

Peristiwa Pelanggaran HAM […]
Februari 4, 2024

Konsolidasi Aksi Mahasiswa Direpresi: DPR dan Komnas HAM harus desak Kapolri untuk Ungkap dalam Waktu 1×24 Jam

Sabtu, 3 Februari […]
Februari 3, 2024

Peluncuran Buku “Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998” dan Situs Arsip Digital

Pada 1 Februari […]
Januari 31, 2024

Segera Bebaskan Daniel dan Hentikan Segala Bentuk Kriminalisasi 3 Pejuang Lingkungan #SaveKarimunjawa !!!

Koalisi Masyarakat Sipil […]