Mahkamah Konstitusi (MK) kembali melanjutkan sidang uji materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada Selasa, 3 Agustus 2021. Adapun yang diuji Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Pers adalah Pasal 40 ayat (2b) UU ITE tentang kewenangan pemerintah dalam melakukan pemblokiran internet.

Pemohon dalam uji materi ini adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Arnoldus Belau (Pimpinan Redaksi Suara Papua).  Para pemohon yang didampingi oleh para penasihat hukum yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Pers menilai Pasal 40 ayat (2b) itu memberi kewenangan yang tidak tepat kepada pemerintah untuk melakukan pemblokiran internet. Kewenangan itulah yang kerap digunakan oleh pemerintah untuk memblokir internet dengan alasan yang tidak dijelaskan secara transparan dan cenderung sewenang-wenang.

Agenda persidangan kali ini yaitu mendengarkan keterangan dari DPR dan ahli Presiden. Perwakilan dari DPR tidak hadir, sedangkan Ahli Presiden ada tiga orang yang hadir di persidangan, yakni Ifdal Kasim, Prof. Henry Subiakto, Ir. Ashwin Sasongko. 

Ade Wahyudin, Direktur LBH Pers selaku pemohon mengatakan ahli Presiden hanya fokus pada kecepatan dalam melakukan pemblokiran tanpa mengedepankan kepastian hukum.  

“Secara umum ahli dari pemerintah lebih melihat pada aspek kecepatan untuk melakukan pemblokiran, tapi mengabaikan hak kepastian hukum yang juga dijamin oleh konstitusi,” kata Ade.

Ketua Umum AJI Sasmito Madrim mengatakan, uji materi ini bertujuan mengoreksi kewenangan dari UU ITE kepada pemerintah soal pemblokiran. Sebab, kewenangan itulah yang kerap dijadikan dasar untuk memblokir situs dan juga memblokir internet. 

Pemerintah juga tidak transparan soal dasar pemblokiran selain hanya mengatakan karena mengandung konten negatif atau melanggar undang-undang. “Kami melihat pemblokiran itu juga dipakai untuk meredam informasi atau membungkam penyataan kritis yang tidak sejalan dengan narasi pemerintah,” kata Sasmito.

Ade menambahkan, pemblokiran oleh pemerintah itu melampaui kewenangannya dan bententangan dengan Konstitusi. “Kewenangan pemblokiran itu seperti mengambil alih kewenangan Pengadilan dalam menegakan hukum dan keadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus atas tafsir dari informasi dan/atau dokumen elektronik yang melanggar hukum,” ujar Ade. 

***

Salah satu peristiwa yang mendorong pengujian ini adalah apa yang dialami Suara papua pada 4 November 2016 lalu. Saat itu media online yang memberitakan soal pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, politik dan hak asasi manusia di Papua itu tak bisa diakses sama sekali. Akses kembali pulih 3 hari kemudian.

LBH Pers selaku kuasa hukum pemohon pada 8 November 2016, melayangkan surat protes dan meminta klarifikasi kepada Menteri Komunikasi dan Informatika cq Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika (Ditjen Aptika) soal pemblokiran itu. Ditjen Aptika dalam surat balasannya membenarkan adanya pemblokiran situs Suara Papua itu karena mengandung konten yang melanggar ketentuan undang – undang.

Dalam surat balasan tidak dijelaskan secara spesifik konten apa yang dinilai melanggar undang-undang. LBH Pers berikirm surat lagi pada 29 Desember 2016 meminta informasi lebih lanjut mengenai konten yang dianggap telah melanggar itu. Namun surat kedua ini tidak dibalas.

Selain pemblokiran terhadap Suara Papua, pemerintah memang kerap memblokir situs dan juga internet dengan dalih untuk membendung konten yang melanggar undang-undang atau untuk mencegah penyebaran kabar bohong. Pemerintah pada Agustus-September 2019 memperlambat dan memblokir internet di Papua. Pemblokiran itu digugat AJI Indonesia dan SAFENet ke PTUN Jakarta. Dalam sidang vonis 3 Juni 2020, pengadilan menyatakan pemerintah melanggar hukum atas pemblokiran itu.

Berdasarkan monitoring Safe Net, Kominfo memblokir ribuan situs pada tahun 2018. Alasan pemblokiran beragam, mulai dari alasan memuat konten pornografi, perjudian, penipuan hingga terorisme dan separatisme. Kominfo juga memblokir akun Facebook dan Instagram karena alasan konten negatif (8.903), akun Twitter dengan konten negatif (4.985).

Oleh sebab itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Pers meminta kepada hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 40 ayat (2b) UU ITE “bertentangan secara bersyarat” dan “tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat”. Pemohon meminta bahwa kewenangan pemblokiran oleh pemerintah itu tetap harus melalui proses hukum, tidak hanya berdasarkan keputusan sepihak pemerintah seperti yang terjadi selama ini.

Jakarta, 4 Agustus 2021

Informasi lebih lanjut, silakan hubungi:

1.    LBH Pers Ade Wahyudin 

2.    AJI Indonesia Sasmito

3.    Elsam Andi Muttaqin

4.    YLBHI Muhammad Isnur

5.    KontraS Arief Nur Fikri

6.    YSK Fati Lazira

7.    SafeNet Damar Juniarto

Agustus 4, 2021

Sidang Lanjutan Uji Materi Pasal Pemblokiran UU ITE di Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi (MK) […]
Juli 30, 2021

Menyoal Somasi Terhadap ICW: Pemberangusan Demokrasi dan Upaya Kriminalisasi

Praktik pembungkaman atas […]
Juli 28, 2021

25 Tahun Peristiwa Kudatuli: Mula-mula Melawan, Lama-lama Diam

Credit Foto: (Kompas/Eddy […]
Juli 28, 2021

Korban dan Keluarga Korban Penembakan Diancam Akan Dituntut/Dilaporkan oleh Kodim 0116 Nagan Raya, KASAD dan LPSK Harus Segera Turun Tangan

Komisi Untuk Orang […]
Juli 28, 2021

Tindak Tegas Dua Anggota Polisi Militer Atas Sikap Arogansi, Rasis, dan Diskriminatif Terhadap Seorang Difabel di Merauke

Tim Advokasi Papua […]
Juli 27, 2021

Pendekatan Keamanan dalam Penanganan Pandemi Tak Berhasil dan Harus Dihentikan!

Komisi untuk Orang […]
Juli 26, 2021

Tindak Lanjut Gugatan Korupsi Bansos: Korban Ajukan Kasasi

Pada hari ini, […]
Juli 23, 2021

22 Tahun Peristiwa Tengku Bantaqiah: Penuhi Hak Korban dan Hentikan Segala Upaya Pengrusakan Situs Budaya dan Lingkungan di Beutong Ateuh

Dua puluh dua […]
Juli 22, 2021

Penunjukan Perwira TNI sebagai Komisaris BUMN, Melecehkan Agenda Reformasi Sektor Keamanan

Komisi untuk Orang […]
Juli 22, 2021

Pengaturan Komponen Cadangan dalam UU PSDN bertentangan dengan UUD 1945 dan Hak Asasi Manusia

Pemerintah dan DPR […]