Bertepatan dengan 75 tahun berdirinya Korps Bhayangkara, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meluncurkan Laporan Bhayangkara yang di dalamnya berisi catatan mengenai akuntabilitas Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) selama periode Juni 2020 – Mei 2021. Laporan kami susun berdasarkan hasil pemantauan dan advokasi yang telah dilakukan dan sebagai bentuk partisipasi kami dalam mengupayakan terwujudnya reformasi sektor keamanan. 

Laporan ini dibuat berdasarkan hasil monitoring media, pendampingan hukum, serta informasi jaringan KontraS yang dianalisis dengan nilai-nilai HAM yang terkandung dalam berbagai instrumen hukum internasional serta konstitusi sebagai parameternya. Pada laporan tahun ini, kami memberikan perhatian khusus terhadap kecenderungan polisi menggunakan pandemi sebagai legitimasi dalam membungkam kebebasan sipil. Sepanjang pandemi ini, Polri banyak melaksanakan pembubaran aksi dan penangkapan sewenang-wenang atas dasar penerapan protokol kesehatan. Namun, kami menyoroti ketidaknetralan Polri dalam menegakkan hukum karena adanya perlakuan diskriminatif yang diberikan kepada warga sipil.

Kemudian, kami juga menemukan adanya keberulangan pola kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, seperti dominasi kekerasan di tingkat Polres dan penggunaan senjata api yang tidak sesuai prosedur. Data yang kami himpun selama Juni 2020 – Mei 2021 menunjukkan terdapat setidaknya 651 kasus kekerasan yang dilakukan oleh Polri terhadap masyarakat sipil. Jenis kekerasan yang paling banyak dilakukan adalah penembakan yang telah menewaskan 13 orang dan 98 luka-luka. Banyaknya korban yang jatuh akibat penembakan ini ini merupakan dampak dari penggunaan kekuatan yang berlebihan dan tindakan sewenang-wenang oleh aparat kepolisian. Adapun, satuan tingkatan yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap warga sipil adalah Polres.

Selain itu, kami juga menyoroti berkembangnya stigmatisasi yang diciptakan Polri sebagai bentuk penyerangan terhadap kelompok tertentu dan mengakibatkan penangkapan. Upaya stigmatisasi ini mengarah pada istilah tertentu, seperti anarko, radikal, bahkan penyudutan kepada kelompok pelajar yang beberapa kali terlibat dalam aksi massa. Padahal, kami melihat, pemberian stigma yang buruk terhadap kelompok tertentu merupakan suatu tindakan yang merugikan karena dapat berimplikasi pada tergerusnya hak-hak dasar yang dimiliki oleh warga negara. Polisi seharusnya tidak terlibat dalam pembangunan stigma dan lebih berfokus pada penegakkan hukum yang dilaksanakan secara adil tanpa adanya unsur subyjektivitas yang dapat menyebabkan bias dalam pengambilan keputusan di lapangan.

Tidak hanya di lapangan, bergesernya ruang publik ke ranah digital di tengah pandemi Covid-19 juga tidak luput dari represifitas aparat. Tindakan represif ini kian mempersempit ruang kebebasan sipil (shrinking civic placespaces). Berbagai Surat Telegram (ST) bermasalah diterbitkan oleh Polri, meskipun keberadaannya berpotensi membungkam kebebasan berekspresi dan menghalangi hak menyampaikan pendapat di muka umum. Polri juga memberlakukan virtual police justru menyasar akun-akun yang aktif mengkritik pemerintah dan bukannya ditujukan kepada pihak yang telah jelas melakukan tindakan kriminal di media sosial. Sejak pertama kali beroperasi saja, sedikitnya tercatat 476 akun ditegur karena diduga memuat konten ujaran kebencian, meski Polri sendiri belum memiliki parameter yang jelas dalam mengukur ujaran kebencian tersebut. Selain itu, belasan serangan digital berupa peretasan juga marak terjadi. Pada tahun 2021 sendiri, telah terjadi 12 kasus peretasan, dengan pihak yang paling diretas adalah aktivis. Namun, kami melihat Polri lebih memilih melakukan pembiaran daripada menanggulangi peretasan tersebut.

Hal lain yang tidak luput dari bahasan kami adalah meluasnya diskriminasi dan stigmatisasi terhadap pembela HAM Papua. Kami melihat, hingga kini pemerintah lewat aparatnya masih mengambil jalan represi sebagai solusi penyelesaian permasalahan di Papua. Padahal, hal tersebut telah terbukti tidak efektif dalam menyelesaikan konflik yang berkepanjangan. Berdasarkan pemantauan kami, dalam periode ini setidaknya telah terjadi 27 kasus kekerasan yang dilakukan oleh Kepolisian, baik sebagai institusi tunggal maupun bersama-sama dengan TNI. Tingginya kekerasan ini berpotensi diperparah dengan keputusan negara menetapkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebagai organisasi teroris. Stigmastisasi ini semakin melegitimasi pengerahan kekuatan yang selama ini tanpa dasar yang jelas dan tentu akan semakin dilakukan secara eksesif. Selain itu, hal ini juga akan kian memudahkan aparat dalam mengkriminalisasi warga Papua.

Kami melihat, deretan kasus-kasus kekerasan antar satuan tingkatan di atas menunjukkan tidak efektifnya mekanisme pengawasan Polri baik itu yang bersifat internal maupun eksternal. Hal ini merupakan suatu kesalahan yang fatal karena pengawasan terhadap kerja-kerja Polri berkaitan erat dengan hak asasi manusia. Lemahnya fungsi ini berperan banyak melanggengkan impunitas di tubuh Polri yang akibatnya adalah pembatasan atau bahkan penghilangan hak-hak dasar warga sipil. Lembaga pengawas baik itu yang bersifat internal maupun eksternal harus dievaluasi dan diuji kembali efektivitasnya di lapangan dalam mencegah tindak-tindak kekerasan saat pelaksanaan kerja aparat kepolisian

Berdasarkan isi laporan yang telah disampaikan, KontraS merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, mengevaluasi kewenangan diskresi yang dimiliki polisi secara akuntabel dan transparan agar setiap penggunaan diskresi yang hanya didasarkan atas subjektivitas belaka dapat diukur dan dibatasi oleh peraturan hukum ;

Kedua, mengevaluasi efektivitas dan memperketat mekanisme pengawasan baik secara eksternal maupun internal, utamanya pada pengawasan antar satuan tingkatan di tingkat Polres yang telah dominan melakukan pelanggaran moral, etik, disiplin, dan hukum;

Ketiga, membangun sistem deteksi dini terhadap penyalahgunaan wewenang terutama dalam penanganan aksi besar yang rawan terjadi kerusuhan dan/atau memiliki latar belakang politik;

Keempat, melakukan evaluasi terhadap model sanksi administratif (etik internal) yang sering menjadi celah impunitas dan melanggengkan praktik kekerasan. Perlu dipastikan adanya mekanisme dalam ruang etik internal yang dapat ditempuh secara transparan oleh para korban; 

Kelima, meningkatkan independensi dan netralitas dalam setiap upaya penegakkan hukum demi menghapuskan diskriminasi penegakkan hukum dan mengedepankan pendekatan humanis yang berpegang teguh pada prinsip hak asasi manusia dan demokrasi agar dapat senantiasa menjamin kebebasan sipil di situasi pandemi Covid-19.

klik disini untuk Laporan selengkapnya

Juni 30, 2021

Laporan Hari Bhayangkara ke-75 Tahun 2020 Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan

Bertepatan dengan 75 […]
Juni 28, 2021

Majelis Hakim Wajib Akomodir Para Pencari Keadilan, Korban Korupsi Bansos

Pada hari ini, […]
Juni 28, 2021

Respon KontraS atas Pemanggilan dan Peretasan Akun Fungsionaris BEM UI: Berlanjutnya Represi dan Teror di Ruang Akademis

Komisi untuk Orang […]
Juni 25, 2021

Laporan Situasi Praktik Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia di Indonesia Periode Juni 2020 – Mei 2021

Pelaku Penyiksaan Bebas, […]
Juni 24, 2021

Pedoman Implementasi UU ITE Tidak Menyelesaikan Akar Masalah, Segera Revisi UU ITE

Rilis Koalisi Serius […]
Juni 24, 2021

Menjelang Hari Anti Penyiksaan International : Darurat Impunitas Aparat Penegakan Hukum

Dalam rangka menjelang […]
Juni 23, 2021

Pernah Masuk RANHAM Saja Dilupakan, Lebih Lagi Tidak

Setelah terlambat satu […]
Juni 17, 2021

Penundaan Sidang Aktivis Mahasiswa PAPUA; Antara Harapan dan Ketakutan Pengabaian oleh Aparat Penegak Hukum

Kemarin hari Rabu, […]
Juni 15, 2021

Bertemu dengan Menko Mahfud MD, Koalisi Minta Komitmen Serius Pemerintah Hapus Pasal-Pasal Karet dalam Revisi UU ITE

Pada tanggal 14 […]
Juni 14, 2021

Penghambatan Akses Kesehatan Terdakwa 2 Aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Bentuk Diskriminasi Yang Melanggar HAM dan Menambah Deretan Perlakuan Tidak Adil Terhadap Warga Papua Dihadapan Hukum

2 orang aktivis […]