Ringkasan Eksekutif 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memberi sorotan tajam terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terus terjadi di tanah Papua. Rangkaian peristiwa kekerasan di Papua tak kunjung berhenti. Pada 2020 lalu, KontraS menemukan sedikitnya ada 49 peristiwa kekerasan di Papua seperti penembakan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pembubaran paksa, intimidasi serta tindakan tidak manusiawi yang dilakukan oleh beberapa pelaku yang didominasi oleh aparat. Dari peristiwa-peristiwa tersebut tercatat 29 orang tewas, 62 luka-luka dan 256 orang lainnya ditangkap. Lebih dari setengah peristiwa tersebut, pelakunya adalah anggota Polisi dan TNI yang kasus-kasusnya belum diselesaikan secara utuh dan berkeadilan. 

Sampai saat ini, Negara tidak pernah mengumumkan secara jelas mengenai status kondisi keamanan di Papua. Terakhir, pemerintah menyatakan bahwa situasi keamanan di Papua masih dalam status tertib sipil. Akan tetapi, keterlibatan dan pengerahan militer justru semakin masif dilakukan. Menurut pemantauan KontraS, pemerintah sudah menurunkan aparat baik itu dari kepolisian dan TNI sebanyak 39 kali semenjak awal 2020. Dari penurunan pasukan tersebut, Negara tidak pernah menjelaskan mengenai akuntabilitas, transparansi, serta efektivitas penurunan pasukan di Papua. 

Situasi akan berpotensi makin parah setelah Pemerintah menetapkan KKB sebagai Organisasi Teroris. Jalan negara untuk melakukan redefinisi terhadap KKB organisasi teroris kami lihat merupakan langkah yang sangat berbahaya. Berangkat dari UU No. 5 Tahun 2018, produk hukum tersebut menyisakan lubang pelanggaran HAM yang sangat besar bagi penanganan terorisme. Mulai dari definisi yang sangat luas, ketentuan upaya paksa yang eksesif, dan dilibatkannya militer dalam penanggulangan terorisme. Selain itu, UU yang ada juga belum berhasil untuk melakukan pencegahan kejahatan secara maksimal dan cenderung masih menggunakan pendekatan represif (hard approach). 

Kami beranggapan bahwa Negara tidak dapat menyematkan KKB dan OPM sebagai organisasi teroris, sebab aktivitas yang dilakukan dengan unsur definisi secara normatif tidak seluruhnya bersesuaian. Kami menganalisis bahwa kelima unsur yakni: Adanya perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan;Menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas; Dapat menimbulkan korban yang bersifat massal; Menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional; Motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan tidak sepenuhnya terpenuhi. 

Opsi redefinisi KKB dan OPM sebagai organisasi teroris ini juga tidak tepat ditinjau dari perspektif HAM. Pasalnya, stigma terorisme berimplikasi besar bagi keberlangsungan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM khususnya bagi masyarakat Papua. Selain melanggar Hak untuk menentukan nasib, penyematan stigma juga akan berpotensi besar pada pembungkaman hak berekpresi dan maraknya kriminalisasi. 

Permasalahan tentu tidak hanya sampai pada tataran redefinisi, pengerahan militer untuk menumpas KKB dan OPM akan dilakukan secara masif. Kemudian, penangkapan besar-besaran serta kriminalisasi juga akan marak dilakukan. Selain itu, pelabelan teroris terhadap KKB atau OPM cepat atau lambat juga akan membawa dampak psiko-sosial di masyarakat. Orang yang berasal dari Papua yang menetap di daerah lain di Indonesia juga berpotensi dilabeli sebagai teroris oleh masyarakat setempat. Kebijakan ini kami anggap juga hanya sebatas langkah emosional dan tidak memikirkan langkah selanjutnya. Terbukti, LPSK sebagai institusi yang bertugas dalam melakukan pemulihan korban kejahatan terorisme belum pernah dilibatkan. 

Pemerintah seharusnya membatalkan wacana ini, sebab langkah tersebut sangat emosional dan tidak memikirkan dampak-dampak yang terjadi kedepan. Pendekatan dengan metode stigmatisasi justru semakin menambah rumit persoalan dan tak akan menyelesaikan persoalan ketidakadilan. Selain itu, kami melihat pemerintah belum sepenuhnya mengupayakan jalan-jalan pendekatan yang sifatnya lebih humanis. Kekerasan dan cara-cara militeristik terus dikedepankan dalam menyelesaikan konflik Papua. Kami menganggap bahwa redefinisi KKB dan OPM ini adalah salah satunya. Pemerintah seharusnya memilih jalan-jalan dialogis terhadap seluruh pemangku kepentingan di Papua guna mencari jalan keluar atau format ideala penyelesaian konflik. Tujuannya agar konflik di Papua segera berakhir, kekerasan dapat berhenti, terutama agar korban tak terus menerus berjatuhan.

Klik disini untuk melihat dan mendownload Catatan Kritis : Menyoal Redefinisi Kelompok Kriminal Bersenjata sebagai Organisasi Teroris

Mei 1, 2021

Catatan Kritis: Menyoal Redefinisi Kelompok Kriminal Bersenjata Sebagai Organisasi Teroris

Ringkasan Eksekutif  Komisi […]
Mei 1, 2021

Merespon Ditetapkannya Kelompok Kriminal Bersenjata Sebagai Kelompok Terorisme

Komisi untuk Orang […]
April 28, 2021

Surat Terbuka Pernyataan Bambang Soesatyo mengenai Penurunan Pasukan tanpa Mempertimbangkan HAM di Papua

Perihal : Surat […]
April 27, 2021

Surat Terbuka Dugaan Praktik Penyiksaan terhadap Anak di Polsek Sampuabalo

Perihal : Surat […]
April 23, 2021

Polisi Harus Ungkap Motif Penembakan Warga di Nagan Raya, Saksi Wajib Dilindungi LPSK

Pada hari Kamis, […]
April 22, 2021

Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Menghapus Sanksi Pemecatan Terhadap Para Pelaku Penyiksaan, Bukti Peradilan Militer Menjadi Ruang Impunitas

Komisi Untuk Orang […]
April 22, 2021

Pemutakhiran Data Virtual Police

Genap satu bulan, […]
April 22, 2021

Indonesia dan ASEAN Harus Menolak Kedatangan Rezim Junta Myanmar ke Jakarta

Komisi untuk Orang […]
April 21, 2021

Vaksinasi COVID-19 di Indonesia Semakin Menyimpang

21 April 2021 […]
April 21, 2021

Penolakan Permohonan Praperadilan 2 Aktivis AMP oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Tak Cermikan Keadilan dan Kearifan Hakim dalam Membuat Putusan

Pada hari ini […]