23 tahun reformasi masih meninggalkan impunitas bagi Peristiwa Trisakti dimana 4 mahasiswa Universitas Trisakti meninggal ditembak aparat keamanan dalam aksi 12 Mei 1998 dan 681 orang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia mengalami luka-luka. Begitu pula dengan Peristiwa Mei 1998 yang mengakibatkan korban kembali berjatuhan selama rentang 13-15 Mei 1998 di Jakarta, Bandung, Solo dan beberapa kota besar lain. Sebanyak 1.300 lebih orang tewas dan ratusan perempuan diperkosa tanpa pernah diungkap. Penjarahan dan perampasan harta benda masyarakat secara paksa pun terjadi secara masif di tengah masyarakat pada kala itu. Hasil penyelidikan Komnas HAM telah menyebutkan bahwa terdapat kejahatan kemanusiaan pada kedua peristiwa tersebut.
Hasil penyelidikan tersebut diserahkan pada Jaksa Agung pada 2002 untuk Peristiwa Trisakti, Semanggi I-II (TSS) dan pada 2003 untuk Peristiwa Mei 1998. Namun pingpong berkas terus terjadi dengan sejumlah alasan yang terus berubah-ubah, seperti sumpah penyelidik, kelengkapan bukti dan lain sebagainya.
Stagnansi perkembangan pengungkapan kasus tersebut justru diperparah dengan langkah kontraproduktif Negara, seperti pembentukan Satgas Penuntasan Pelanggaran HAM Berat oleh Jaksa Agung dan Rperpres UKP-PPHB yang sedang dirancang oleh Dirjen HAM, Kemenkumham.
Kedua langkah tersebut menihilkan upaya advokasi korban dan keluarga koban selama ini, pasalnya sejak proses perumusan langkah tersebut tidak transparan dan melibatkan korban. KontraS melihat bahwa ada keengganan Negara untuk mengembalikan harkat dan martabat korban ataupun menyelesaikan pelanggaran HAM berat dengan prinsip keadilan dan pengungkapan kebenaran. Korban pelanggaran HAM berat berhak atas seluruh penuntutan, pengungkapan kebenaran, pemulihan dan jaminan ketidakberulangan. Oleh karena itu, tidak ada mekanisme tunggal dalam penyelesaian menyeluruh.
Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara menyeluruh bukan hanya berarti bagi korban dan keluarga, tetapi juga bagi bangsa dalam mereformasi institusi Negara yang terus melanggengkan budaya kekerasan dan impunitas bagi aparat yang melakukan kekerasan. Preseden buruk pelanggar HAM berat era Orde Baru bisa melenggang bebas tanpa pertanggungjawaban hukum selama ini turut “memberi sumbangsih” pada kasus pelanggaran HAM yang terjadi belakangan, seperti tindakan represif terhadap mahasiswa yang melangsungkan aksi damai atau penghilangan paksa dalam penangkapan sewenang-wenang.
Selain itu, dalam upaya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, KontraS melihat negara justru melakukan pemutuhan terhadap pelaku pelanggaran HAM berat. Dalam dua tahun terakhir, Negara mengambil langkah mundur dengan memberi jabatan pada eks anggota Tim Mawar yang terbukti melakukan penculikan aktivis; serta pengaktifan kembali Pam Swakarsa – yang diketahui pada 1998 menjadi wadah cuci tangan Negara dengan membiarkan masyarakat sipil beradu dengan sesama sipil dalam konflik horizontal antarwarga atas nama menjaga ketertiban umum.
Oleh karena itu, penyelesaian pelanggaran HAM berat yang menyeluruh semakin mendesak demi memutus rantai kekerasan dan impunitas yang terus berlangsung hingga sekarang, serta memenuhi hak seluruh bangsa Indonesia terutama generasi muda untuk mengetahui kebenaran sejarah dan belajar dari masa lalu sebagai bentuk jaminan ketidak-berulangan yang sesungguhnya.
Sebagai upaya menolak berlanjutnya pelanggaran hak atas keadilan, tindakan-tindakan tidak transparan, dan sejumlah langkah kontraproduktif yang telah memutar balik demokrasi menjadi semakin mundur, KontraS mendesak sejumlah pihak, antara lain:
Jakarta, 12 Mei 2021
Badan Pekerja KontraS,
Fatia Maulidiyanti
Koordinator