Kudeta yang telah dilakukan oleh aparat militer Myanmar pada tanggal 1 Februari 2021 merupakan tindakan yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia. Tindakan tersebut tidak hanya mengancam kehidupan penduduk Myanmar, namun juga berpotensi mengancam stabilitas kawasan secara keseluruhan.

Pasca pengambilan kekuasaan secara ilegal yang diketuai oleh Jenderal Min Aung Hlaing, aparat militer melakukan berbagai tindakan kekerasan dan sewenang-wenang yang berujung pada meningkatnya kekerasan dan ancaman terhadap pembela hak asasi manusia.

Hingga saat ini, setidaknya 700 orang menjadi korban penangkapan sewenang-wenang, termasuk diantaranya Penasehat Negara Aung San Syuu Kyi, Presiden Win Myint, aktivis demokrasi, pembela hak asasi manusia, dan jurnalis. Selain itu, banyak aktivis dan pimpinan telah diculik oleh polisi, dan hingga saat ini belum ada informasi keberadaan mereka. Beberapa dari mereka ada yang membutuhkan tindakan medis atas penyakit yang dideritanya serta pendampingan hukum yang mendesak. 

Militer Myanmar juga secara terang-terangan melakukan tindakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa, termasuk diantaranya penggunaan senjata api untuk membubarkan kerumunan pengunjuk rasa, penggunaan kekerasan oleh aparat kepolisian, dan pengerahan penembak jitu untuk membunuh warga sipil yang berpartisipasi dalam unjuk rasa menentang rezim militer tersebut. Sedikitnya tujuh pengunjuk rasa tewas, dua remaja, satu orang ditembak di kepala berusia 20 tahun. Militer juga diketahui telah mengerahkan 33rd Light Infantry Division (33 LID) untuk melakukan serangan mematikan di Mandalay (21 Februari 2021) – divisi yang terlibat dan bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan di terhadap etnis, termasuk Shan, Kachin, dan juga terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine. 

Dengan dalih untuk mengendalikan stabilitas negara, militer juga telah membatasi dan menghentikan akses internet dan komunikasi di beberapa daerah tanpa batasan yang jelas. Selain itu, militer juga sedang merencanakan amandemen hukum terkait komunikasi di ranah siber untuk memperkuat cengkraman dan pengawasan atas alur informasi yang beredar. 

Hampir satu bulan semenjak kekacauan politik ini berlangsung, penduduk di Myanmar tidak gentar. Aksi protes secara damai dan gerakan pembangkangan sipil (Civil Disobedience Movement) terjadi di seluruh negeri, termasuk di Yangon, Myitkyina, and Mandalay. Pada tanggal 22 Februari 2021, jutaan orang juga sedang bergabung dalam aksi protes pemogokan umum 22222 (Five twos) untuk melawan rezim militer serta meminta militer untuk membebaskan tahanan dan segera mengembalikan kekuasaan pada rakyat.

Menyingkapi krisis yang terjadi di Myanmar, ASEAN, dibawah keketuaan Brunei Darussalam, dan beberapa negara di ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Indonesia telah mengeluarkan pernyataan agar Myanmar dapat menghormati prinsip-prinsip demokrasi dan penegakan hak asasi manusia, dan meminta agar stabilitas dapat dicapai. Indonesia, sebagai negara yang memiliki pengaruh besar di ASEAN, juga berkomitmen untuk mengambil peran aktif untuk mendorong peran ASEAN dalam penyelesaian konflik di Myanmar, salah satunya dengan meminta untuk diadakannya special ASEAN summit untuk membahas situasi tersebut.

Pada hari Selasa, 24 Februari 2021, Menteri Luar Negeri Indonesia telah bertemu dengan Wunna Maung Lwin yang ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri Myanmar oleh militer setelah Kudeta. Pada kesempatan tersebut, Indonesia menyampaikan posisinya terkait situasi di Myanmar, termasuk di antaranya untuk mengedepankan keselamatan dan kesejahteraan penduduk Myanmar, meminta agar militer menghentikan segala bentuk tindak kekerasan, dan mengedepankan proses transisi demokrasi yang inklusif. Namun demikian, FORUM-ASIA, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Asia Justice and Rights (AJAR) mendesak pemerintah Indonesia agar memiliki posisi dan strategi yang jelas keberpihakannya terhadap penegakan hak asasi manusia dan demokrasi, serta transparan dan inklusif dengan masyarakat sipil baik di Myanmar, Indonesia, maupun di kawasan. Hal ini menjadi sangat penting agar langkah-langkah yang diambil pemerintah Indonesia tidak diartikan sebagai bentuk legitimasi pengambilan kekuasaan yang dilakukan oleh militer dan mengkhianati prinsip demokrasi itu sendiri. Sebagai salah satu anggota dari Dewan HAM PBB dan anggota non-permanen Dewan Keamanan PBB, Indonesia telah duduk di posisi yang sangat strategis untuk menjadi pihak paling depan dalam memberikan dorongan kepada pemerintah Myanmar untuk menghentikan kudeta militer yang pada akhirnya dapat berimbas pada keberlangsungan hak asasi manusia dan demokrasi di Myanmar dan ASEAN. 

Perlu diingatkan kembali bahwa Myanmar memiliki sejarah kelam terkait kudeta dan melegitimasi tindakan militer Myanmar telah secara terbuka mencoreng demokrasi dan melakukan pelanggaran HAM berat serta persekusi etnis minoritas hanya akan membawa dampak buruk bagi demokrasi dan penegakan hak asasi manusia di Myanmar dan juga di kawasan. Oleh karena itu, penting agar langkah-langkah diplomasi yang diambil oleh Pemerintah Indonesia sejalan dengan tuntutan yang diajukan oleh rakyat Myanmar dan menentang tindakan pengambilan kekuasan yang dilakukan oleh aparat militer tersebut. Secara khusus, Indonesia harus merangkul negara-negara anggota ASEAN dan bersama-sama mendesak aparat militer di Myanmar untuk:

  • Segera hentikan semua kekerasan terhadap pengunjuk rasa dan akhiri penangkapan sewenang-wenang;
  • Membebaskan semua tahanan secepatnya dan memastikan agar tidak ada tindakan kekerasan terhadap mereka setelahnya;
  • Memberikan kembali akses ke internet, dan platform media sosial, serta menghentikan upaya perubahan undang-undang keamanan siber; 
  • Mengembalikan pemerintah sipil yang telah dipilih secara sah legitimate oleh rakyat Myanmar. 

Selain itu, Indonesia harus dapat mendesak ASEAN agar:

  • Kooperatif dan mendukung Badan Hak Asasi Manusia dan Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengirim tim investigasi ke Myanmar;
  • Tidak melegitimasi pemerintahan yang dibentuk oleh junta militer dalam hal apapun, termasuk dengan mengunjungi dan membangun hubungan diplomasi dengan aparat militer tersebut;
  • Memastikan agar segala upaya dialog yang akan dilakukan ASEAN tentang rekonsiliasi di Myanmar tidak melegitimasi rezim militer.

Jakarta, 24 Februari 2021

FORUM ASIA, KontraS dan AJAR

Narasumber
Indria Fernida (ifernida@asia-ajar.org)

Narahubung:
Fatia Maulidiyanti (fatia@kontras.org)
Cornelius Hanung (ea-asean@forum-asia.org)

Februari 25, 2021

Indonesia: Hentikan tindakan melegitimasi rezim militer, kembalikan kekuasaan pada rakyat Myanmar

Kudeta yang telah […]
Februari 24, 2021

Surat Terbuka: Mengecam Tindakan Rektor Unilak atas Dikeluarkannya SK Drop Out terhadap 3 Mahasiswa Universitas Lancang Kuning

Yth. Rektor Universitas […]
Februari 24, 2021

Logika Keliru Dalam Rencana Pemerintah Menyusun Pedoman Interpretasi terhadap UU ITE

Terdapat kabar mengenai […]
Februari 22, 2021

Vaksin Mandiri untuk Kesetaraan dan Keadilan Sosial: Tolak atau Tunda?

Jakarta, 21 Februari […]
Februari 18, 2021

Koalisi Masyarakat Sipil: Libatkan Pihak Independen Dalam Tim Kajian UU ITE

Mencermati isi Keputusan […]
Februari 16, 2021

Presiden Jokowi Segera Cabut Pasal Karet UU ITE, Rakyat Mendesak dan Siap Mengawal

Senin, 15 Februari […]
Februari 15, 2021

Usut Tuntas Kekerasan Dan Penyerangan Terhadap Warga Dan Pembela HAM di Taman Sari

Kamis, 11 Februari […]
Februari 11, 2021

Komponen Cadangan pada Buruh dan Mahasiswa adalah Strategi Kooptasi Kekuasaan pada Gerakan Buruh dan Mahasiswa

Koalisi Masyarakat Sipil […]
Februari 8, 2021

Polda Kalimantan Timur Harus Segera Lakukan Penyidikan terhadap Dugaan Penyiksaan Mengakibatkan Kematian oleh Anggota Polresta Balikpapan KontraS, 2021

Komisi untuk Orang […]
Februari 7, 2021

32 Tahun Ketiadaan Komitmen Negara untuk Menuntaskan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Talangsari 1989

Komisi Untuk Orang […]