Siaran Pers Aliansi Organisasi Masyarakat Sipil
ELSAM, ICJR, LBH Pers, PSHK, YLBHI, LBH Masyarakat, KontraS, PBHI, IMPARSIAL

Menindaklanjuti keluarnya SKB 8 Menteri/Kepala Lembaga/Badan tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI), Kepala Kepolisian RI (Kapolri) telah mengeluarkan Maklumat Kapolri No. 1/Mak/I/2021 tentang Kepatuhan Terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI. Meski maklumat tersebut pada dasarnya semata-mata sebagai perangkat teknis implementasi kebijakan, namun beberapa materinya justru telah memicu kontroversi dan perdebatan, terutama dari aspek pembatasan hak asasi manusia. Salah satu yang paling kontroversial adalah perihal larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial, sebagaimana diatur oleh poin 2d, yang disertai ancaman tindakan hukum, seperti disebutkan dalam poin 3 Maklumat.

Akses terhadap konten internet merupakan bagian dari hak atas informasi yang dilindungi UUD 1945, khususnya dalam ketentuan Pasal 28F, dan juga sejumlah peraturan perundangundangan, seperti Pasal 14 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karenanya dalam melakukan setiap tindakan pembatasan terhadap hak-hak tersebut, harus sepenuhnya tunduk pada prinsip dan kaidah pembatasan, sebagaimana diatur Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Selain itu, khusus dalam konteks pembatasan hak atas informasi, sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, juga tunduk pada mekanisme yang diatur Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP), yang telah disahkan dalam hukum Indonesia melalui UU No. 12/2005.

Dalam hukum hak asasi manusia, setidaknya ada tiga persyaratan yang harus diperhatikan untuk memastikan legitimasi dari suatu tindakan pembatasan yang dibolehkan (permissible restriction). Ketiga syarat tersebut sering dikenal sebagai three part test (tiga uji elemen), yang mengharuskan setiap pembatasan: diatur oleh hukum (prescribed by law), yang oleh sejumlah ahli ditafsirkan harus melalui undang-undang atau putusan pengadilan; untuk mencapai tujuan yang sah (legitimate aim), yaitu: keamanan nasional, keselamatan publik, moral publik, kesehatan publik, ketertiban umum, serta hak dan reputasi orang lain; pembatasan itu benarbenar diperlukan (necessity) dan dilakukan secara proporsional (proportionality). Prinsip ini sesungguhnya dimaksudkan untuk memastikan tidak dilanggarnya hak asasi warga negara dalam setiap tindakan pembatasan yang dilakukan.

Lebih jauh, mengacu pada Komentar Umum No. 34/2011 tentang Kebebasan Berekspresi, keseluruhan perlindungan hak yang dijamin oleh ketentuan Pasal 19 KIHSP, juga sepenuhnya menjangkau konten-konten yang menggunakan medium internet, termasuk dalam hal
pembatasannya. Hal ini juga sejalan dengan Resolusi Dewan HAM 20/8 tahun 2012 yang menegaskan bahwa perlindungan hak yang dimiliki setiap orang saat offline, juga melekat saat mereka online. Perlindungan ini khususnya terkait dengan kebebasan berekspresi, yang berlaku tanpa melihat batasan atau sarana media yang dipilih. Resolusi itu kemudian diperkuat dengan keluarnya Resolusi 73/27 Majelis Umum PBB, pada 2018, yang mengingatkan pentingnya penghormatan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.

Dengan pertimbangan tersebut di atas, pertanyaannya kemudian apakah Maklumat Kapolri No. 1/Mak/I/2021 telah memenuhi persyaratan prescribed by law, legitimate aim, dan necessity? Dasar keluarnya Maklumat yang kontennya berisi perintah pembatasan, yang hanya disandarkan pada SKB 8 Menteri/Kepala Lembaga/Badan, tentu jauh dari memenuhi persyaratan diatur oleh hukum. SKB pada dasarnya merupakan suatu penetapan yang berbentuk Keputusan (beschikking), sehingga muatan normanya bersifat individual, konkrit, dan sekali selesai (einmalig). Tidak semestinya dia bersifat mengatur keluar, luas, dan terusmenerus (dauerhaftig). Artinya, maklumat ini semestinya hanya ditujukan kepada anggota Polri, yang berisi perintah dari Kepala Polri. Wadah hukumnya tidak memungkinkan untuk mengatur materi yang berisi larangan atau pembatasan hak-hak publik.

Pun demikian tidak ada kejelasan tujuan yang sah (legitimate aim) yang hendak dicapai, apakah untuk mencapai tujuan keamanan nasional, keselamatan publik atau ketertiban umum? Termasuk alasan keharusan untuk melakukan tindakan pembatasan akses konten (necessity), situasi atau pelanggaran HAM seperti apa yang terjadi jika publik tetap mengakses konten yang dimaksud? Akibatnya, pembatasan akses informasi/konten internet, dalam bentuk pelarangan, sebagaimana dimaksud khususnya dalam poin 2d, justru tidak memenuhi prinsip proporsionalitas. Lebih jauh, kalau pun mengacu pada Pasal 40 ayat (2) huruf b UU Informasi dan Transaksi Elektronik, yang memberikan wewenang bagi pemerintah untuk melakukan tindakan pembatasan akses internet, pun hanya terhadap konten yang dinilai melanggar hukum. Selain itu juga harus tunduk pada serangkaian prosedur, dan bentuknya melalui tindakan penapisan/pemblokiran, bukan dalam bentuk larangan publik untuk mengakses, dengan disertai ancaman tindakan pemidanaan.

Oleh karena itu, mencermati materi dari Maklumat Kapolri No. 1/Mak/I/2021 serta berbagai peraturan perundang-undangan yang menjamin perlindungan hak asasi manusia, termasuk persyaratan untuk melakukan pembatasan terhadap hak asasi, semestinya Kepolisian memperbarui Maklumat dimaksud, atau setidak-tidaknya mencabut ketentuan poin 2d. Hal ini untuk memastikan setiap tindakan hukum yang dilakukan sejalan dengan keseluruhan prinsip negara hukum dan hak asasi manusia. Termasuk konsistensi dengan Peraturan Kapolri No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian sendiri. Bangsa ini tentunya tidak ingin kembali menjadi bangsa tertutup, yang secara ketat dan sewenang-wenang mengatur informasi yang dapat diakses oleh warganya.

Jakarta, 2 Januari 2021

Untuk informasi lebih lanjut silakan menghubungi:
Lintang Setianti (Peneliti ELSAM): 085711624684
Ade Wahyudin (Direktur LBH Pers) : 082146888873
Muhamad Isnur (Ketua YLBHI Bid Advokasi): 081510014395
Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS): 081913091992

Januari 2, 2021

Maklumat Kapolri Melanggar Konstitusi dan Kaidah Pembatasan Hak Asasi

Siaran Pers Aliansi […]
Desember 30, 2020

Melawan Kekerasan Berbasis Agama Dengan Tetap Memperhatikan Prinsip Negara Hukum

Pers Rilis Koalisi […]
Desember 25, 2020

Adili Oknum TNI Pelaku Kekerasan dan Pembunuhan di Intan Jaya, Papua dalam Peradilan Umum!

Komisi untuk Orang […]
Desember 18, 2020

Program Pemulihan Kepada Korban Talangsari Harus Dilanjutkan Dengan Penyelesaian Yudisial

Komisi untuk Orang […]
Desember 18, 2020

Pemerintah Harus Terbuka dalam Membahas Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme

Saat ini pemerintah […]
Desember 15, 2020

Surat Terbuka: Jaksa Agung Harus Melaksanakan Perintah Presiden untuk Menyelesaikan Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu lewat Jalur Yudisial

Dengan Hormat, Komisi […]
Desember 10, 2020

Catatan Hari HAM 2020: HAM dalam Bayang-Bayang Otoritarianisme

Memperingati hari Hak […]
Desember 9, 2020

Catatan Kritis Tahun 2020: Reformasi Habis Dikorupsi Oligarki!

Menguatnya konsolidasi oligarki […]
Desember 8, 2020

Pembela HAM dalam Bahaya

Press Release Koalisi […]
Desember 7, 2020

Polri Harus Usut Tuntas Kematian 6 Orang yang Mendampingi Perjalanan Rizieq Shihab secara Transparan dan Akuntabel!

Komisi untuk Orang […]