Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kecewa dengan vonis 4 tahun penjara yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kepada Brigadir Abdul Malik sebagai pelaku penembakan terhadap mahasiswa Universitas Halu Oleo, yakni Himawan Randi saat dirinya berpartisipasi dalam demonstrasi menolak RKUHP dan Revisi UU KPK pada 26 September 2019 lalu. Berdasarkan pernyataan yang kami himpun dari media, putusan itu sejalan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kendari yang meminta memenjarakan Brigadir Abdul Malik selama 4 tahun, dengan dalil Pasal 359 dan 360 Ayat (2) KUHPidana. Majelis Hakim memutuskan anggota Satreskrim Polres Kendari itu bersalah karena kealpaannya menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan senjata api berpeluru tajam.
Berkenaan dengan kasus di atas, KontraS pernah melakukan pendalaman fakta peristiwa, khususnya terkait dengan tindakan pengamanan unjuk rasa oleh aparat kepolisian dengan kekuataan tidak proporsional dan terukur sehingga berimplikasi pada tewasnya 2 (dua) orang Mahasiswa Universitas Halu Oleo akibat luka tembak. Putusan tersebut mencerminkan bahwa mekanisme peradilan pidana bagi anggota Kepolisian hanyalah formalitas, sebab menambah deretan rendahnya penjatuhan vonis bagi aparat keamanan yang melakukan tindakan diluar aturan dengan mengatasnamakan penegakan hukum.
Tindak pidana yang dilakukan oleh Brigadir Abdul Malik melahirkan persoalan-persoalan baru yang diawali dengan mekanisme penjatuhan sanksi pelanggaran kode etik tanpa melalui mekanisme peradilan umum terlebih dahulu. Hal itu tentu saja bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dalam proses penegakan hukum. Selain itu, penjatuhan putusan sidang etik tersebut dilakukan tanpa memerhatikan prinsip keterbukaan. Akibat dari proses sidang yang tertutup itu berdampak pada kerugian yang dialami korban, mengingat korban tidak bisa mendapatkan informasi secara utuh. Padahal, berdasarkan Pasal 3 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 19/2012), dijelaskan bahwa pelaksanaan sidang etik harus menerapkan prinsip transparan dan dilakukan secara jelas, terbuka, dan sesuai prosedur.
Tumpulnya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku penembakan terhadap La Randi menimbulkan kekhawatiran bahwa pihak Kepolisian kembali tidak akan memprioritaskan keterbukaan serta akuntabilitas pengusutan kasus kesewenang-wenangan aparat dalam penanganan massa aksi. Bahwa tindakan anggota kepolisian pada saat pengamanan aksi unjuk rasa tersebut merupakan tindakan di luar prosedur dalam melakukan pengendalian terhadap massa, merujuk pada Pasal 7 Ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, dinyatakan bahwa “Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d adalah: a. bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa, d. membawa senjata tajam dan peluru tajam, dan h. melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan.”
Bahwa berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, maka dengan ini kami mendesak:
Jakarta, 4 Desember 2020
Badan Pekerja KontraS,
Fatia Maulidiyanti
Koordinator
Narahubung : Adelita Kasih – 081311990790