Tujuh Puluh Lima Tahun kemerdekaan RI tidak menjamin Indonesia telah merdeka dari segala jenis penindasan. Budaya kekerasan, eksploitasi sumber daya alam, populisme, penyempitan ruang masyarakat sipil, kekerasan berbasis gender, rasisme, sampai diskriminasi terhadap kelompok minoritas masih menjadi masalah kehidupan sehari-hari yang menghantui kehidupan masyarakat, khususnya kelompok-kelompok rentan di Indonesia. Narasi-narasi perihal HAM seakan-akan hanya menjadi pemanis bagi para pejabat dalam berbagai pidato-pidato yang disampaikan, ataupun ketika mengutarakan janji-janji politik pada masa kampanye Pemilu, namun pada nyatanya sangat minim realisasinya dalam bentuk tindakan maupun kebijakan Pemerintah.


Dari segi hukum, reformasi hukum dalam berbagai sektor yang diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa justru diganggu dengan berbagai macam kepentingan sehingga berujung pada munculnya celah-celah eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, konflik agraria, kriminalisasi terhadap kelompok rentan dan pembela HAM, dan pemerintah terus menampilkan sikap negara yang enggan menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara berkeadilan melalui jalur pro-justicia. Terdapat pula masalah tumpulnya penegakan hukum terhadap berbagai tindak kekerasan, penyiksaan, sampai penghukuman tidak manusiawi yang dilakukan oleh aparat negara. Dari segi lingkungan hidup, eksploitasi yang tidak bertanggung jawab terhadap alam terjadi setiap harinya tanpa adanya instrumen hukum yang mumpuni untuk memastikan eksploitasi sumber daya alam dilakukan secara berkelanjutan. Belum lagi konflik agraria yang membuntuti niat-niat negara dan korporasi dalam melakukan eksploitasi sumber daya alam, dan akan diperparah melalui legislasi “Omnibus Law” RUU Cipta Kerja. Berkaitan dengan situasi di atas, hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih dibelenggu oleh penjajahan dari negaranya sendiri, karena masyarakat tidak sepenuhnya dapat menikmati hak asasi manusia secara utuh. Keseluruhan isu tersebut berupa konflik agraria, kriminalisasi, dan budaya kekerasan terjadi dalam derajat yang lebih parah di Papua terutama dengan militerisasi yang kian gencar dan sulitnya mengakses informasi yang imparsial dan independen dari Papua.


Dalam aspek kesusastraan, saat ini masih terjadi pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, salah satunya dalam medium sastra melalui banyaknya peristiwa razia buku yang dianggap mengandung paham komunisme. Dalam hal keberagaman, diskriminasi, ancaman kekerasan, dan ketidakberpihakan negara masih menjadi salah satu realita hidup sehari-hari kelompok-kelompok rentan dan mereka-mereka yang dianggap “berbeda” oleh masyarakat. Lebih lanjut, tidak jarang diskriminasi ini dilegitimasi oleh negara melalui berbagai kebijakan yang diskriminatif, seperti peristiwa penyegelan terhadap pembangunan makam leluhur Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan beberapa waktu lalu. Hal yang sama dialami oleh Perempuan dan orang-orang dengan ekspresi dan identitas gender yang dianggap berbeda dengan mayoritas masyarakat Indonesia, yang dipaksa untuk hidup dalam cengkeraman patriarki.


Tidak lupa, kondisi kebebasan berekspresi yang meskipun dilindungi berdasarkan hukum yang berlaku, namun pada praktiknya belum sepenuhnya lepas dari berbagai jenis ancaman terhadap orang-orang yang menyampaikan pendapat dan ekspresi kritisnya terhadap pemegang kekuasaan. Tentunya kita masih ingat dengan berbagai kekerasan terhadap orang-orang yang menyuarakan ekspresinya, baik kekerasan fisik maupun psikis melalui berbagai medium teknologi, seperti yang menimpa Ravio Patra dan sejumlah panitia penyelenggara diskusi di beberapa kampus.
Pada akhirnya, KontraS meminta negara sebagai pemegang tanggung jawab harus aktif dalam memaknai kemerdekaan bukan lagi sekadar seremonial tahunan semata, melainkan mewujudkannya dalam bentuk konkret dari kebijakan sampai tingkatan implementasi di kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jakarta, 17 Agustus 2020
Badan Pekerja KontraS

Fatia Maulidiyanti
Koordinator

Agustus 17, 2020

Refleksi 75 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan

Tujuh Puluh Lima […]
Agustus 17, 2020

Refleksi 75 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia

Tujuh Puluh Lima […]
Agustus 13, 2020

Pidana dalam Kasus Jerinx Tidak Tepat, Kepolisian Harus Segera Hentikan Penyidikan

Rabu, 12 Agustus […]
Agustus 12, 2020

Penyiksaan Merupakan Tindak Kejahatan! Proses dan Adili Secara Pidana Anggota Polisi yang Melakukan Penyiksaan

Komisi Untuk Orang […]
Agustus 11, 2020

Sidang Kembali Ditunda, Para Penggugat Minta PTUN Segera Keluarkan Putusan Sela Memerintahkan Presiden Menunda Pelaksanaan Surpres Omnibus Law

Proses persidangan gugatan […]
Agustus 11, 2020

Diskusi Publik: Menyingkap Perpres Komisi Kebenaran

Telah berlangsung Serial […]
Agustus 10, 2020

Menuntut Presiden Jokowi Segera Selesaikan Konflik Agraria Petani Mencirim dan Simalingkar dengan PTPN II

Siaran Pers Komite […]
Agustus 8, 2020

22 Tahun Peringatan DOM Aceh, Pemerintah Masih Ingkar

Mengingat 22 tahun […]
Agustus 7, 2020

Diskusi Publik: Yang Perlu Diketahui dari Komisi Kebenaran

Telah berlangsung Kegiatan […]
Agustus 5, 2020

Kemenkes: Kembali Fokus Urus Kesehatan, Lupakan Cuitan!

Telah beredar surat […]