Ferdian Paleka seorang konten kreator mengunggah video yang bertujuan untuk merendahkan derajat
kelompok transpuan menuai kecaman dari publik. Tidak lama, tindakannya tersebut direspon oleh aparat penegak hukum kepolisian daerah Jawa Barat, Mapolrestabes Bandung. Perbuatan Ferdian termasuk dalam ujaran kebencian menyasar kelompok rentan yang sayangnya kita tidak memiliki payung hukum untuk menjawab persoalan tersebut. Peristiwa prank menyasar kelompok minoritas serupa terjadi di Barcelona pada tahun 2017 di mana seorang kreator menggunggah video memberikan oreo yang diganti dengan pasta gigi kepada gelandangan. Kreator tersebut dihukum penjara 15 bulan

dengan denda puluhan juta rupiah.
Ferdian Paleka justru dijerat dengan pasal-pasal UU No 11 tahun 2008 tentan Informasi & Transaksi Elektronik (ITE). UU berisi pasal-pasal karet yang kerap digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi yang bila digunakan untuk menjerat FP maka dapat juga digunakan untuk
menjerat pelaku perekam dan penyebar video pembalasan perundungan terhadap FP. Dalam hal ini koalisi berpendapat penggunaan undang-undang tersebut tidak tepat karena tidak memenuhi unsur-unsur pidana yang ada didalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, akan tetapi dalam hal ini koalisi tetap menghormati proses peradilan pidana yang dilakukan oleh penyidik.

Pembalasan perundungan yag dialami Ferdian di duga di Rumah Tahanan adalah preseden buruk yang terjadi terus menerus dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Peristiwa ini diketahui setelah video perundungan terhadap FP dipertontonkan melalui media sosial yang kuat dugaan berasal dari dalam tahanan, entah dilakukan oleh sesama narapidana atau oleh aparat.

Terlepas dari perlakuan keji yang telah dilakukan oleh tersangka dan dua temannya terhadap para
korban transpuan, dalam hal ini negara tetap perlu mengambil langkah tegas dalam menjamin hak-hak tersangka di dalam tahanan. Dilakukannya tindakan perundungan oleh sesama tahanan tidak serta merta menghilangkan tanggungjawab aparat kepolisian yang gagal melakukan pengawasan dan mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang melanggar hukum, terlebih FP masih dalam proses pemeriksaan oleh institusi kepolisian. Pembiaran yang dilakukan oleh pihak berwajib telah melanggar prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Konvensi Hak Sipil dan Politik (UU No. 12 tahun 2005) dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan yang Kejam (UU. 5 tahun 1998). Perlu dicatat, bahwa jika ditemukan fakta atas pembiaran terjadinya penganiayaan atau tindakan kekerasan yang dialami oleh FP oleh petugas tahanan, maka petugas tersebut juga dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas penganiayaan yang terjadi.

Kami mengingatkan bahwa peristiwa ini tidak saja memperlihatkan buruknya pengawasan dan
pengendalian dalam sistem penahanan di institusi penegak hukum, tetapi juga mengesampingkan peran dan tanggungjawab Negara yang seharusnya fokus untuk menjamin pemulihan hak-hak para korban transpuan yang selama ini diabaikan dalam sistem peradilan pidana. Penggunaan pendekatan pidana

pada kasus ini dapat menimbulkan masalah jika pemenuhan hak-hak korban tidak diperhatikan. Sebab, stigmatisasi dan labelling yang dialami oleh transpuan justru tidak terselesaikan dengan sekedar mempidana pelaku.

Sebaliknya, Penggunaan hukum pidana dalam perkara ini justru berpotensi merugikan korban. Sebab, korban hanya akan dipandang sebagai saksi dalam konteks pembuktian tindak pidana, sehingga fokus yang diberikan hanya pada pelaku pembuktian fakta atas tindak pidana saja. Padahal pendampingan terhadap korban dan pemenuhan hak-hak korban itu jauh lebih penting untuk diperhatikan oleh pemerintah ketimbang sekedar memenjarakan pelaku. Seharusnya dalam hal ini, aparat penegak hukum bisa lebih mengedepankan prinsip keadilan restoratif dimana fokus utama penegakan hukum adalah perlindungan terhadap korban, dalam hal ini yaitu adalah transpuan yang termarjinalkan karena adanya tindakan dari FP. Sehingga dalam hal ini polisi bisa lebih mengutamakan mendorong pelaku melakukan permintaan maaf kepada korban serta ganti rugi terhadap korban dan kelompok minoritas termarjinalkan lainnya.

Terkait dengan fakta-fakta tersebut diatas, koalisi mendesak agar Kapolda Jawa Barat untuk mengusut tindakan perundungan di lingkungan tahanan kepolisian, termasuk menindak tegas anggota kepolisian yang bertanggungjawab atas pembiaran terjadinya tindakan merendahkan martabat tersebut. Kami juga mendesak agar peristiwa pembiaran terhadap tersangka yang berada di dalam tempat penahanan tidak boleh terjadi lagi atas alasan apapun. Hal ini guna menjamin penegakan hukum yang due process dan menghindari tindak kekerasan ataupun “perploncoan” terhadap tersangka di dalam tahanan.
Kami juga mendesak Negara untuk segera memberikan upaya pemulihan yang efektif dan bermartabat bagi para korban, termasuk melindungi para korban dari potensi terjadinya reviktimisasi bagi para korban dengan instrumen hukum pidana dalam perkara ini.

KOALISI PEMANTAU PERADILAN
(IJRS, KontraS, PKBI, LBH Masyarakat, PSHK, YLBHI, ICJR, ELSAM, LBH Pers, PBHI, LBH Jakarta, LeIP,
Institut Perempuan, LBH Bandung, HRWG, Imparsial) to

Mei 10, 2020

Hentikan Rantai Kekerasan, Fokus Pada Korban! (Menyikapi Kasus Pembalasan Perundungan Yang Dialami Ferdian Paleka)

Ferdian Paleka seorang […]
Mei 10, 2020

Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme Mengancam HAM di Indonesia

Pemerintah akhirnya menyerahkan […]
Mei 8, 2020

Gugatan Warga Beutong Ateuh Banggalang Dikabulkan Mahakamah Agung, Bukti Pemerintah Serampangan Memberikan Izin Pertambangan

Komisi Untuk Orang […]
Mei 8, 2020

Kebijakan Ekonomi Pemerintah Berbasis Keinginan, Melupakan Faktor Kesehatan, Mengabaikan Hak Hidup

Pemerintah semakin nyata […]
Mei 4, 2020

Sebagai Sahabat Pengadilan/Amicus Curiae Atau Pihak Terkait yang Berkepentingan Tidak Langsung Pada Perkara Nomor No. 89/Pid.B/LH/2020/PN Bls Di Pengadilan Negeri Bengkalis

I. Identitas dan […]
Mei 3, 2020

Menolak ditumbalkan Untuk Kepentingan Pemodal Warga Gugat Keputusan Presiden Bahas RUU Omnibus Law Cilaka Bersama DPR

Kamis, 30 April […]
Mei 1, 2020

Hentikan Proses Penyidikan Terhadap Saka Ridho Aprilyansah, M. Alfian Aris Subakti dan Achmad Fitron Fernanda oleh Penyidik Polresta Malang

Nomor : 69/SK-KontraS/IV/2020 Hal      […]
April 29, 2020

Koalisi Masyarakat Sipil Ancaman Terhadap Demokrasi di Masa Pandemi

Dalam sebuah pernyataan […]
April 28, 2020

Usut Tuntas Kasus Peretasan: Ravio Laporkan Kasus Peretasan ke Polda Metro Jaya

Ancaman terhadap kebebasan […]
April 26, 2020

Teror kepada Rakyat Harus Dihentikan, Segera!

Siaran Pers Fraksi […]