Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengecam keras tindak penyiksaan yang diduga dilakukan oleh Anggota Reskrim Polres Gresik terhadap korban yang bernama Alditia Rosadi. Sebelumnya Alditia Rosadi ditahan setelah membeli handphone dari Hengky Pratama Susanto dan Irfan Suryadi yang diduga sebagai pelaku pembunuhan Aris Supriyanto warga Desa Pranti, Menganti, Gresik.

Berdasarkan informasi yang telah kami himpun dari berbagai platform media, kejadian bermula ketika korban melihat unggahan di Facebook dan lalu membeli handphone secara Cash on Delivery dari Irfan Suryadi pada 29 November 2023 lalu., dirinya tidak mengetahui bahwa handphone yang dia beli merupakan barang hasil tindak pembunuhan dan pencurian yang dilakukan oleh Hengki Pratama dan Irfan Suryadi terhadap korban Aris Supriatno. Lebih lanjut, Alditia juga menyampaikan kepada pihak keluarga bahwa dirinya tidak mengenali pelaku baik Hengky ataupun Irfan dan baru mengenal kedua pelaku untuk bertransaksi membeli handphone tersebut.

Selanjutnya atas transaksi jual-beli tersebut, pihak Kepolisian dari Polres Gresik menangkap dan menetapkan Alditia Rosadi sebagai penadah barang hasil pencurian yang dilakukan oleh kedua pelaku Hengky dan Irfan. Pihak Kepolisian menyatakan bahwa setelah melalui rangkaian penyelidikan, mereka menemukan titik handphone yang berada di wilayah Rembang, daerah dimana transaksi jual beli handphone tersebut terjadi. Atas hal tersebut pihak Kepolisian menuduh jika Alditia telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 480 KUHP tentang penadahan. Lebih lanjut, Polisi juga menyatakan jika Alditia telah mengenal pelaku Irfan melalui media Facebook setelah pelaku memposting dan menjual handphone tersebut ke korban Alditia.

Lebih lanjut, Alditia yang saat ini masih di tahan di Polres Gresik diduga mendapatkan tindak penyiksaan oleh pihak Kepolisian. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Alditia kepada kerabatnya, dirinya mengalami tindak penyiksaan seperti disetrum, dipukul pada bagian wajah. Tak hanya itu, Alditia juga mengaku bahwa alat kelaminnya dibakar oleh anggota Kepolisian dengan cara di semburkan api yang bersumber dari tabung alat pembasmi nyamuk yang dipanasi dengan korek api. Akibat hal itu menyebabkan alat kelamin Alditia mengalami luka dan disfungsi. Adapun motif dari tindak penyiksaan ini diduga dilakukan guna mendapatkan pengakuan dari korban Alditia bahwa dirinya memang merupakan penadah dari barang hasil tindak pencurian dan pembunuhan tersebut.

Berdasarkan kronologis tersebut, kami menduga kuat telah terjadi peristiwa salah tangkap yang dilakukan oleh pihak Polres Gresik terhadap korban Alditia Rosadi. Berdasarkan pernyataan yang diberikan oleh Alditia kepada pihak keluarga, dirinya mengatakan bahwa sebelumnya ia tidak pernah mengenal Irfan. Dirinya baru mengenal dan berkomunikasi dengan pelaku ketika ingin melakukan transaksi jual beli handphone tersebut. Hal ini sebetulnya juga dikuatkan oleh pernyataan yang dikeluarkan oleh Kepolisian yang menyatakan bahwa Alditia mengenal pelaku Irfan pasca transaksi jual beli handphone dilakukan.

Atas peristiwa ini, kami mengecam penyiksaan yang dilakukan oleh Polres Gresik terhadap Alditia Rosadi. Sejatinya, Kepolisian dalam menjalankan tugasnya harusnya menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Atas penyiksaan tersebut, Polres Gresik jelas telah melanggar Pasal 11 ayat (1) Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian. Tidak hanya itu, praktik penyiksaan juga telah diatur dalam sistem hukum dan HAM internasional yang dimana aturan ini juga telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Lebih lanjut, Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiannya sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Aturan ini juga sejalan dengan Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Berkenaan dengan hal tersebut, kami mendesak agar pihak Kepolisian dalam hal ini Polda Jawa Timur dapat memproses baik secara etik maupun pidana terhadap anggota yang melakukan penyiksaan tersebut. Tidak hanya terhadap pelaku lapangan, akan tetapi juga terhadap pimpinan atau atasan dari kesatuan tersebut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peristiwa dugaan salah tangkap dan penyiksaan serupa juga pernah terjadi dan dialami oleh Oki Kristianto (warga Banyumas). Ketika itu Oki diduga menjadi korban salah tangkap oleh Unit Reskrim Polsek Baturraden dan Satreskrim Polresta Banyumas. Oki yang ditangkap atas dugaan pencurian kendaraan bermotor juga mendapatkan Penyiksaan yang menyebabkan dirinya meninggal dunia.

Penyiksaan terhadap Alditia ini kembali menambah jumlah kasus penyiksaan yang terjadi di Indonesia. Kami mencatat setidaknya pada kurun waktu Juni 2022 hingga Mei 2023 lalu telah terjadi sebanyak 54 kasus penyiksaan, yang dimana 34 diantaranya dilakukan oleh pihak Kepolisian yang menjadi aktor dominan dalam peristiwa penyiksaan.

Atas peristiwa yang telah kami jelaskan diatas, kami mendesak:

Pertama, Polda Jawa Timur untuk dapat memerintahkan kepada jajarannya untuk melakukan rangkaian penyelidikan dan penyidikan atas dugaan salah tangkap dan penyiksaan yang dialami oleh Alditia Rosadi. Kami mendesak agar Kapolda dapat turun untuk memberikan perintah penanganan tindak pidana dan juga sanksi etik sesuai dengan prosedur hukum dan aturan yang berlaku;

Kedua, Kapolri harus dengan segera melakukan langkah untuk mencegah dan menghentikan praktik penyiksaan dan pelanggaran HAM lainnya yang terjadi guna mewujudkan Kepolisian yang memiliki sifat humanis, profesional dan demokratis;

Ketiga, Presiden dan DPR untuk segera meratifikasi Optional Protocol Convention Against Torture (OPCAT) sesuai dengan rekomendasi UPR yang diberikan oleh berbagai negara. Hal ini untuk mencegah keberulangan peristiwa keji penyiksaan dan tindakan-tindakan yang tidak manusiawi lainnya;

Keempat, Komnas HAM untuk proaktif melakukan pemantauan dan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM dalam kasus ini.

Jakarta, 19 Desember 2023
Badan Pekerja KontraS

Dimas Bagus Arya, S.H.
Koordinator

Narahubung: 0896 5158 1587

Desember 20, 2023

Dugaan Penyiksaan Dalam Proses Hukum kembali Terjadi: Anggota Polres Gresik harus Segera Dihukum Berat

Komisi untuk Orang […]
Desember 18, 2023

Hentikan Intimidasi dan Teror Menuju Pemilu 2024!

Komisi untuk Orang […]
Desember 14, 2023

Pembacaan Duplik pada Sidang Kriminalisasi Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar: Penyesatan oleh JPU Harus Dihentikan dan Hakim Harus Bebaskan Fatia-Haris Dari Seluruh Dakwaan

Jakarta, 11 Desember […]
Desember 13, 2023

Respon KontraS atas Debat Perdana Calon Presiden: Momentum Debat Perdana Kurang Maksimal Menguji ‘Isi Kepala’ Capres dan Membahas Topik HAM Secara Substansial

Debat perdana Calon […]
Desember 10, 2023

Catatan Hari HAM 2023 “HAM dalam Manipulasi dan Cengkraman Hegemoni Kekuasaan”

10 Desember 2023 […]
Desember 10, 2023

Catatan Hari HAM 2023: HAM Dalam Manipulasi dan Cengkraman Hegemoni Kekuasaan

10 Desember 2023 […]
Desember 7, 2023

9 Tahun Peristiwa Paniai: Rekayasa Peradilan Tanpa Keadilan!

Koalisi Masyarakat Sipil […]
Desember 7, 2023

#BoikotPenjahatHAM: Pemilu Harus Jadi Ruang Kritisi Pelaku Pelanggaran HAM!

Masa kampanye sudah […]
Desember 7, 2023

KontraS Serahkan Catatan untuk Debat Perdana Capres-Cawapres periode 2024-2029 Mendatang: Debat Harus Jadi Momentum Menggali ‘Isi Kepala’ Capres – Cawapres terkait Hak Asasi Manusia!

Debat Calon Presiden […]
Desember 5, 2023

Pembacaan Replik pada Sidang Kriminalisasi Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar: Jaksa Kembali Gagal Paham, Sesat Pikir dan Tidak Menjawab Keseluruhan Isi Pledoi

Jakarta, 4 Desember […]