Siaran Pers 8 Maret 2020

Latar Belakang Konflik Agraria                                                                                                      

Kriminalisasi masyarakat Desa Penyang dan masyarakat Desa Tanah Putih merupakan bentuk wujud nyata kekhawatiran Perusahaan terhadap perjuangan untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan bagi masyarkat desa dengan sangkaan pencuri buah kelapa sawit yang bertujuan agar masyarakat desa dan anggota kelompok koperasi jauh dari kebenaran. Padahal tujuan dari perjuangan itu masyarakat desa/anggota kelompok akan hidup dengan penuh kesejahteraan dan kebaikan hidup.

Bahwa penangkapan tidak bisa dilepaskan dengan kemungkinan adanya skenario jahat dari PT. Hamparan Masawit Bangun Persada, dari isu perlawanan warga masyarakat Desa Penyang dan masyarakat Desa Tanah Putih terhadap perampasan tanah yang dilakukan oleh PT. Masawit Bangun Persada sejak tahun 2006.

Konflik bermula dari Warga Desa Penyang dan Desa Tanah Putih menuntut PT. Hamparan Masawit Bangun Persada, seluas 1.865,8 Ha menuntut agar mengembalikan bekas lahan ladang warga yang dirampas oleh oleh PT. Hamparan Masawit Bangun Persada karena hasil pengukuran batas luar HGU ditemukan bahwa perusahaan telah melakukan penanaman diluar batas HGU seluas 1.865,8 Ha. Tanah masyarakat yang turut diserobot di luar HGU dan IUP adalah seluas 117 Ha.

Kronologis Singkat Penangkapan

Pada 7 Maret 2020, kurang lebih pukul 02.30 Sejumlah kurang lebih 15 polisi yang teridentifikasi memasuki Mess WALHI, (tidak teridentifikasi jumlah aparat kepolisian yang berada di luar Mess WALHI). Kepolisian bertemu dengan penjaga mess dan memperkenalkan dirinya dari KAPOLDA KALTENG, dan tiba-tiba memasuki ruangan dan memeriksa kamar, beberapa tidak melepas sepatunya memasuki ruangan. Tidak ada satupun yang di dalam ruangan teridentifikasi menggunakan seragam.

Salah satu aparat kepolisian menunjukkan surat penangkapan, dan kemudian diminta oleh penjaga Mess, tetapi tidak bersedia memberikan, salah satu aparat lainnya dengan nada tinggi justru menyampaikan _“kamu mempersulit !!”_ . Kemudian dua (2) warga Kalimantan Tengah diminta mengemasi barangnya untuk dibawa. Setelah itu polisi pergi membawa kedua orang warga Kalimantan Tengah.

– – – – – – –

Oleh karena itu, Walhi, SOB, Green Peace, Sawit Watch, KontraS, YLBHI menuntut kepada pemerintah kabupaten dan BPN Kotawaringin Timur di Sampit, Direktur Jenderal Perkebunan dan BPN Pusat untuk segera mencabut ijin usaha perkebunan dan HGU PT. Hamparan Masawit Bangun Persada sesegera mungkin. Karena kasus ini merupakan salah satu dari sekian banyak preseden buruk yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Terkait hal diatas Dimas ED WALHI Kalimantan Tengah menyampaikan bahwa masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata. sebagaimana diatur di dalam pasal 66 UU 32/2009 yang berbunyi: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun secara perdata.”

Hal yang senada ditegaskan oleh Rio Rompas dari Greenpeace. “Aparat kepolisian selalu tidak berpihak pada kepentingan rakyat ketika menangani konflik di perkebunan sawit, sudah sangat jelas aktivitas perusahaan diluar izin HGU, artinya yang melanggar hukum adalah perusahaan tapi justru masyarakat yg di tangkap dengan sewenang2. cara ini justru akan memperpanjang konflik dimana aparat terus melanggengkan aktivitas ilegal perusahaan. Praktek ini harus di hentikan segera untuk pemenuhan rasa keadilan bagi warga.”

 

 

Narahubung:

Eknas WALHI         : Ronald (+62 877-7560-7994)

WALHI Kalteng      : Dimas (+62 813-5270-4704)

Save Our Borneo     : Safrudin (+62 811-5220-289)

Green Peace             : Rompas (+62 811-5200-822)

Sawit Watch             : Eep (+62 812-9501-733)

Kontras                     : Arif (+62 815-1319-0363)

 

 

Lampiran Editor

Konflik bermula dari Warga Desa Penyang dan Desa Tanah Putih menuntut PT. Hamparan Masawit Bangun Persada, seluas 1.865,8 Ha menuntut agar mengembalikan bekas lahan ladang warga yang dirampas oleh oleh PT. Hamparan Masawit Bangun Persada karena hasil pengukuran batas luar HGU ditemukan bahwa perusahaan telah melakukan penanaman diluar batas HGU seluas 1.865,8 Ha yang terdiri dari:

  1. Bagian Barat Tanah Masyarakat di luar HGU seluas 117 Ha;
  2. Bagian Selatan dan Tenggara batas di luar HGU seluas 1.726 Ha yang mana telah ditanami sawit seluas 1.450 Ha dan yang masih proses land clearing seluas 276 Ha berada di dalam Kawasan hutan. Batas luar HGU bagian Barat yang di dalam peta HGU jaraknya ± 1 km dari Sungai Sampit, realisasi penanaman sampai tepian sungai;
  3. Perusahaan PT HMBP melakuakan pengeringan danau alam untuk area penanaman sawit, penimbunan sungai Paring Dua dan Sungai Pinang Tinggal, wilayah Desa Natai Baru, Kecamatan Matan Meulaya Hilir Utara, Kab. Kotawaringin Timur;
  4. Perusahaan melakukan penimbunan sungai Paring Dua dan Sungai Pinang Tunggal untuk penanaman sawit;

Bahwa pada Oktober 2010 dan tanggal 15 agustus 2011 Bupati Kotim mengeluarkan surat peringatan kepada PT Hamparan Masawit Bangun Persada (no : 525/423.a/Ek.SDA/VIII/2011) yang pada intinnya mendesak;

(1.) PT. Hamparan Masawit Bangun Persada telah bekerja di luar HGU.

(2.) Diminta mengembalikan lahan kepada masyarakat.

(3.) Peringatan untuk tidak melakukan pekerjaan di luar lokasi izin.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia pada tanggal 09 Maret 2011 telah menyampaikan surat kepada Direktur PT. Hamparan Masawit Bangun Persada untuk menidaklanjuti surat dari Bupati Kota Waringin Timur atas pengaduan dari desa yang berpotensi terjdinya pelanggran hak asasi manusia yag diatur dalam pasal 5 ayat (2) UU nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi manusia yang menyatakan bahwa: Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum;

Kerugian Warga:

  1. Kehilangan tanah adat sejak tahun 2006 sampai saat ini;
  2. 1 balai keramat dan 5 rumah warga dirobohkan pada lokasi yang diklaim oleh perusahaan;
  3. Saat ini warga tidak bisa lagi mengakses lokasi lahan sengketa dan akses yang ke lokasi dijaga ketat anggota Brimob bersama Satpam PT. HMBP Jalan ke lokasi lahan pun di putus dengan dilakukan pengerokkan terhadap jalan yang ada;
  4. Warga yang rumahnya di tengah lokasi lahan perkebunan kini tidak bisa pulang dan anak- anaknya tidak bisa sekolah karna jalan yang ditutup dan dijaga ketat anggota Brimob bersama Satpam PT. HMBP;
  5. Pondok warga yang ada dilokasi lahan sengketa dihancurkan semua oleh pihak aparat bersama Satpam PT. HMBP;

Penangkapan 15 warga masyarakat Desa Penyang dan masyarakat Desa Tanah Putih;

UU nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan punya semangat mempertegas pertanggungjawaban pidana korporasi, namun dalam rumusan lebih susah menjerat perusahaan PT.HMBP yang melakukan penanaman sawit di kasawan hutan. Secara hukum dengan nilai kepastian perusahaan terbukti masuk dalam kategori perusak hutan.

Namun warga masyarakat Desa Penyang dan masyarakat Desa Tanah Putih yang mengajukan keberatan terhadap kegiatan yang diperkirakan menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan juga perampasan tanah adat lebih mudah dijerat dengan pasal-pasal karet seperti pencurian buah sawit; Bahwa Undang-Undang Nomor: 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah menjamin setiap orang berhak berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai peraturan dan pengaduan akibat dugaan pencemaran maupun perusakan lingkungan. perlindungan terhadap masyarakat tersebut melalui konsep “tindakan hukum untuk melawan partisipasi publik” (Strategic Lawsuit Against Public Participation-SLAPP), sebagaimana diatur di dalam pasal 66 UU 32/2009 yang berbunyi: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun secara perdata.” SLAPP menurut Mahkamah Agung dalam Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan hidup (Sesuai dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36/KMS/SK/II/2013) dapat berupa gugatan balik, gugatan biasa atau berupa pelaporan telah melakukan tindak pidana bagi pejuang lingkungan hidup. Warga Masyarakat yang berusaha membantu penegakkan hukum oleh Negara dan Pemerintah, khususnya dalam keahlian tentang kerusakan lingkungan telah sangat membantu;

Terkait hal diatas Segala bentuk kriminalisasi dan ketidakadilan bagi petani dan masyarakat yang terjadi di perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu konsen kami dan kami tidak akan tinggal diam melihat semua keburukan dan kesemrawutan yang terjadi di industri ini.

Maret 9, 2020

BEBASKAN 3 Petani Desa Penyang, Kab. Kotim, Kalimantan Tengah!

Siaran Pers 8 […]
Maret 5, 2020

Menghadapi Pemeriksaan Publik: Segera Temukan Ruth Sitepu

Komisi untuk Orang […]
Maret 4, 2020

Pertemuan dan Penguatan Korban Talangsari di Lampung Pasca Deklarasi Damai

Selama 3 hari, […]
Maret 3, 2020

Surat Terbuka Penolakan Hadir Undangan Rapat KSP

Dengan hormat, Komisi […]
Maret 1, 2020

RUU Cipta Kerja Tidak Layak Dibahas: DPR Perlu Tolak Sebelum Semua Cilaka

Draf RUU Cipta […]
Februari 20, 2020

Kertas Posisi KontraS: Kasus Talangsari 1989, Sebuah Kisah Tragis Yang Dilupakan

Peristiwa Talangsari Lampung […]
Februari 17, 2020

Jaksa Agung Segera Lakukan Penyidikan Kasus Paniai

Komisi untuk Orang […]
Februari 13, 2020

Mencari Titik Terang Kematian Aktivis Lingkungan Hidup Golfrid Siregar #JusticeForGolfrid

Jakarta, 13 Februari […]
Februari 9, 2020

Mengenang 31 Tahun Peristiwa Talangsari: Menyebarkan Suara Korban, Merawat Ingatan Publik

Hari ini, 7 […]
Februari 7, 2020

Diteror Preman Tambang, Petani Yang Melakukan Aksi Jalan Kaki Ke Jakarta Dari Mojokerto Datangi KOMNAS HAM

JAKARTA – Ahmad […]