Jakarta, 4 Desember 2023 – Kasus kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS 2020-2023) dan Haris Azhar (Pendiri Lokataru) memasuki tahapan pembacaan replik yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam repliknya, Jaksa menyampaikan bahwa Haris dan Fatia telah keliru dan salah dalam memahami duduk perkara, mengaburkan kebenaran dan fakta. Jaksa pun mendalilkan terdapat asas equality before the law dan pengadilan ini telah diselenggarakan tanpa pilih kasih untuk membantah pledoi yang disampaikan oleh Haris dan Fatia beserta penasihat hukum. Pernyataan ini jelas mengabaikan fakta persidangan, sebab dalam agenda sidang pemeriksaan terhadap pelapor dalam hal ini Luhut Binsar Pandjaitan, keistimewaan betul-betul terlihat.

Jaksa pun begitu tendensius saat menyatakan bahwa pembelaan Haris dan Fatia merupakan keputusasaan dalam membantah tuntutan dari JPU. Jaksa menambahkan bahwa dalam sidang ini Fatia dan Haris meminta keistimewaan, bukan persamaan di depan hukum. Kesimpulan Jaksa ini jelas keliru total dan tidak disertai dengan bukti. Hal-hal yang disampaikan JPU mengenai penundaan proses pembuktian karena ahli yang tidak hadir bahkan sebetulnya dilakukan oleh Jaksa sendiri. Jaksa bahkan secara tidak akuntabel meniadakan kesaksian saksi dan ahli yang sebelumnya sudah dihadirkan pada level penyidikan.

Dalam persidangan ini, Jaksa juga menolak seluruh argumentasi dan menuduh bahwa terdapat banyak pengaburan fakta dalam pledoi yang dibacakan di minggu sebelumnya. Dalam repliknya, Jaksa kembali berupaya untuk memisahkan antara siniar dalam akun youtube Haris Azhar dengan hasil riset sembilan organisasi masyarakat sipil tentang operasi militer di Papua. Padahal telah nyata sesuai dengan pembuktian dan fakta-fakta di persidangan, para penulis yang dihadirkan yakni Ahmad Ashof, Ikbal Damanik dan Wahyu menyatakan bahwa hasil podcast telah sesuai dengan hasil kajian cepat.

Lebih jauh, Jaksa sebetulnya mendalilkan bahwa persidangan ini hendak membuktikan kebenaran materiil dan dibutuhkan mens rea disamping actus reus. Akan tetapi, jika ditelisik balik ke proses persidangan, Jaksa sebetulnya yang justru gagal untuk membuktikan unsur mens rea dalam tindakan pencemaran nama baik. Narasi yang dibangun bahkan mengada-ngada dan didasarkan pada karangan, terlihat pada narasi aktivis minta saham, ingin mendapatkan keuntungan dari youtube dengan menyebut nama Luhut, kesemuanya itu tidak terbukti secara terang dalam proses persidangan.

Selain itu, kami menganggap Jaksa pun sangat tendensius dengan menuduh kerja-kerja masyarakat sipil dengan menyatakan bahwa orang-orang yang berpura-pura suci padahal pembenci untuk berbuat zalim terhadap pihak yang mereka tidak sukai. Narasi ini sungguh tuduhan serius dan upaya untuk mendiskreditkan kerja-kerja masyarakat sipil. Padahal, sejak lama aktivitas masyarakat sipil hakikatnya merupakan bentuk koreksi dan menagih akuntabilitas sehingga telah banyak membantu pemerintah.

Jaksa pun kembali berfokus pada berbagai aturan terhadap pembatasan terhadap HAM. Padahal sudah ditegaskan dalam berbagai kesempatan bahwa kebebasan berekspresi memang dapat dibatasi, asal sesuai dengan standar hukum HAM internasional. Sejak awal tidak ada yang mendalilkan bahwa hak kebebasan berekspresi sifatnya absolut atau tidak dapat dibatasi. Narasi tersebut dibangun sendiri oleh Jaksa tanpa dasar pembuktian apapun.

Dalam agenda ini pun kami pun mempermasalahkan pernyataan dalam replik yang menyatakan bahwa Jaksa tidak mungkin menghalangi kritik karena merupakan jantung dari demokrasi. Dibawanya kasus ini sampai tahap peradilan saja sebetulnya merupakan salah satu bentuk Jaksa untuk meruntuhkan demokrasi. Jaksa bahkan melakukan standarisasi kritik dengan menyatakan bahwa kritik harus konstruktif, dengan solusi, tidak menyerang pribadi, dan sopan. Hal ini menunjukan bahwa Jaksa lagi-lagi gagal memahami perbedaan kritik terhadap pejabat publik dengan penghinaan.

Salah satu hal yang konyol, Jaksa menyatakan tuntutan dalam kasus ini bisa dijadikan pelajaran bagi orang lain dan efek jera bagi masyarakat yang melakukan penghinaan. Tujuan yang dikehendaki Jaksa tentu tidak akan tercapai. Hal yang terjadi justru terbangunnya iklim ketakutan di tengah masyarakat untuk mengkritik sehingga menyebabkan demokrasi yang terus memburuk dan mengarahnya negara ini ke jurang otoritarian.

Hal lainnya yang tentu problematis tentu saja saat Jaksa menyatakan bahwa tuntutan yang disampaikan Jaksa merupakan kehendak dari masyarakat dan keadilan hukum. Akan tetapi Jaksa tidak menyebutkan bukti atas kehendak masyarakat tersebut. Fakta di lapangan justru menunjukan sebaliknya, solidaritas terhadap Haris dan Fatia terus menguat untuk mendesak Hakim agar membebaskan kedua Pembela HAM ini.

Jaksa pun selalu saja membangun opini publik yang tidak masuk akal seperti halnya Haris dan Fatia menyebarkan informasi salah di tingkat nasional dan internasional. tidak memiliki rasa kewarganegaraan, bukan masyarakat beradab dan tuduhan tendensius lainnya. Ketimbang melakukan tuduhan semacam ini, Jaksa seharusnya dapat fokus untuk melakukan kontra-argumentasi terhadap dalil kami dalam nota pembelaan.

Secara umum pun kami menganggap bahwa jawaban-jawaban yang disampaikan oleh JPU dalam repliknya sama sekali tidak menjawab secara substansial keseluruhan dari isi pledoi. Jaksa justru kembali membangun narasi sesat dan keliru, dan menegaskan bahwa tuntutan yang telah dibacakan merupakan bentuk penuntutan jahat (malicious prosecution). Selain itu, Jaksa berupaya untuk mengubur fakta dan terkesan membela Luhut dengan sangat maksimal dibalut membela kepentingan publik.

 

Narahubung:

Nurkholis Hidayat (Tim Advokasi untuk Demokrasi)
Arif Maulana (Tim Advokasi untuk Demokrasi)
Andi Muhammad Rezaldy (Tim Advokasi untuk Demokrasi)

Desember 5, 2023

Pembacaan Replik pada Sidang Kriminalisasi Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar: Jaksa Kembali Gagal Paham, Sesat Pikir dan Tidak Menjawab Keseluruhan Isi Pledoi

Jakarta, 4 Desember […]
Desember 2, 2023

Sidang Tuntutan Kasus Penyiksaan Tahananan Polres Banyumas Oki Kristodiawan di Banyumas: 4 Terdakwa Polisi dituntut 6 dan 7 tahun Penjara

Pada Selasa, 28 […]
November 30, 2023

Penyimpangan Aparatur Negara dalam Pemilu 2024

Koalisi NGO untuk […]
November 30, 2023

Peluncuran Catatan Kritis ‘Miskin Wacana Soal HAM’ Catatan KontraS atas Visi-Misi Para Calon Presiden-Calon Wakil Presiden RI 2024-2029 di Sektor Hak Asasi Manusia

Kamis, 30 November […]
November 28, 2023

Pembacaan Nota Pembelaan (Pledoi) pada Sidang Kriminalisasi Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar: Majelis Hakim Harus Ungkapkan dan Proklamirkan Keadilan!

Jakarta, 27 November […]
November 27, 2023

Demokrasi di Ambang Krisis, #KitaBerhakKritis: Bebaskan Fatia-Haris, Hentikan Kriminalisasi Aktivis dan Selamatkan Suara Kritis!

Koalisi Masyarakat Sipil […]
November 22, 2023

Koalisi Serius Mendesak Penundaan Pengesahan Revisi Kedua UU ITE

Koalisi Serius Revisi […]
November 20, 2023

Tragedi Gas Air Mata Terulang: Hentikan Pendekatan Berlebih dan Penggunaan Senjata Kimia dalam Pengamanan Pertandingan Sepak Bola

Doc: Twitter @alimhpoetx […]
November 20, 2023

Pernyataan Hashim Djojohadikusumo Menyakiti Hati Korban dan Keluarga Korban serta Melukai Rasa Keadilan Masyarakat

Belum lama ini, […]
November 18, 2023

Mempertanyakan Janji Kemanusiaan Indonesia Bagi Pengungsi Rohingya

(17 November 2023) […]