Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) didirikan menjelang reformasi tepatnya pada 20 Maret 1998 dan akan merayakan peringatan ulang tahun ke-25 di tahun 2023. Pada awal pembentukannya, KontraS hadir sebagai organisasi masyarakat sipil yang secara khusus menyoroti kasus penghilangan paksa oleh rezim orde baru dan merespons praktik kekerasan yang terus terjadi serta menelan banyak korban. Sejak berdiri pun, KontraS juga terus konsisten menyuarakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) bersama entitas gerakan masyarakat sipil lainnya. 

Dalam rangka memperingati HUT ke-25 KontraS, kami memberikan catatan terkait permasalahan HAM yang didasarkan pada pengalaman advokasi dan hasil riset yang dilakukan oleh KontraS khususnya pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo

Pertama, dalam konteks penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu, pemerintah tak kunjung berhasil menunaikan tanggung jawabnya dalam penuntasan dan menghadirkan keadilan bagi korban dan keluarga. Hingga kini baru empat kasus Pelanggaran HAM Berat yang telah disidangkan dan seluruh terdakwa dibebaskan. Meskipun Pemerintah hanya fokus pada jalur non-yudisial melalui Keppres No. 17 Tahun 2022, Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti menegaskan bahwa mekanisme non-yudisial tidak boleh mengesampingkan pengadilan yang juga menjadi hak korban sebagai pemangku kepentingan utama.

Kedua, pasca reformasi masyarakat sering disuguhkan dengan disahkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengancam kebebasan sipil dan membuka jalan bagi kesewenang-wenangan pemerintah, contohnya UU No. 1 Tahun 2023 Tentang KUHP yang oleh Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dinilai “tidak membuka ruang partisipatif yang cukup.” Pada sisi lain Koordinator KontaS juga menilai KUHP baru juga “mengkerdilkan atau melemahkan penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat” dengan dimasukkannya pengaturan Pelanggaran HAM Berat ke dalam KUHP Baru.  

Ketiga, sepanjang 25 tahun reformasi angka kekerasan aparat di Indonesia juga tidak menunjukkan perbaikan. Kekerasan aparat yang terus berlangsung merupakan konsekuensi gagalnya penyelesaian impunitas dan reformasi institusi. Penggunaan senjata serta pengerahan aparat yang berlebihan sangat sering menjadi sumber terjadinya Pelanggaran HAM, sebagaimana Peristiwa Pelanggaran HAM Berat di Aceh dan Papua. Menurut Koordinator KontraS, dalam konteks Reformasi Sektor Keamanan, “perbaikan harus ditujukan pada kinerja, bukan hanya citra. Sejumlah langkah konkret harus dilakukan segera guna mewujudkan institusi Kepolisian yang lebih transparan, akuntabel dan profesional.”

Situasi kekerasan dan Pelanggaran HAM di Papua hingga kini masih terjadi secara masif. Terbaru, 60.000 warga diduga telah mengungsi dan hingga kini masih bertahan di pengungsian akibat konflik bersenjata yang terjadi. Bukannya menggunakan pendekatan dialog, pemerintah justru terus memperpanjang operasi bersenjata seperti operasi Nemangkawi dan Operasi Damai Cartenz dan juga menambah jumlah personel bersenjata ke Papua.

Berdasarkan permasalahan tersebut, bersama para korban dan berbagai elemen masyarakat sipil, kami kembali mengingatkan pemerintah atas kewajibannya untuk: 

    1. Menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM secara utuh; 
    2. Menyelesaikan Pelanggaran HAM berat melalui penyelesaian yang berkeadilan bagi korban dan menjamin ketidak berulangan peristiwa di masa mendatang; 
    3. Melakukan reformasi institusi keamanan secara serius dan menghentikan jalan-jalan militerisme;
    4. Menjadikan HAM sebagai salah satu unsur yang penting dalam pengambilan kebijakan.

lihat catatan selengkapnya di sini

 

Maret 20, 2023

25 Tahun KontraS: Meneruskan Pesan Keadilan di tengah Kesewenang-wenangan Kekuasaan

Komisi Untuk Orang […]
Maret 7, 2019

Penangkapan Terhadap Refleksi Akademis Mencederai Negara Hukum dan Demokrasi

Robertus Robet, seorang […]