Minim Koreksi, Angka Penyiksaan Aparat Terus Bertambah

Minim Koreksi, Angka Penyiksaan Aparat Terus Bertambah

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sejak tahun 2010 secara konsisten terus mengeluarkan catatan publik terkait praktik – praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang terjadi di Indonesia. Angka praktik – praktik penyiksaan tersebut selalu meningkat dari tahun ke tahun sehingga menunjukkan bahwa sebenarnya tidak banyak perubahan maupun koreksi yang terjadi di institusi penegak hukum untuk mencegah terjadi penyiksaan. Selain pola – pola yang digunakan untuk melakukan penyiksaan masih relatif sama, penanganan kasusnya pun seringkali mengalami kendala untuk dapat diteruskan pada proses pidana dan hanya lebih mengedepankan sanksi etik semata.

Dalam beberapa bulan terakhir saja, kami telah mendapatkan 6 (enam) pengaduan terkait kasus penyiksaan terhadap tahanan yang diduga dilakukan oleh aparat penegak hukum dan terjadi di sel – sel tahanan kepolisian, BNN maupun di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Beberapa korban diantaranya tewas setelah mengalami penyiksaan tersebut. Meski pihak keluarga telah melaporkan kasus tersebut melalui mekanisme pidana, namun prosesnya cenderung lamban dan tidak maksimal. Enam kasus tersebut berasal dari Sigi – Sulawesi Tengah, Biak – Papua, Meranti – Riau, Cianjur – Jawa Barat, Samarinda – Kalimantan Timur dan TTU – Nusa Tenggara Timur. (Kronologi kasus ada dalam lampiran)

 

Dari fakta – fakta yang kami temukan terhadap 6 (enam) kasus diatas, KontraS mencatat bahwa setidaknya terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan praktik – praktik penyiksaan masih terjadi dan terus meningkat di Indonesia, yakni :

Pertama, Praktik – praktik penyiksaan masih kerap dilakukan sebagai bentuk penghukuman ataupun sebagai bentuk balas dendam terhadap para tersangka. Hal ini terlihat dalam kasus kematian Alm. Sutrisno (Sigi – Sulawesi Tengah) dan Amsal Marandof (Biak – Papua) yang keduanya mengalami praktik – praktik penyiksaan sebagai bentuk penghukuman karena melarikan diri dari sel tahanan, serta kasus kematian Alm. Afriadi Pratama (Meranti – Riau) yang mengalami penyiksaan sebagai bentuk balas dendam atas kematian salah satu anggota Polri;

Kedua, Minimnya evaluasi dan koreksi terhadap proses penyelidikan dan penyidikan perkara di institusi penegak hukum, termasuk teknik penggalian informasi maupun pengumpulan alat bukti sehingga metode yang digunakan oleh penyidik masih dengan cara konvensional seperti dengan kekerasan dan penyiksaan. Hal ini terlihat dalam penanganan kasus terhadap Alm. Laode Nopiandi (Samarinda – Kalimantan Timur ) yang mulanya hanya dimintai keterangan sebagai saksi terkait kasus penikaman anggota BNNP Kalimantan Timur. Interogasi masih dilakukan dengan cara kekerasan yang mengakibatkan Alm. Laode Nopiandi tewas;

Ketiga, Masih adanya keengganan dari aparat penegak hukum untuk menghukum para pelaku – pelaku praktik penyiksaan yang notabene adalah aparat penegak hukum juga. Sekalipun ada kasus penyiksaan yang ditindaklanjuti, proses penghukuman terhadap pelaku penyiksaan hanya sebatas penghukuman secara kode etik dan tidak diikuti dengan proses pidana. Hal ini dapat terlihat dalam kasus kematian Alm. Sutrisno (Sigi – Sulawesi Tengah) maupun Alm. Marianus Oki (TTU – Nusa Tenggara Timur ) yang prosesnya sangat lambat serta kasus kematian Alm. Afriadi Pratama yang dalam proses penyidikannya, gagal untuk mengkonstruksikan peristiwa secara utuh;

Keempat, Budaya pemberian uang ganti kerugian atau uang kerohiman yang diberikan oleh pihak kepolisian kepada korban atau keluarga korban sebagai bentuk jaminan agar baik korban maupun keluarga korban tidak melakukan proses penuntutan, khususnya yang terkait dengan tindakan atau praktik – praktik penyiksaan yang dilakukan oleh anggota kepolisian. Hal ini terlihat dalam kasus kematian Alm. Asep Sunandar (Cianjur – Jawa Barat) dan Alm. Afriadi Pratama (Meranti – Riau);

Kelima, Minimnya sanksi yang tegas dan institusional terhadap penyidik yang menolak atau menunda untuk menangani kasus – kasus penyiksaan oleh aparat penegak hukum, sehingga mengakibatkan banyak laporan keluarga korban penyiksaan yang tidak segera ditindaklanjuti.

 

Terhadap fakta – fakta diatas, KontraS mengingatkan institusi Polri, BNN, maupun Lembaga Pemasyarakatan bahwa Indonesia telah memiliki beberapa aturan hukum terkait larangan dilakukannya praktik – praktik penyiksaan. Selain itu, peraturan Internal di masing – masing kelembagaan tersebut juga sebenarnya telah mengatur secara jelas dan eksplisit terkait pelarangan praktik – praktik penyiksaan dan mekanisme pengawasan baik pengawasan dalam proses penanganan perkara maupun pengawasan perilaku penyidik, seperti dalam Pasal 5 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan dan Pasal 4 ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan Tanggung jawab Perawatan Tahanan. Sementara di institusi kepolisian, Pasal 82 – 87 Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana secara spesifik menyebutkan adanya fungsi pengawasan dan pengendalian penyidik khususnya dalam proses pemantauan dan penelitian sejak dikeluarkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).

Berdasarkan hal diatas, untuk itu Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak:

  1. Kapolri maupun Kepala BNN untuk mengambil langkah – langkah darurat guna menindaklanjuti kasus – kasus penyiksaan yang terus terjadi dan semakin meningkat di Indonesia akibat tindakan sewenang – wenang dan ketidakprofesionalan anggotanya di lapangan. Langkah darurat ini harus meliputi penindakan tegas terhadap anggota yang terbukti bersalah dan evaluasi menyeluruh terhadap metode – metode penggalian informasi maupun pengumpulan alat bukti terhadap tersangka yang masih konvensional;
  2. Kapolri harus memastikan bahwa tidak akan ada penolakan terhadap laporan pidana yang diajukan keluarga korban dengan menggiring penyelesaian hanya melalui kode etik sebagaimana yang sering terjadi pada kasus serupa. Proses hukum juga harus dipastikan berjalan secara transparan dan akuntabel;
  3. Kementerian Hukum dan HAM RI harus melakukan evaluasi terkait tempat – tempat penahanan yang ada di Indonesia serta memastikan bahwa tempat penahanan tersebut dilengkapi dengan infrastruktur yang dapat mencegah terjadinya penyiksaan dan adanya pemahaman bagi petugas – petugas tempat penahanan terkait larangan dilakukannya penyiksaann;
  4. Aparat Penegak Hukum (Penyidik, Jaksa, dan Hakim) harus mampu memaksimalkan penerapan pasal dan memberikan sanksi yang berat terhadap pelaku – pelaku penyiksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Hal ini penting dilakukan guna memberikan efek jera terhadap aparat penegak hukum yang melakukan praktik – praktik penyiksaan;
  5. Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk mengevaluasi kewenangan lembaganya, khususnya terkait dengan hambatan dalam mengajukan pelaporan korban penyiksaan maupun kewenangan pengajuan restitusi bagi korban penyiksaan yang seringkali bermasalah saat hendak diajukan bersama dalam proses penuntutan oleh institusi Kejaksaan.

 

 

Jakarta, 13 Maret 2017

Badan Pekerja KontraS,

 

Yati Andriyani, S.HI.

Koordinator KontraS

 

 

Lampiran Kasus :

  1. Kasus kematian Alm. Sutrisno, yang tewas di Polres Sigi, Sulawesi Tengah pada 26 Februari 2017 akibat tindakan penyiksaan yang diduga dilakukan oleh anggota Polres Sigi. Dua hari sebelum tewas, Alm. Sutrisno yang merupakan tahanan kasus tindak pidana pencurian di Polres Sigi tersebut sempat melarikan diri dari dalam sel tahanan Polres. Namun pihak keluarga cukup kooperatif untuk bekerja sama dengan kepolisian sehingga tidak ada perlawanan dari Alm. Sutrisno saat aparat kembali menangkapnya di rumah kerabat yang bersangkutan. Namun selang beberapa jam setelah penangkapan, pihak keluarga mendapati bahwa Alm. Sutrisno tewas dengan tubuh penuh luka di dalam sel tahanan Polres Sigi. Terkait dengan meniggalnya Alm. Sutrisno pihak keluarga telah melaporkan peristiwa tersebut ke Reskrim Polda Sulawesi Tenggara dengan Tanda Bukti Laporan No. STPL/96/III/2017/SPKT dan laporan ke Bid Propam Polda Sulawesi Tengah No. STPL/31/III/2017/Yanduan tanggal 02 Maret 2017, namun hingga saat ini pihak Polda baru melakukan proses pemeriksaan terhadap 8 (delapan) orang anggota Polres Sigi melalui mekanisme Kode Etik terkait meniggalnya Alm. Sutrisno di sel tahanan Polres Sigi.
  2. Kasus penyiksaan Amsal Marandof yang merupakan tahanan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Biak, Papua pada 19 Februari 2017. Amsal Marandom mengalami tindakan penyiksaan yang diduga dilakukan oleh anggota Lapas Biak setelah sebelumnya diketahui melarikan diri dari Lapas Biak pada tanggal 2 Desember 2016 dengan cara menjebol dinding sel tahanan. Pada tanggal 16 Februari 2017, Amsal Marandom kembali ditangkap dan ditahan di Lapas Biak namun tiga hari kemudian pihak keluarga mendapati informasi bahwa Amsal Marandom dirawat di Rumah Sakit Angkatan Laut Biak karena mengalami patah tulang rusuk, lebam – lebam pada bagian wajah dan badan sudah penuh lumuran darah. Namun saat orangtua Amsal Marandof menemui Dokter RS Angkatan Laut yang menangani putranya, keluarga diberitahu bahwa pasien Amsal Marandof telah melarikan diri dari RS. Informasi ini sangat janggal apalagi mengingat Amsal Marandof dalam kondisi kritis dan luka berat. Meski pihak keluarga sudah melaporkan kasus ini ke Polres Biak namun pihak kepolisian saling melempar tanggung jawab dengan pihak Lapas Biak dan RS sehingga belum ada kepastian hukum mengenai keberadaan Amsal Marandof hingga saat ini.
  3. Kasus kematian Alm. Afriadi Pratama yang sebelumnya ditengarai oleh adanya perkelahian yang melibatkan Alm. Adi dengan salah seorang anggota kepolisian Polres Meranti, Riau bernama Adil S. Tambunan hingga mengakibatkan anggota Polres tersebut tewas. Kematian anggota Polres tersebut membuat anggota Polres Meranti lainnya melakukan aksi pengejaran dan penangkapan terhadap Alm. Afriadi Pratama. Namun hanya berselang beberapa jam setelah penangkapan, Afriadi Pratama tewas dalam perjalanan menuju RSUD Meranti setelah diduga mengalami penyiksaan oleh anggota Polres Meranti, selang beberapa hari setelah meniggalnya Alm. Afriadi Pratama, pihak kepolisian dalam hal ini Polres Meranti memberikan uang santunan sebesar Rp. 25.000.000,- (dua pulu lima juta rupaiah), uang santunan ini juga diberikan kepada Alm. Isrusli yang merupakan korban penembakan pada saat warga melakukan aksi di Polres Meranti terkait dengan meniggalnya Alm. Afriadi Pratama. Adapun proses hukum terhadap kasus kematian Alm. Afriadi Pratama saat ini masih disidangkan di Pengadilan Negeri Bengkalis, Riau sementara Kapolres Meranti dan beberapa jajarannya hanya dicopot dari jabatannya Polda Riau. (http://kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2351)
  4. Kasus kematian Alm. Asep Sunandar yang ditangkap pada tanggal 10 September 2016 oleh anggota Polres Cianjur. Hanya beberapa jam setelah ditangkap, pihak keluarga mendapatkan informasi bahwa Alm. Asep Sunandar sudah dinyatakan tewas. Yang sangat disayangkan, informasi tewasnya Alm. Asep Sunandar justru dapati oleh pihak keluarga bukan dari pihak kepolisian melainkan dari salah seorang kerabat korban yang bekerja di pihak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cianjur. Keluarga korban yang mendatangi RSUD Cianjur, melihat kondisi Alm. Asesp Sunandar sudah dalam kondisi tewas dengan kondisi tangan terikat ke belakang dan terdapat kurang lebih 12 luka di sekujur tubuhnya yang diduga akibat tembakan senjata api. Selang beberapa hari kematian Alm. Asep Sunandar pihak keluarga diberikan sejumlah uang dan diminta untuk tidak memperpanjang terkait dengan meniggalnya Alm. Asep Sunandar, hal ini terbukti pada saat pihak keluarga dipersulit oleh pihak kepolisian hingga proses pelaporan baru dilakukan beberapa minggu setelah peristiwa dan didampingi oleh Pendamping Hukum dari pihak keluarga, inisiasi terkait proses outopsi terhadap Alm. Asep Sunandar juga muncul dari desakan Pendamping Hukum pihak keluarga. Kasus kematian Alm. Asep Sunandar saat ini telah ditangani oleh Polda Jawa Barat namun belum ada perkembangan yang signifikan dari proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan. (http://kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2317)
  5. Kasus kematian Alm. Laode Nopiandi di Samarinda yang diduga akibat penyiksaan oleh anggota Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Kalimantan Timur. Pada 28 Desember 2016, Laode ditangkap oleh petugas BNNP Kalimantan Timur untuk dimintai keterangannya sebagai saksi terkait kasus penikaman anggota BNNP Kalimantan Timur. Salah seorang petugas BNNP saat itu mengancam orang tua korban bahwa anaknya akan dibunuh sehingga membuat orang tua korban histeris. Beberapa jam setelah ditangkap, keluarga Alm. Laode Nopiandi mencari keberadaan korban hingga pada malam harinya, keluarga korban akhirnya menemukan korban berada di RS Umum Abdul Wahab, Samarinda dalam kondisi mengenaskan. Diketahui saat itu, seluruh tubuh korban penuh luka lebam disertai dengan luka tembak di kedua kakinya namun Petugas BNNP melarang keluarga korban untuk mendampingi putranya. Keesokan harinya, pada 29 Desember 2016, korban dinyatakan tewas akibat penyiksaan yang dialaminya. Pada tanggal 29 Desember 2016, keluarga korban dengan didampingi kuasa hukumnya melaporkan kasus kasus penyiksaan tersebut ke Polres Samarinda. Kasus tersebut kemudian dilimpahkan ke Polda Kalimantan Timur namun hingga kini keluarga korban belum mendapatkan informasi perkembangan kasus dan kepastian hukum dari pihak penyidik.
  6. Kasus kematian Alm. Marianus Oki yang merupakan tahanan Pospol Banat Mamanas, TTU, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 4 Desember 2015. Praktik penyiksaan ini diduga dilakukan oleh anggota Brimob Polda NTT, namun hingga saat ini proses penyidikan kematian Alm. Marianus Oki yang sudah berjalan lebih dari satu tahun ini masih belum selesai diproses di Polda NTT tanpa adanya penjelasan dan kepastian hukum bagi pihak keluarga. (http://kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2211)