Presiden Jokowi ke Aksi Kamisan: Hak Asasi Manusia bukan Komoditi Politik, buktikan kesungguhan Presiden menuntaskan Kasus-kasus Pelanggaran HAM

Presiden Jokowi ke Aksi Kamisan: Hak Asasi Manusia bukan Komoditi Politik, buktikan kesungguhan Presiden menuntaskan Kasus-kasus Pelanggaran HAM

 

Rencana kedatangan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) ke Aksi Kamisan ke-540 atau mengadakan pertemuan dengan perwakilan Aksi Kamisan  hari ini (31 Mei 2018) bukanlah hal yang istimewa. Sejak awal, tujuan utama Aksi Kamisan bukan semata-mata untuk dikunjungi atau bertemu Presiden, melainkan untuk mendesak pertanggungjawaban negara atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Rencana kedatangan Presiden Jokowi ke Aksi Kamisan di penghujung bulan Mei 2018 ini, justru menimbulkan pertanyaan karena sejak jauh-jauh hari sebelum hari ini, Aksi Kamisan telah berlangsung selama 11 tahun lamanya di depan Istana Negara RI dan telah mengirimkan ratusan surat kepada Presiden, termasuk di era kepemimpinan Presiden Jokowi, namun tidak pernah satupun diantaranya mendapatkan respons yang berarti.

Kami mengkhawatirkan bahwa kedatangan Presiden Jokowi atau pertemuan yang akan dilakukan hari ini hanyalah sesuatu yang bersifat simbolis atau merupakan sebuah ‘gimmick’ di tengah tahun politik yang sedang berlangsung. Jika kunjungan atau pertemuan ini tidak dilandasi oleh tekad dan komitmen yang kuat dari Kepala Negara untuk bertanggung jawab menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, maka hal tersebut justru akan menghina rasa keadilan dan kemanusiaan itu sendiri, serta semakin memupus harapan korban dan keluarga korban.

Penting untuk diingat kembali bahwa selama menjabat sebagai Presiden RI, Presiden Jokowi memiliki performa yang sangat lamban dalam menyelesaikan atau setidak-tidaknya memberi respons terhadap masalah-masalah terkait pelanggaran HAM, padahal agenda penyelesaian pelanggaran HAM sudah tertuang dalam dokumen Nawa Cita Jokowi-JK. Kebijakan Presiden Jokowi selama ini juga telah membawa mundur upaya-upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat dengan mengangkat Wiranto sebagai Menteri Koordinasi Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), dan menyerahkan koordinasi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di bawah Menkopolhukam. Presiden juga membiarkan Jaksa Agung menolak melakukan penyidikan 9 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM; Presiden menolak mengumumkan dokumen Hasil Penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) meninggalnya Munir, dan bahkan dokumen sempat disebutkan tidak diketahui keberadaannya; hingga perihal Rekomendasi DPR RI kepada Presiden dan pemerintah untuk mengeluarkan Keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc, membentuk tim pencarian korban yang masih hilang, memulihkan korban dan keluarga korban termasuk meratifikasi Konvensi Internasional Menentang Penghilangan Paksa — semuanya juga tidak dilakukan.

Dalam momentum kali ini, secara khusus, kami ingin mempertanyakan sejauh mana Presiden memiliki komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang hingga kini masih menggantung, seperti upaya untuk: mengakui bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan di Indonesia dan pemerintah belum mampu menyelesaiakannya dan akan menyelesaikan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku; menindaklanjuti empat rekomendasi DPR untuk kasus Penghilangan Paksa (Keppres Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc; membentuk Tim Pencarian korban; Memulihkan korban dan keluarga, meratifikasi Konvensi Menentang Penghilangan Paksa); dan memastikan Jaksa Agung melakukan penyidikan terhadap  9 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM. Kami juga mendesak agar Presiden segera mengumumkan dokumen laporan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir (TPF-KMM) sebagai mana mandat yang tertuang dalam Keppres 111/2004.

Selain hal-hal tersebut di atas, langkah Presiden untuk membentuk sebuah Komite Kepresidenan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu juga merupakan sebuah parameter yang sahih bahwa Presiden Jokowi mempunyai perspektif HAM dan keadilan. Alih-alih hanya datang menemui massa Aksi Kamisan yang cenderung kuat nuansa pencitraannya, seharusnya Presiden Jokowi lebih memprioritaskan agenda pembentukan Komite Kepresidenan tersebut di atas dan melakukan tindakan yang konkret daripada hanya sekadar tindakan populis saja.

Hal-hal di ataslah yang harus menjadi parameter kesungguhan Presiden Jokowi untuk memastikan bahwa kunjungan atau pertemuan yang dilakukannya adalah bagian dari komitmennya sebagai Kepala Negara, bukan sekadar untuk ‘tampil’ membawa kepentingan politik pragmatis di tengah tahun politik ini. Baiknya pula, komitmen Presiden Jokowi tersebut juga diikuti dengan langkah Presiden Jokowi membersihkan kabinetnya dari para figur yang terindikasi terlibat pelanggaran HAM.

Aksi Kamisan ke depan akan tetap berlangsung baik dikunjungi, ditemui ataupun tidak oleh Presiden. Adapun jika hingga akhir masa Pemerintahan Presiden Jokowi ini, tak kunjung ada langkah konkret penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, maka upaya hukum dapat ditempuh oleh korban, keluarga korban dan segenap masyarakat sipil.

 

 

Jakarta, 31 Mei 2018

 

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta)

Suciwati Munir

 

Presiden Jokowi ke Aksi Kamisan: Hak Asasi Manusia bukan Komoditi Politik, buktikan kesungguhan Presiden menuntaskan Kasus-kasus Pelanggaran HAM

Presiden Jokowi ke Aksi Kamisan: Hak Asasi Manusia bukan Komoditi Politik, buktikan kesungguhan Presiden menuntaskan Kasus-kasus Pelanggaran HAM

 

Rencana kedatangan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) ke Aksi Kamisan ke-540 atau mengadakan pertemuan dengan perwakilan Aksi Kamisan  hari ini (31 Mei 2018) bukanlah hal yang istimewa. Sejak awal, tujuan utama Aksi Kamisan bukan semata-mata untuk dikunjungi atau bertemu Presiden, melainkan untuk mendesak pertanggungjawaban negara atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Rencana kedatangan Presiden Jokowi ke Aksi Kamisan di penghujung bulan Mei 2018 ini, justru menimbulkan pertanyaan karena sejak jauh-jauh hari sebelum hari ini, Aksi Kamisan telah berlangsung selama 11 tahun lamanya di depan Istana Negara RI dan telah mengirimkan ratusan surat kepada Presiden, termasuk di era kepemimpinan Presiden Jokowi, namun tidak pernah satupun diantaranya mendapatkan respons yang berarti.

Kami mengkhawatirkan bahwa kedatangan Presiden Jokowi atau pertemuan yang akan dilakukan hari ini hanyalah sesuatu yang bersifat simbolis atau merupakan sebuah ‘gimmick’ di tengah tahun politik yang sedang berlangsung. Jika kunjungan atau pertemuan ini tidak dilandasi oleh tekad dan komitmen yang kuat dari Kepala Negara untuk bertanggung jawab menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, maka hal tersebut justru akan menghina rasa keadilan dan kemanusiaan itu sendiri, serta semakin memupus harapan korban dan keluarga korban.

Penting untuk diingat kembali bahwa selama menjabat sebagai Presiden RI, Presiden Jokowi memiliki performa yang sangat lamban dalam menyelesaikan atau setidak-tidaknya memberi respons terhadap masalah-masalah terkait pelanggaran HAM, padahal agenda penyelesaian pelanggaran HAM sudah tertuang dalam dokumen Nawa Cita Jokowi-JK. Kebijakan Presiden Jokowi selama ini juga telah membawa mundur upaya-upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat dengan mengangkat Wiranto sebagai Menteri Koordinasi Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), dan menyerahkan koordinasi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di bawah Menkopolhukam. Presiden juga membiarkan Jaksa Agung menolak melakukan penyidikan 9 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM; Presiden menolak mengumumkan dokumen Hasil Penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) meninggalnya Munir, dan bahkan dokumen sempat disebutkan tidak diketahui keberadaannya; hingga perihal Rekomendasi DPR RI kepada Presiden dan pemerintah untuk mengeluarkan Keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc, membentuk tim pencarian korban yang masih hilang, memulihkan korban dan keluarga korban termasuk meratifikasi Konvensi Internasional Menentang Penghilangan Paksa — semuanya juga tidak dilakukan.

Dalam momentum kali ini, secara khusus, kami ingin mempertanyakan sejauh mana Presiden memiliki komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang hingga kini masih menggantung, seperti upaya untuk: mengakui bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan di Indonesia dan pemerintah belum mampu menyelesaiakannya dan akan menyelesaikan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku; menindaklanjuti empat rekomendasi DPR untuk kasus Penghilangan Paksa (Keppres Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc; membentuk Tim Pencarian korban; Memulihkan korban dan keluarga, meratifikasi Konvensi Menentang Penghilangan Paksa); dan memastikan Jaksa Agung melakukan penyidikan terhadap  9 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM. Kami juga mendesak agar Presiden segera mengumumkan dokumen laporan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir (TPF-KMM) sebagai mana mandat yang tertuang dalam Keppres 111/2004.

Selain hal-hal tersebut di atas, langkah Presiden untuk membentuk sebuah Komite Kepresidenan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu juga merupakan sebuah parameter yang sahih bahwa Presiden Jokowi mempunyai perspektif HAM dan keadilan. Alih-alih hanya datang menemui massa Aksi Kamisan yang cenderung kuat nuansa pencitraannya, seharusnya Presiden Jokowi lebih memprioritaskan agenda pembentukan Komite Kepresidenan tersebut di atas dan melakukan tindakan yang konkret daripada hanya sekadar tindakan populis saja.

Hal-hal di ataslah yang harus menjadi parameter kesungguhan Presiden Jokowi untuk memastikan bahwa kunjungan atau pertemuan yang dilakukannya adalah bagian dari komitmennya sebagai Kepala Negara, bukan sekadar untuk ‘tampil’ membawa kepentingan politik pragmatis di tengah tahun politik ini. Baiknya pula, komitmen Presiden Jokowi tersebut juga diikuti dengan langkah Presiden Jokowi membersihkan kabinetnya dari para figur yang terindikasi terlibat pelanggaran HAM.

Aksi Kamisan ke depan akan tetap berlangsung baik dikunjungi, ditemui ataupun tidak oleh Presiden. Adapun jika hingga akhir masa Pemerintahan Presiden Jokowi ini, tak kunjung ada langkah konkret penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, maka upaya hukum dapat ditempuh oleh korban, keluarga korban dan segenap masyarakat sipil.

Jakarta, 31 Mei 2018

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta)

Suciwati Munir