Polisi, jangan asal tembak!

Polisi, jangan asal tembak!

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] meminta Kepolisian Republik Indonesia untuk tidak sewenang-wenang dalam melakukan tindakan penembakan terhadap mereka yang diduga terlibat kasus begal. Hal ini untuk menghindari terjadinya salah tembak maupun hilangnya kesempatan bagi terduga pelaku kriminal untuk diproses secara hukum yang adil dan akuntabel.

Berdasarkan informasi yang kami himpun dari media, sejak 3 Juli hingga 3 Agustus 2018, Polri telah menurunkan sebanyak 1.000 personilnya yang terbagi dalam 16 tim (13 tim di antaranya dari jajaran Polres wilayah di Jakarta dan 3 tim dari Polda Metro Jaya) untuk membasmi begal dan jambret sebagai upaya cipta kondisi menjelang Asian Games 2018. Setelah operasi berjalan selama 9 hari (3 Juli – 12 Juli 2018), Kabid Humas Polda Metro Jaya menyatakan telah mengungkap 643 kasus kejahatan yang menghasilkan 320 orang ditahan, 42 orang ditembak pada bagian kaki, dan 11 orang ditembak mati.

Kami mafhum bahwa keberadaan jambret atau begal sangat meresahkan masyarakat dan penggunaan senjata api oleh aparat polisi memang diperbolehkan dalam keadaan tertentu, namun dalam pelaksanaannya tetap penting untuk memperhatikan aturan perundang – undangan yang berlaku. Menurut pandangan kami, tewasnya 11 orang dalam kurun waktu 9 hari saja merupakan tindakan yang mengkhawatirkan mengingat sejauh mana penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian tersebut memang benar – benar mengacu pada Prinsip – Prinsip Legalitas, Nesesitas dan Proporsionalitas sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Pada Pasal 3 huruf (b) dan (c) Perkap dimaksud, dijelaskan bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan. Selain itu, Pasal 5 juga menjelaskan mengenai tahapan penggunaan senjata yang mengutamakan untuk melumpuhkan pelaku kejahatan atau tersangka. Artinya, tidak serta merta bertujuan untuk mematikan.

Dengan mengacu pada aturan tersebut diatas, kami mengkhawatirkan pernyataan Kapolda Metro Jaya yang menginstruksikan tembak di tempat terhadap begal justru akan multitafsir dan berpotensi terhadap meningkatnya angka penembakan sewenang-wenang oleh aparat kepolisian. Dari hasil pemantauan KontraS yang dituangkan dalam Laporan Hari Bhayangkara, sepanjang periode Juni 2017 – Mei 2018 saja, telah terjadi sebanyak 429 kasus penembakan dan extra judicial killing yang mengakibatkan 207 orang tewas tanpa proses hukum, dan 407 orang lainnya luka-luka. Adapun 33 kasus penembakan diantaranya terkait dengan operasi begal yang mengakibatkan 25 orang tewas dan 29 orang luka-luka.

Penting untuk diingatkan kembali bahwa Pasal 6 Point A Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia secara tegas menyebutkan hak setiap orang untuk diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak. Dengan demikian, tindakan tembak di tempat terhadap begal tanpa melalui proses hukum, tidak hanya dapat dikategorikan telah melanggar hak asasi seseorang, tetapi juga dapat menimbulkan stigma atau labeling bagi seseorang—yang menyerupai begal atau jambret—dapat ditindak secara sewenang-wenang baik oleh pihak kepolisian maupun masyarakat umum.

Berdasarkan hal tersebut di atas, KontraS mendesak :

Pertama, Kapolri untuk melakukan audit dan evaluasi secara menyeluruh terkait dengan sejauh mana operasi dan penindakan terhadap terduga pelaku kasus kriminal tidak melanggar hak seseorang serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Kapolri juga harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh institusi Polri maupun tindakan anggotanya di lapangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku;

Kedua, Kapolri untuk memerintahkan setiap Kapolda-nya agar memetakan daerah rawan yang terkait dengan aksi begal/jambret dengan menjalankan fungsi intelijen secara efektif serta melakukan patroli reguler yang efektif sebagai tindakan preventif di titik – titik rawan tersebut untuk mencegah aksi jambret dan begal terjadi;

Ketiga, Lembaga Pengawas Eksternal seperti Kompolnas, Komnas HAM dan Ombudsman RI agar menggunakan kewenangan sesuai mandat masing-masing lembaga untuk melakukan pemantauan terhadap kegiatan operasi cipta kondisi tersebut agar berjalan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

 

Jakarta, 20 Juli 2018

Badan Pekerja KontraS

 

 

Yati Andriyani
  Koordinator