Diskusi Publik: Membedah dan Menolak Dewan Kerukunan Nasional

Diskusi Publik

Membedah dan Menolak Dewan Kerukunan Nasional

 

Kamis [26/07] bertempat di Diskusi Kopi, Jakarta Selatan, Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS mengadakan sebuah diskusi publik dengan tajuk ?Membedah dan Menolak Dewan Kerukunan Nasional (DKN) sebagai Sebuah Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran HAM berat Masa Lalu?.

Acara diskusi ini dihadiri oleh kurang lebih 40 orang dari berbagai latar belakang, baik dari perwakilan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu, mahasiswa dan juga masyarakat umum serta media. Diskusi ini mengahadirkan pula narasumber yang sangat kredibel dalam isu HAM, yakni Yati Andriyani [Koordinator KontraS], Gufron Mabruri (Wakil Direktur IMPARSIAL), HS Dilon (FAHAM), Maria Catarina Sumarsih (Presidium JSKK) dan juga Effendi Simbolon (Anggota DPR RI Komisi I Fraksi PDIP). Diskusi dibuka dengan pemaparan singkat dari moderator terkait dengan konsep DKN yang jauh dari rasa keadiilan terhadap korban pelanggaran HAM berat masa lalu karena digagas oleh figur yang tidak mempunyai kredibilitas dalam HAM yakni Menteri Koordinasi bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto.

Acara lalu dilanjutkan dengan mendengarkan testimoni dan juga harapan dari perwakilan korban pelanggaran HAM berat masa lalu yakni Bedjo Untung (YPKP 65), Paian Siahaan (Keluarga korban penghilangan paksa 1997/1998), Aming Darwin (keluarga korban kerusuhan Mei 1998), Wanmayetty (keluarga korban Tanjung Priok) dan juga perwakilan dari IPT 65 serta LPKROB. Para perwakilan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu sepakat bersama-sama untuk menolak DKN sebagai sebuah alternatif penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia. Hal tersebut tercermin dari testimoni dan harapan para korban dan keluarga korban yang masih berharap akan langkah dari negara untuk menyelesaikan kasus-kasus mereka secara berkeadilan dan sesuai dengan standar-standar HAM yang berlaku dalam skala nasional maupun internasional.

Acara diskusi memasuki tahapan utama yakni pembahasan yang disampaikan oleh para narasumber. Yati Andriyani sebagai Koordinator KontraS menegaskan bahwa DKN adalah sebuah kemunduran dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia. Yati mencatat bahwa terdapat beberapa aspek penting mengapa konsep DKN justru bukan merupakan jawaban untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia. Pertama, DKN mengandung unsur maladministrasi wewenang yang kentara, posisi Kemenko Polhukam sebagai kementerian koordinasi hanya bersifat koordinatif terhadap kementerian yang berada di bawahnya sesuai dengan amanat Perpres 7 Tahun 2015 dan Perpres 43 Tahun 2015. Kedua, DKN bersifat inkonstitusional karena mengenyahkan semangat ?Negara Hukum? seperti dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Ketiga, konsep DKN diwacanakan oleh Wiranto yang notabenenya adalah terduga pelaku pelanggar HAM di jaman orde baru dan wacana DKN ini kental akan nuansa ?cuci tangan? dan juga melanggengkan praktek impunitas di Indonesia dengan menggunakan eufimisme ?kerukunan? untuk menarik simpati publik. Maria Catarina Sumarsih melanjutkan dengan memaparkan beberapa pengalamannya dalam mengawal kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS) yang terus menjadi perdebatan panjang baik dalam level pemerintah maupun parlemen. Sumarsih juga menjelaskan bahwa pada kesempatan pertemuan antara korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 31 Mei 2018 lalu, para korban juga menyerukan harapan dan desakan kepada Presiden untuk menunjukkan komitmen konkretnya terhadap semangat Nawa Cita khususnya yang terkait dengan upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia lewat jalur yudisial. Lebih jauh, Sumarsih menegaskan bahwa Indonesia telah mempunyai sejumlah instrumen hukum untuk menyelesaikan pelbagai pelanggaran HAM berat masa lalu, namun sejumlah pihak masih terus saja menghalangi proses penyelesaian masa lalu, termasuk Wiranto dengan rancangan DKN yang dinilainya sangat cacat moral dan cacat hukum.

Effendi Simbolon yang juga merupakan mantan ketua panitia khusus DPR RI kasus penghilangan paksa 1997/1998 menuturkan bahwa pelanggaran HAM berat masa lalu khususnya kasus penculikan atau penghilangan paksa aktivis dapat menjadi contoh kasus yang dapat diselesaikan menggunakan mekanisme UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Hal ini ujarnya, karena kasus penghilangan paksa merupakan satu-satunya kasus yang secara politis mempunyai progresivitas dibandingkan kasus-kasus lainnya, mengacu hasil rekomendasi pansus DPR RI tahun 2009. Effendi juga menegaskan bahwa DKN harus ditolak karena tidak sesuai dengan asas-asas keadilan untuk para korban dan keluarga korban. Selain itu, dia mendorong kepada korban untuk terus mendesak Presiden dalam membentuk pengadilan HAM Ad Hoc untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lewat mekanisme hukum atau yudisial.

Setelah Effendi, HS Dilon yang merupakan tokoh HAM nasional mengutarakan pendapatnya terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia yang sudah masuk tataran politis. Dorongan yang lebih tajam kepada Presiden untuk menggagas Komite Kepresidenan juga merupakan alternatif yang lebih baik dibandingkan DKN.

Sebagai pamungkas, Gufron Mabruri menegaskan bahwa DKN menunjukkan inkonsistensi pemerintah dalam meihat dan mengupayakan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam rancangan awal, DKN gagasan Wiranto memang akan dipakai sebagai mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di tahun 2016, namun dengan upaya gencar masyarakat sipil dan juga korban serta keluarga korban, DKN bakal difungsikan sebagai mekanisme penyelesaian konflik sosial. Selang 2 tahun setelahnya atau tahun 2018, diskursus DKN sebagai medium penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu muncul lagi dan makin gencar. Hal ini menurutnya, patut disayangkan, hal ini berarti pemerintah mempunyai itikad untuk memperpanjang rantai impunitas di Indonesia.

?

.