#KitaBerHAK: Catatan Atas Hari Toleransi Internasional 2018

Kertas Posisi

Memperingati Hari Toleransi Internasional

#KitaBerHAK

Oleh

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS]

 

Pengantar

Reformasi semestinya membawa angin segar bagi kondisi politik, hukum, serta sosial masyarakat Indonesia. Selama 32 tahun berkuasa, Orde Baru hampir masuk ke seluruh sendi – sendi kemasyarakatan, lalu mengatur setiap incinya untuk memastikan bahwa tidak ada satu pihak pun yang berseberangan dengan agenda pemerintah saat itu, terlebih lagi pada isu KBB (Kebebasan Beragama, Beribadah, dan Berkeyakinan) serta Kebebasan Berekspresi, Berkumpul, dan menyampaikan Pendapat. Selama kekuasaan Orde Baru, muncul kasus – kasus ketidakrukunan atau intoleransi yang membuat kebijakan kerukunan beragama dianggap menjadi kebijakan yang kontroversial[1] sebab mengakomodir tindakan sewenang – wenang suatu kelompok kepada kelompok yang lain berlandaskan agama, keyakinan, gender, bahkan pilihan politik. Kebijakan pemerintah selama itu telah menjadi kontrol tindakan sosial terhadap penganut agama yang berbeda.

Namun, nampaknya, kita tidak turut pula belajar dari kesalahan – kesalahan masa lalu. Pascareformasi, masih ditemukannya praktik – praktik intoleran yang menyasar kelompok rentan (minoritas agama, gender, dsj) tanpa alasan yang logis. Sektor penegakan hukum pun tidak jauh berbeda, yang cenderung diam dan seolah “membiarkan” praktik intoleran tersebut terjadi. Hal ini jelas ironis, mengingat reformasi dengan segala cita – citanya ternyata belum diiringi dengan semangat perbaikan di sektor penegakan hukum dan HAM. Presiden Joko Widodo pada tahun 2017 berulangkali menegaskan bahwa “tidak ada tempat bagi intoleransi di Indonesia”[2] dan “kebebasan beragama merupakan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi,[3]” namun, ucapan tersebut selayaknya lips service yang hanya menunjukkan ketegasan normatif. Pada kenyataannya, perintah Presiden tidak mampu diimplementasikan dengan baik oleh aparat penegak hukum.

Dampak dari lemahnya penegakan hukum mengakibatkan kondisi ini nyaris sama dengan zaman orde baru yang membiarkan tindakan sewenang – wenang suatu kelompok. Hal itu dapat dilihat dari peristiwa persekusi, pelarangan beribadah, bahkan perundungan terhadap ekspresi perseorangan maupun kelompok. Terdapat beberapa hal yang mendasari praktik intoleransi terjadi, seperti gender, politik, dan agama. Namun, yang paling mendominasi ialah agama dan politik. Motif agama sangat masif digunakan individu atau ormas tertentu dalam melakukan tindakan persekusi seperti pelarangan ibadah minoritas tertentu seperti Syiah, Ahmadiyah, dan aliran lainnya yang berujung dengan intimidasi, penyegelan tempat ibadah hingga pelarangan aktivitas/kegiatan keagamaan, dan melakukan perundungan kepada mereka yang dianggap melecehkan. Pelarangan dan perburuan yang dilakukan ormas tertentu terkait penyampaian di media sosial dan kegiatan minoritas tertentu banyak terjadi. Belakangan, dapat kita temukan perundungan yang dilakukan oleh kelompok tertentu yang menyerang komika.[4] Belum lagi, perihal kasus Meiliana, warga Medan yang divonis perkara dugaan penodaan agama.

Menjelang Hari Toleransi Internasional yang selalu diperingati setiap tanggal 16 November, KontraS hendak mengingatkan bahwa toleransi bukanlah konsep yang mengawang – awang. Toleransi adalah atribut diri yang senantiasa membantu kita memahami arti kemajemukan dan pluralitas yang sudah menjadi realitas alamiah bangsa indonesia. Melalui laporan ini, KontraS mencoba mencari keterkaitan antara situasi toleransi dengan penegakan HAM dari variabel hak – hak sipil dan politik, kebebasan beragama, beribadah, dan berkeyakinan serta kebebasan berekspresi, berkumpul, dan menymapaikan pendapat.

Temuan

Hal yang perlu diketahui oleh publik ialah, toleransi tidak melulu perihal agama.  Toleransi merupakan bentuk rasa hormat dan penghargaan terhadap ragam budaya dunia yang kaya, bentuk ekspresi kita dan cara menjadi manusia. Toleransi mengakui hak asasi manusia universal dan kebebasan mendasar orang lain. Hanya toleransi yang dapat menjamin kelangsungan hidup yang heterogen di setiap wilayah di dunia. Toleransi tidak hanya sebagai kewajiban moral, tetapi juga sebagai persyaratan politik dan hukum bagi individu, kelompok, dan negara.

KontraS hendak menuturkan situasi toleransi berangkat dari dua isu, yaitu, pertama, kebebasan berekspresi, berkumpul, dan menyampaikan pendapat, kedua, kebebasan beribadah, beragama, dan berkeyakinan. Kedua isu tersebut merupakan ukuran sederhana yang dapat melihat situasi toleransi di Indonesia sebab keduanya merupakan hak fundamental warga negara. Toleransi merupakan atribut pada individu, ia menyangkut hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, melalui kertas posisi ini, KontraS akan menunjukkan ketidakhadiran negara (penegakan hukum yang tegas—red) atas praktik-praktik intoleransi yang terjadi di Indonesia.

Toleransi di Indonesia: Situasi dan Kondisi

            Kebebasan berekspresi dan berkumpul menjadi salah satu topik problematik yang membayangi situasi demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Isu ini merupakan isu fundamental yang rentan mendapatkan tantangan untuk ditegakkan. Dalam arti, pemerintah harus memiliki trik khusus untuk menjamin berjalannya kualitas demokrasi dengan perlindungan hak-hak fundamental yang memberikan corak atas karakter demokrasi itu sendiri, salah satunya melalui perlindungan kebebasan berkumpul. Seringkali, pembungkaman atau pelarangan terhadap kebebasan berekspresi dan berkumpul berimplikasi pada praktik persekusi oleh kelompok tertentu yang sebetulnya disebabkan karena tidak tegasnya aparat negara menindak tindakan tersebut

Selama satu tahun terakhir[5], Polri masih menjadi institusi yang dominan terlibat dalam pembatasan kebebasan berekspresi, berupa pembubaran kegiatan tertentu. TNI juga ditemukan masih terlibat dalam persoalan ini. TNI seharusnya menjaga jarak dalam permasalahan sipil sesuai dengan nafas reformasi insitusi TNI. Di luar itu, data KontraS sejalan dengan yang dikemukakan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa ketika indeks demokrasi meningkat, justru variabel di dalamnya, yaitu kebebasan berekspresi dan berkumpul menurun[6]. Restriksi atas kebebasan berkumpul, berpikir dan berpendapat menunjukkan keprihatinan, alat negara masih digunakan untuk tindakan – tindakan tersebut, sebagaimana dijabarkan dalam temuan berikut;

 

KontraS, 2018

         Serangkaian tindakan represif dan kejam yang dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara merupakan bukti bahwa warisan totalitarian dari rejim Orde Baru masih bercokol dan hidup. Pembubaran dan pelarangan merupakan tindakan dominan yang kerap terjadi dalam peristiwa pembatasan kebebasan berekspresi. Pada pelanggaran kebebasan berkumpul, berekspresi, dan menyampaikan pendapat, setidaknya KontraS menemukan pola yang berulang; (1) pola pembatasan hak berkumpul menggunakan restriksi aparat penegak hukum yang tidak terukur, (2) pola pembatasan hak berkumpul diarahkan secara khusus kepada kelompok-kelompok sipil yang sebenarnya tengah menggunakan hak konstitusinya untuk menyeimbangkan diskursus negara, (3) ketiadaan mekanisme akuntabilitas negara yang efektif mampu memberikan keadilan kepada korban, ketika masyarakat sipil mencoba menguji ruang-ruang akuntabilitas internal dan eksternal terhadap praktik pembubaran paksa dari kebebasan berkumpul di beberapa kasus.

Hadirnya sejumlah intimidasi hingga serangan terhadap kelompok/individu tertentu juga mengurangi penikmatan hak asasi manusia dan sekaligus melengkapi elemen teror yang memperkuat ketakutan nyata yang juga terjadi atas kebebasan beragama, beribadah, dan berkeyakinan di Indonesia.

KontraS, 2018

 

Selama periode 2017 – 2018, KontraS mencatat setidaknya terjadi 151 peristiwa (76 kasus pada 2017, 75 kasus pada 2018) yang berkaitan dengan pelanggaran kebebasan beribadah dan berkeyakinan. Peningkatan pelaku sipil ini selama satu tahun ini diduga karena adanya isu penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama pada 2017. Ketidaktegasan negara menjadi salah satu penyebab meningkatnya pelanggaran kebebasan beragama, beribadah, dan berkeyakinan yang dilakukan oleh warga sipil. (lihat grafik di atas)

Upaya negara hadir dan bertanggung jawab pada agenda penegakan hukum dan HAM di Indonesia perlu dipertanyakan kembali. Sebab, kejadian-kejadian yang terjadi belakangan hanyalah keberulangan. Dengan kata lain, tidak ada perbaikan pada sektor tersebut. Ketiadaan mekanisme koreksi yang berakibat pada terjadinya persekusi pada kelompok rentan. Sudah semestinya, praktik – praktik intoleransi tidak mendapat ruang. Namun, semangat tersebut tidak cukup jika berhenti pada ucapan belaka. Ketegasan itu harus sampai pada aparat penegak hukum yang tidak hanya terbatas terhadap para pelaku – pelaku lapanganya saja, tindakan tegas dalam konteks penegakan hukum juga harus dilakukan terhadap aktor – aktor yang melakukan ajakan, anjuran dan/atau perintah untuk melakukan tindakan persekusi, tidak terkecuali anjuran tersebut disampaikan atau diperintahakan oleh aktor – aktor negara sekalipun;

Dari fakta-fakta di atas, KontraS ingin menegaskan bahwa hingga kini ruang penegakan hukum masih bisa diutak-atik dan lebih parah lagi tidak dijalankan secara konsekuen. Pembiaran yang dilakukan oleh negara, semakin melanggengkan kejahatan persekusi atas nama agama. Kasus Ahmadiyah, Syiah, Transito, dan nasib yang menimba dokter juga remaja yang baru terjadi adalah bukti ketidakmampuan negara dalam merespon persekusi, dulu maupun sekarang.

Kebijakan dan Penegakan Hukum atas Praktik Intoleransi

Berulangnya kasus-kasus pelanggaran terhadap hak kebebasan berkeyakinan dan beribadah dimotori oleh kebijakan-kebijakan diskriminatif yang masih berlaku, yaitu:

  1. SKB Tiga Menteri [Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung RI] nomor 3 tahun 2008 terkait Jamaah Ahmadiyah Indonesia.
  2. UU nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama
  3. UU nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan: sudah mengakomodir Penghayat Kepercayaan dalam pencatatan kependudukan, hanya saja perlu ditinjau pelaksanaannya di lapangan.
  4. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan nomor 9 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

Untuk mencegah keberulangan, Pemerintah harus konsisten dalam memerangi dan mencegah persekusi melalui pencabutan berbagai peraturan diskriminatif yang selama ini memberi angin dan justifikasi bagi pelaku persekusi. Lebih jauh juga memastikan dan menghukum aparat yang terlibat dalam kejahatan tersebut. Ketidaktegasan atau ketidakhadiran Negara dalam proses penegakan hukum ini tidak hanya terbatas terhadap para pelaku lapangan saja, tetapi konteks penegakan hukum juga harus dilakukan terhadap aktor – aktor yang melakukan ajakan, anjuran dan/atau perintah untuk melakukan tindakan persekusi, tidak terkecuali anjuran tersebut disampaikan atau diperintahkan oleh aktor – aktor negara sekalipun.

Kehadiran Negara melalui otoritas penegak hukum seperti Polri dan badan-badan eksekutif (pemerintah) terkait, juga lembaga-lembaga korektif harus dilakukan tidak hanya terjadi secara “musiman” karena moment Politik Pilkada dan karena polarisasi yang terjadi akibat Pilkada tersebut. Kehadiran Negara tersebut harus bersifat permanen tanpa memandang motif dan konteks politik yang berlangsung dengan merujuk pada kewajiban negara dalam memberikan perlindungan, pemenuhan dan penegakan HAM, mengingat tindakan persekusi bukan hanya terjadi karena efek Pilkada Jakarta (saja), tetapi tindakan-tindakan tersebut telah terjadi sebelumnya, dan terjadi secara berulang. Sebab, intoleransi yang paling berbahaya ketika dieksploitasi untuk memenuhi ambisi politis dan teritorial dari individu atau kelompok individu. Hate-mongers sering memulai dengan mengidentifikasi ambang toleransi publik. Mereka kemudian mengembangkan argumen yang salah, berbohong dengan statistik dan memanipulasi opini publik dengan informasi yang salah dan prasangka.

Kesimpulan

Pada akhirnya, praktik intoleransi seringkali mendapatkan ruang yang disebabkan karena beberapa hal, polarisasi akibat kondisi politik nasional dan lemahnya sektor penegakan hukum. Terlebih lagi, dalam beberapa kasus, aparat penegak hukum seringkali turut andil dalam pelanggaran kebebasan berekspresi, salah satunya ketika Front Mahasiswa dan Masyarakat Indonesia Pro Palestina Pedemo Yahya Staquf ke Israel batal dilakukan akibat intimidasi oleh Ratusan banser dan puluhan anggota Polda Metro Jaya[7] atau pada pelanggaran kebebasan beragama, berkeyakinan, dan beribadah, seperti yang terjadi di Bogor ketika Kepolisian Kota Bogor, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bogor, Satpol PP, MUI Kecamatan Parungpanjang dan KUA Kecamatan melakukan pelarangan ibadah kepada jemaah gereja Metodist, HKBP Parung Panjang, Gereja katolik.[8] Kefanatikan, stereotip, stigmatisasi, penghinaan dan lelucon rasial adalah contoh ekspresi intoleransi individu yang menjadi sasaran setiap hari. Intoleransi akan melahirkan intoleransi lainnya, terlebih lagi diakomodir dengan lemahnya sektor penegakan hukum.

Atas nama stabilitas keamanan, hak atas kebebasan berkumpul dari masyarakat sipil akan menjadi sah dan legal untuk dilanggar ataupun dikorbankan. Berlangsungnya praktik – praktik intoleransi hari ini masih menunjukkan stabilitas keamanan masih disejajarkan secara antagonistik dengan hak asasi manusia, aparat kerap mengutamakan kepentingan penjagaan stabilitas keamanan tersebut. Dengan logika itu, negara yang gagal untuk menanggulangi situasi untuk mempersiapkan perbedaan – perbedaan yang terjadi di tengah masyarakat. Alhasil, paradigma tersebut seringkali hadir dan terlihat dalam usaha intervensi berupa pembatalan, pembubaran, bahkan penyerangan kegiatan, baik berkumpul maupun beribadah. Dengan dalih adanya keresahan yang dirasakan oleh masyarakat, aparat keamanan seringkali menyatakan ‘terpaksa’ melakukan pembubaran kegiatan agar stabilitas masyarakat kembali terjaga. Pada posisi tersebut, negara lebih memilih untuk tunduk pada tekanan atau intervensi kelompok kontra yang melakukan ancaman-ancaman, ketimbang mengedepankan hak asasi manusia.

Seiring dengan Hari Toleransi Internasional, KontraS merekomendasikan beberapa hal yang dapat dijadikan acuan untuk memperbaiki situasi toleransi atas praktik kesewanang – wenangan suatu kelompok di Indonesia, yakni:

Pertama, bahwa hal paling fundamental dalam melawan intoleransi adalah penegakan hukum. Negara memiliki tanggung jawab untuk menegakkan hukum dan hak asasi manusia untuk melarang dan menghukum kejahatan kebencian dan diskriminasi terhadap minoritas, baik dilakukan oleh pejabat negara, organisasi swasta atau individu.

Kedua, Negara juga harus memastikan akses yang sama ke criminal justice system, sehingga orang tidak mengambil tindakan sewenang – wenang.

Ketiga, Toleransi di Indonesia tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpa adanya jaminan dari negara sebagaimana dapat dilihat dari temuan KontraS di atas. Selama ketegasan atas praktik intoleran hanya bersifat normatif, kebijakan diskriminatif yang “didiamkan” tidak akan membawa Indonesia menjadi negara yang menghargai kemajemukan. Toleransi sudah seharusnya menjadi tonggak dalam penegakan hak asasi manusia, terutama dari sektor negara, yang dapat menghargai ragam budaya dan eskpresi tiap manusia.

 

footnote:

[1] 1) Undang-Undang Nomor 1 /PNPS/1965, tanggal 25 Januari 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama beserta penjelasannya, yang kemudian disahkan dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1969, 2) Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (SKB) Nomor 01/ BER/mdn-mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya, 3) Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (SKB) Nomor 1 Tahun 1979, tanggal 2 Januari 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, 4) Instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1978, tanggal 13 April 1978 tentang Kebijaksanaan Mengenai Aliran Kepercayaan, Nomor 8 Tahun 1979, tanggal 27 September 1979 tentang Pembinaan, Bimbingan dan Pengawasan terhadap Organisasi dan Aliran dalam Islam yang bertentangan dengan Ajaran Islam (Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Kepala Badan Litbang Agama, Inspektur Jenderal, Kepala Kantor Departemen Agama (Kemenag) Provinsi, Kejaksaan Agung, Departemen Dalam Negeri (Kemendagri), BAKIN dan aparatur Pemerintah Daerah serta Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan 6) Surat Edaran Menteri Agama Nomor MA/432/1981 tentang Penyelenggaraan Hari-hari Besar Keagamaan.

[2] https://nasional.kompas.com/read/2018/02/12/12271671/jokowi-tidak-ada-tempat-bagi-mereka-yang-intoleran-di-indonesia diakses pada tanggal 10 November 2018

[3]https://nasional.kompas.com/read/2017/05/16/17084091/jokowi.kebebasan.berpendapat.dijamin.konstitusi.tetapi. diakses pada tanggal 10 November 2018

[4] Tretan Muslim dan Coki Pardede, duo komedian yang bergabung dengan kolektif Majelis Lucu, memutuskan mundur karena perundungan oleh kelompok tertentu yang menyerang personal mereka dan keluarga. Video candaan masak babi campur kurma yang dibuat oleh mereka menuai kecaman sebagian penganut agama Islam. Selain itu, terdapat lima komika yang sebelumnya tersandung kasus serupa https://celebrity.okezone.com/read/2018/05/16/33/1899008/5-komika-yang-tersandung-kasus-mulai-dari-sara-sampai-fitnah?page=2

[5] Disarikan dari laporan 4 tahun Presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla, http://kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2537

[6] https://news.okezone.com/read/2018/08/15/337/1937125/bps-indeks-demokrasi-indonesia-meningkat-tapi-variabel-kebebasan-berpendapat-menurun diakses pada tanggal 16 Oktober 2018

[7] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180625170323-20-308892/pedemo-yahya-staquf-ke-israel-batal-gelar-aksi-di-gedung-pbnu diakses pada 10 November 2018

[8] https://www.rappler.com/indonesia/berita/163897-larang-ibadah-tiga-gereja-bogor diakses pada 10 November 2018