Catatan Hari Hak Asasi Manusia 2018: HAM Tidak Dapat Tempat

Ringkasan Eksekutif*

Catatan Hari Hak Asasi Manusia (Cahaham) 2018 ini disusun Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Cahaham ini menyampaikan potret situasi hak asasi pada tahun 2018, bertepatan dengan momentum peringatan 70 tahun peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang diperingati setiap tahunnya pada tanggal 10 Desember. Catatan ini kami sampaikan sebagai salah satu bentuk upaya dalam memaknai peringatan hari HAM, sekaligus sebagai upaya dalam mendorong jaminan, perlindungan, pemenuhan dan penegakan HAM.

Cahaham ini merujuk dari kerja – kerja advokasi, monitoring, kampanye yang KontraS lakukan pada tahun 2018. Sejumlah isu yang menjadi perhatian dalam Cahaham ini adalah isu pada sektor sipil dan politik, khususnya berkenaan dengan hak dan kebebasan fundamental. Sektor ekonomi, sosial, dan budaya, khususnya berkenaan dengan perlindungan dan keadilan pada ranah sumber daya alam, pembangunan dan okupasi lahan.  Sektor keadilan transisi, khususnya berkenaan dengan akuntabilitas pelanggaran HAM berat masa lalu.

Pada tahun 2018, situasi hak asasi manusia ada di tengah – tengah tiga perhelatan besar yakni Asian Games, pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak, dan dimulainya proses awal kontestasi pemilihan Presiden. Di tengah perhelatan tersebut,  kami melihat kecenderungan isu dan agenda-agenda hak asasi manusia tidak mendapatkan ruang. Sebaliknya, agenda-agenda HAM terus terpinggirkan dan tidak menjadi prioritas dalam diskursus publik dan kontestasi politik. Di tengah hingar bingar Asian Games dan Asian Paragames, pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing)- atas nama pemulihan keamanan, perang terhadap para penjahat jalanan dan narkoba. Agenda politik elektoral yang sarat dengan politik identitas dan kebijakan-kebijakan populis lainnya semakin mendegradasi isu – isu hak asasi manusia, hak kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai, beribadah dan berkeyakinan masih terus mengalami pelanggaran.

Tahun 2018, Pemerintah gagal membuat langkah maju dalam perlindungan kelompok-kelompok rentan yang terkena dampak langsung dari kebijakan diskriminatif dan kebijakan pembangunan serta praktik-praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab. Sejumlah peristiwa serangan, pembubaran kegiatan, penangkapan, penyiksaan, pembunuhan di luar proses hukum, dan kriminalisasi kembali terjadi menyasar kelompok LGBT, petani, buruh, dan pegiat lingkungan hidup dan kelompok masyarakat sipil lainnya. Keseluruhannya nyaris tanpa konsekuensi hukum dan seolah dianggap wajar sehingga memunculkan justifikasi atas berulangnya peristiwa – peristiwa tersebut dari tahun ke tahun.

Pada isu sipil dan politik, KontraS menyoroti sejumlah peristiwa yang terjadi, seperti kriminalisasi yang terjadi kepada pegiat lingkungan Heri Budiawan alias Budi Pego yang divonis 10 bulan penjara karena dituduh menyebarkan paham komunisme, isu penyiksaan oleh aparat keamanan yang masih menghantui warga negara terutama di daerah yang jauh dari ibukota, kemudian unjuk kekuatan dan extrajudicial killings oleh aparat keamanan yang dipicu oleh perang melawan narkoba dan penjahat jalanan atau begal dalam persiapan perhelatan Asian Games 2018, lalu praktik vonis hukuman mati yang sarat dengan unfair-trial. Dinamika Pilkada Serentak 2018 juga menimbulkan sejumlah implikasi terhadap hak – hak sipil sebagaimana terlihat dari kasus-kasus represifitas terhadap hak berekspresi warga negara dan penyerangan terhadap kelompok-kelompok rentan, seperti komunitas LGBT,  dan kelompok minoritas agama yang berkaitan dengan kebebasan beragama, beribadah, dan berkeyakinan.

Jelang akhir tahun, Desember 2018 situasi jaminan hak – hak kebebasan sipil Papua juga terus mengalami ancaman dan pelanggaran. Hak – hak kebebasan berekpresi, berkumpul, berpendapat secara damai terus mengalami represi, peristiwa pembubaran aksi, penahanan, ancaman dan persekusi terus menguat, terakhir peristiwa tersebut terjadi di Surabaya pada awal bulan Desember ini. Jaminan perlindungan keamanan sipil dan penyelesaian pelanggaran HAM di Papua tidak juga mendapatkan prioritas. Agenda pembangunan infrastruktur dan pengelolaan sumber daya alam Papua tidak berjalan lurus dengan pemenuhan keadilan hak hak sipil politik di Papua.

Dalam menyoroti isu ekonomi, sosial, dan budaya, KontraS mengambil sektor sumber daya alam (SDA) untuk melihat kondisi hak asasi manusia di tahun 2018. Kami mencatat peristiwa pelanggaran HAM di sektor SDA sejumlah 194 kasus dengan didominasi oleh kasus-kasus perampasan tanah atau okupasi dan kriminalisasi. Salah satu kasus okupasi – dengan dalih kepentingan umum- yang terjadi ialah pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA). Dalam memperlancar pembangunan bandara tersebut, pihak pengembang dan pemerintah daerah melakukan penggusuran secara paksa (forced eviction) dengan mengabaikan hak-hak warga dan standard HAM international yang mengatur praktik penggusuran paksa.. Sementara itu, dalam beberapa kasus kriminalisasi yang terjadi terhadap pejuang HAM dan aktivis lingkungan dapat dilihat dari kasus Tambang emas yang berada di Tumpang Pitu, Kasus Tambang Emas di Simpang Tonang, pembangunan waduk sepat, pembangunan panas bumi di Gunung Talang, Pabrik Serat Rayon di Sukoharjo dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Indramayu.

Di sisi lain, perkembangan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu diam di tempat. KontraS melihat bahwa peta nasib penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu pada era Presiden Joko Widodo dalam setahun belakangan menunjukkan ketidakseriusan dan upaya serampangan untuk segera menuntaskan kasus lewat jalan pintas. Seolah terpenjara oleh komitmennya sendiri yang dituangkan dalam visi, misi dan program aksinya, Presiden Joko Widodo dalam setiap pidatonya mengenai penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, selalu merespon stagnansi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dengan pelbagai jawaban normatif dan mengawang-awang. Terlebih lagi, penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu cenderung offside dengan sejumlah inisiatif yang muncul dari Kemenkopolhukam dan lemahnya lembaga korektif seperti Komnas HAM dan Ombudsman dalam mendorong penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Beberapa kasus masih menanti untuk diselesaikan dan dalam setahun terakhir kami tidak menemukan upaya satupun dari pemerintah untuk mendorong penyelesaian kasus tersebut. Sementara itu, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang telah menggelar dengar kesaksian pada bulan November 2018, belum sepenuhnya mendapat dukungan dari pemerintah di tingkat nasional.

Pada level perundang – undangan terdapat sejumlah pekerjaan rumah yang belum dituntaskan pada tahun 2018. Diantaranya, revisi Undang – Undang No 16 tahun 2017 tentang Organisasi kemasyarakatan. Sebagaimana diketahui UU ini masih menyisakan sejumlah kontroversi karena berpotensi mengancam kebebasan berorganisasi dengan keberadaan sejumlah pasal yang multitafsir dan mekanisme pembubaran organisasi yang dapat dilakukan tanpa proses peradilan. Rencana revisi ini baru masuk pada program legislasi nasional 2019. Rancangan Undang – Undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP) juga masih menyisakan pekerjan rumah untuk dipastikan rumusan pasal – pasal yang ada tidak mengekang kebebasan sipil dan tidak bertentangan dengan prinsip – prinsip HAM. Juga UU  Tindak Pidana Terorisme nomor 5 tahun 2018, persoalan krusial mengenai pelibatan TNI dalam penganganan tindak pidana terorisme, mekanisme akuntabiltas dan safe guard penanganan tindak pidana terorisme juga belum terselesaikan pada tahun 2018.

Pada momentum hari HAM 2018 ini, KontraS memotret, mengevaluasi dan mengawal kasus-kasus pelanggaran HAM dan kebebasan sipil & politik dan ekonomi, sosial, dan budaya, dan akuntablitasi pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia yang masih mengalami banyak kendala hingga kini. Catatan – catatan KontraS selama satu tahun terakhir ini semoga dapat menjadi pijakan bagi para pemangku kepentingan untuk menapaki kebijakan ke depan yang dapat sesuai dengan prinsip – prinsip hak asasi manusia dan keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Terlebih, eskalasi ketegangan di  tahun politik terus meningkat jelang Pemilihan Presiden dan Legislatif pada tahun 2019. Dalam situasi ini agenda HAM akan terus menemui tantangan dan kendala, sejauhmana HAM diperhatikan dan dijadikan prioritas dalam setiap perhelatan politik dan demokrasi.

Jakarta, 10 Desember 2018

 

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan