Mendesak Presiden Joko Widodo Menyelesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Aksi mendesak Presiden Joko Widodo menyelesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di Depan Kantor Komnas HAM

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama korban pelanggaran HAM Berat dan sejumlah elemen masyarakat sipil lainnya mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Berat serta pelanggaran HAM – pelanggaran HAM lainnya secara konkrit dan akuntabel, sebelum berlangsungnya Pilpres pada April 2019 mendatang. Hingga saat ini masih ada 9 (sembilan) kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu berdasarkan hasil penyelidikan pro justisia Komnas HAM yang masih menggantung di Kejaksaan Agung dengan sejumlah alasan, seperti belum cukup bukti, hingga belum dibentuknya pengadilan HAM ad hoc oleh Presiden RI.

Kami secara khusus menyampaikan kekecewaan terkait berlarut – larutnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM Berat serta pelanggaran HAM – pelanggaran HAM lainnya di masa pemerintahan Jokowi – Kalla. Menjelang berakhirnya masa pemerintahan Jokowi – Kalla,  tidak ada satupun kasus yang berhasil dibawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc serta menggiring para pelaku untuk diadili. Padahal janji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masuk dalam Nawacita Pemerintahan Jokowi – Kalla sejak terpilih 2014 silam. Kami menyesalkan bahwa lagi – lagi isu penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu hanya dijadikan komoditi politik atau pencitraan untuk meraih dukungan dari para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM Berat.

Pasca pertemuan antara Presiden RI Joko Widodo dengan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM Berat pada 31 Mei 2018 di Istana Negara, alih – alih membentuk pengadilan HAM ad hoc, Negara justru berinisiatif dengan membentuk Tim Gabungan Terpadu Untuk Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, di bawah wewenang Menkopolhukam. Pembentukan Tim Gabungan ini jelas sekali tidak memperhatikan mekanisme akuntabilitas dan prinsip keadilan bagi korban, mengingat penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia harus diselesaikan melalui Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana diatur dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dibentuknya Tim Gabungan ini juga seolah mengafirmasi pernyataan Jaksa Agung perihal sulitnya membawa kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ke jalur pengadilan, hingga wacana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional dihidupkan kembali sebagai alternatif penyelesaian melalui jalur non-hukum (rekonsiliasi).

Selain itu, HAM tidak ditempatkan sebagai yang utama, ia harus kalah dengan ekonomi dan pembangunan, padahal reformasi 1998 dibuat dengan topangan HAM ini yang dapat dibaca pada peraturan perundang-undangan pada awal-awal Reformasi. Hasilnya petani, buruh, perempuan, masyarakat adat menjadi korban korporasi karena direbut hak dan ruang hidupnya. Kemudian mereka dikriminalisasi oleh sistem peradilan pidana. Peradilan berubah dari lembaga pemulihan menjadi lembaga pencabut hak.

Mereka yang menggunakan hak konstitusionalnya dalam hal kemerdekaan menyampaikan pendapat dan berekspresi, rakyat yang berjuang mempertahankan alam dan lahan serta tempat hidupnya justru dipenjarakan dengan sewenang-wenang oleh korporasi dengan meminjam tangan Aparat Penegak Hukum terutama Kepolisian dan Kejaksaan. Kami berharap Presiden Jokowi mengingat dan berkaca dari persoalan yang melatarbelakangi terjadinya Reformasi 1998 dan tuntutannya.

Beberapa kondisi di bidang hukum dan Hak Asasi Manusia yang terjadi sebelum reformasi dapat digambarkan sebagai berikut:[1]

  • Penafsiran yang hanya sesuai dengan selera penguasa
  • Telah terjadi penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
  • Pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktek-praktek negatif pada proses peradilan.
  • Penegakan hukum belum memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dengan rakyat, sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah.

Berangkat dari kehancuran tersebut, lahirlah tuntutan Reformasi “tegakkan supremasi hukum dan budaya demokrasi”. Tuntutan tersebut mendesak Pemerintah mengembalikan semangat membangun Negara Hukum demokratis yang sejati yang telah dirumuskan oleh Faunding Parents bangsa ini. Negara Hukum yang mengakhiri Negara Kekuasaan yang dahulu mewujud dalam gaya otoritarianisme. Hukum dikembalikan menjadi pengawal kehidupan bernegara dan memastikan kesejahteraan dan keteraturan, kebaikan bersama serta penghormatan, pemenuhan Hak Asasi Manuisa. 20 Tahun Reformasi, dalam momentum 70 tahun peringatan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ini, kami mendesak Presiden Jokowi untuk kembali mentaati dan menjalankan Amanat Reformasi.

Negara dalam hal ini justru menjadi contoh buruk dalam ketaatan hukum dan penghormatan, pemenuhan da penghargaan HAM. BUMN, korporasi milik negra malah berada di posisi terdepan melanggar hak-hak pekerja/buruh. Pemerintah memberi teladan buruk. PNS Peneliti Madya diberhentikan dengan peraturan yang sewenang-wenang.

Hari ini, Presiden Jokowi yang awalnya dipastikan hadir dalam pada acara Semiloka Hari HAM yang diselenggarakan Komnas HAM dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia yang jatuh pada 10 Desember, ternyata di detik terakhir justru membatalkan kehdirannya. Ketidakhadiran Presiden yang digantikan oleh Wakil Preiden, dan sama sekali tidak berani menemui korban yang berdiri di pintu gerbang Komnas HAM, sikap ini kami anggap sebagai sikap politik Presiden Jokowi dan Wapres JK yang tidak memiliki komitmen terhadap penegakan, pemenuhan HAM serta penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dan pelanggaran HAM lainnya. Sikap Wapres Jusuf Kalla yang merencanakan keluar melalui pintu belakang (Komnas Perempuan) sangat mengecewakan. Nawacita yang menyebutkan janji Jokowi dan Jusuf Kalla pada akhirnya hanya kebohongan belaka. Kami mempertanyakan, Kami menuntut  kehadiran Wakil Presiden dalam pertemuan ini tidak dijadikan ajang pencitraan semata menjelang Pilpres 2019 namun benar – benar dijadikan ruang untuk mendiskusikan langkah strategis dan kongkrit untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Berat dan pelanggaran HAM lainnya di Indonesia.

 

Jakarta, 11 Desember 2018

 

Korban dan Keluarga Korban Pelanggaran HAM Berat

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

 

 

Orang Kontak:

Putri 08151623293

Asfinawati 08128218930

Pratiwi 081387400670

[1] TAP MPR R.I. Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara